Langsung ke konten utama

Kader BPS Handal, Seperti Apakah?


Kala menjadi ‘motivator dadakan’ dalam acara Kajian Statistik yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Kajian Statistik (UKM-FORKAS), Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) minggu lalu, di sesi diskusi saya diberondong sejumlah pertanyaan yang menurut saya menarik untuk dibagi lewat tulisan ini.

Tema yang diangkat dalam Kajian Statistik Sabtu itu adalah “Menjadi Kader BPS Handal.”Tema yang sebetulnya kurang pas jika dikaitkan dengan judul acaranya, “Kajian Statistik.”Betapa tidak. Paparan yang saya sajikan lebih berupa motivasi dan sharing pengalaman, bukan materi tentang Statistika. Itulah sebab, di awal saya sebutkan, saya menjadi motivator dadakan hari itu.....Salam Super.

Kader BPS Handal?
Tak bisa ditampik, sebagai institusi yang diamanahi tugas untuk merekam jejak sejarah pembangunan negeri ini lewat data, BPS begitu bergantung pada STIS. Saban tahun sekolah tinggi kedinasan, yang fokus mendidik para calon statistisi pemerintah itu, menyuntikkan dara segar untuk BPS berupa ratusan sarjana siap pakai. Mereka adalah insan unggul yang siap mendarmabaktikan dirinya di seantero Nusantara, membangun perstatistikan Indonesia. Menjadikan sumber daya manusia BPS kian kuat  dari waktu ke waktu.

Keberadaan STIS sebagai kawah candra dimuka–tempat para calon kader BPS ditempa–serta BPS sebagai institusi penyedia data untuk pembangunan negeri ini adalah sebuah mata rantai yang tak terpisahkan. Singkat kata, sebagai kader BPS, kualitas data-data statistik untuk pembangunan negeri ini sangat ditentukan oleh kualitas lulusan STIS. Itulah poin utama yang sampaikan hari itu. Karena itu, para alumni STIS harus menjadi kader BPS yang handal. Pertanyaannya kemudian, seperti apakah kader BPS handal itu?

Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang belum seberapa, saya mencoba mendefenisikan kader BPS handal menurut versi saya, yakni alumni STIS yang memenuhi kriteria-kriteria berikut: mumpuni dalam penguasaan ilmu statistik dan terapannya, mengenal dan tahu betul tentang BPS, punya militansi dan loyalitas, selalu meng-upgrade kemampuan diri, dan yang paling penting adalah siap bekerja dan mengabdi untuk BPS. Ini tentu bukan defenisi yang baku. Hanya berdasarkan perspektif saya yang sedikit sok tahu. Anda mungkin punya defenisi yang lebih tepat, lengkap, dan komprehensif.

Kriteria-kriteria di atas saya peras lagi menjadi sebuah konstruk yang lebih sederhana, yakni bisa diandalkan. Jadi, sebagai kader BPS handal, para alumni STIS harus bisa diandalkan...ya iyalah, harus menjadi tulang punggung dan andalan BPS....semoga defenisinya tidak semakin kabur.

Trustworhty Statistics?
Dalam mars STIS yang terkadang membuat merinding itu....lebay mode on, ada potongan kalimat yang menurut saya sangat hebat, mudah dilantunkan dan didendangkan, tapi sulit diwujudkan (saat bekerja di BPS). Kalimat tersebut berbunyi, ”menyajikan data apa adanya, objektif tanpa rekayasa.” Sulit diwujudkan bukan berarti data-data BPS yang ada selama ini syarat rekayasa, sama sekali tidak.

Yang terjadi selama ini pada setiap sensus dan survey adalah hampir tidak mungkin menyajikan data apa adanya berdasarkan isian yang tertera di kuesioner tanpa melakukan–apa yang saya sebut sebagai – treatment pada data. Treatment tentu didasarkan pada objektifitas dan rasionalitas, atau lebih tepatnya professional judgement. Bukankah intuisi terkadang lebih tajam dari metode kuantitatif...terkadang loh, bukan selalu. Jika dibiarkan apa adanya, hasilnya bisa ngaco, tidak make sense, kurang realistis, atau apalah istilahnya. Dengan treatment tersebut data yang dihasilkan akan lebih smooth dan make sense. Meskipun, selalu terbetik pertanyaan dalam hati saya, “untuk apa capek-capek mendata, kalau toh datanya diotak-atik juga (di-treatment maksud saya).

Kenapa hal di atas bisa terjadi? Jawabannya, menurut saya, merupakan akumalasi dari: kualitas petugas kita (KSK dan mitra) yag masih perlu ditingkatkan; responden kita yang tidak kooperatif, sok sibuk, tak sadar pentingnya statistik, malas mencatat padahal ingatannya pendek; serta sederet masalah teknis dan non teknis lainnya. Semua itu harus terus diperbaiki dan dibenahi, dan ini menjadi tugas kita bersama, menjadi PR kita bersama.

Inilah yang saya sempaikan pada adik-adik saya hari itu, para kader dan calon pemimpin BPS, ketika berdiskusi menjawab pertanyaan besar, apakah statistik terpercaya (trustworthy statistics) yang merupakan visi BPS itu telah terwujud. Mungkin kita baru menuju ke sana, karena kenyataannya masih banyak orang (termasuk orang BPS sendiri) yang ragu dengan akurasi data-data yang dihasilkan BPS. Karena itu, saya berpesan kepada mereka: siapkanlah dirimu menjadi kader BPS handal untuk mewujudkan visi besar BPS tersebut dan berilah kontribusi yang berarti untuk kemajuan BPS saat menjadi mahasiswa, apa pun itu. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga