Langsung ke konten utama

Oleh-oleh dari Papua


Tulisan singkat ini adalah oleh-oleh saya dari Papua. Bukan koteka atau buah merah, tapi hanya sepenggal cerita dan sepotong pengalaman. Semoga bermanfaat.

Awal bulan ini, saya mendapat kesempatan berharga untuk mengunjungi tanah Papua. Tidak main-main, tempat yang saya kunjungi adalah Merauke, sebuah kabupaten nun di ujung timur Papua. Kawan tentu ingat dengan lagu “ dari Sabang sampai Merauke” yang kerap kita dendangkan saat duduk di bangku sekolah dasar itu. 

Saya benar-benar tersengat rasa haru kala menginjakkan kaki di Bandara Mopah, di Merauke. Rasa lelah akibat penerbangan hampir sepuluh jam lamanya dari Jakarta seketika sirna kala tubuh ini menapakkan kaki di Merauke, tergantikan oleh rasa bangga yang, jujur, begitu meluap-luap. Betapa tidak. Sejak SD hingga duduk di bangku SMA, saya tak pernah bermimpi sekali pun bakal ke Papua, apalagi Merauke. 

Bagi saya yang tumbuh besar di sebuah pulau kecil nun di ujung tenggara Sulawesi, bisa menginjakkan kaki di Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, atau Makassar, ibu kota Provinsi Selawesi Selatan, adalah sebuah capaian hidup yang sangat luar biasa, pengalaman hidup yang tak akan ada habis-habisnya dikisahkan kepada kawan bahkan anak cucu. Tapi ini Merauke kawan, benar-benar tak dinyana, betul-betul excited. Hidup memang selalu penuh kejutan dariNya. Alhamdulillah.

Super woman
Kunjungan saya ke Merauke adalah dalam rangka supervisi pelaksanaan Survei Konversi Gabah ke Beras tahun 2012. Di lapangan, kami tim dari BPS Pusat yang terdiri dari dua orang harus ditemani oleh para Koordinator Statistik Kecamatan (KSK). Pasalnya, lokasi supervise bukan main jauhnya, sekitar 60 kilometer dari ibu kota kabupaten. Mereka bertugas sebagai guide yang mengantarkan kami ke lokasi responden, yakni para pemilik usaha penggilingan dan petani. 

Superwomen dari Merauke
Tahukah engkau kawan kalau tiga dari empat orang KSK yang menemani kami adalah perempuan. Dua diantaranya bahkan menunggangi motor trail kala mengantarkan kami ke lokasi responden. Betul-betul superwoman. Saya kagum dengan dedikasi mereka dalam “mengais-ngais data” hingga ke pelosok negeri. Betapa tidak. Bagi saya yang bertahun-tahun dimanjakan dengan moleknya infrastruktur Kota Jakarta, medan tugas teman-teman KSK terbilang sulit. Tak ada jalan yang mulus beraspal hotmix, hanya jalan bergelombang yang merupakan kombinasi jalan beraspal kualitas buruk dan jalan pengerasan. Untung saat itu masih musim kemarau, jika tidak, saya bisa membayangkan apa jadinya jalan berlapis tanah liat yang akan kami lewati. Pasti payah, mirip jalan di kampung saya yang bisa ditanami pohon pisang.

Saat menikmati guncangan sepeda motor kala menuju lokasi responden, sembari melepas pandang ke arah hamparan hutan belukar, lamunan saya tertuju pada nasib sejumlah kawan yang ditempatkan di berbagai daerah sulit. Salah satunya adalah Leni Masdalia, kawan saya dari Tangerang. Selama ini, Anda yang bukan orang Papua, yang hanya mengenal kata Merauke dari nyanyian “dari Sabang sampai Merauke”, tentu mengira bahwa Merauke adalah kabupaten yang terletak di paling timur Indonesia. Ternyata tidak, masih ada satu kabupaten lagi, yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Kabupaten Boven Digoel namanya, pecahan dari Kabupaten Merauke. 

Dalam kondisi normal, untuk menuju ke sana dibutuhkan waktu sekitar 15 jam dengan kendaraan bermotor (motor atau mobil) dari Merauke, waktu tempuh menjadi sangat lama karena jarak tempuh bukan main jauhnya: sekitar 500 km. Jika situasi tidak bersahabat waktu tempuh bisa lebih lama lagi, bisa lebih dari sehari. 

Kala hujan mengguyur, misalnya. Jalan yang hanya sebagian dilapisi aspal itu begitu sulit ditaklukan. Bahkan, dalam kondisi ekstrim situasi bisa berbalik: sepeda motor tak lagi ditunggangi, tapi menunggangi si empunya alias harus dipikul. Celakanya, jalan darat yang bukan main payahnya itu adalah satu-satunya akses menuju ke Boven Digoel. Dan, tahukah dikau kawan, di kabupaten itulah kawan saya Leni Masdalia, yang berasal dari Tangerang itu, mengabdikan dirinya. 

Dalam lamunan, tiba-tiba saja saya mengutuki diri sendiri. Mengutuki diri yang selalu menggerutu kala AC di ruangan kantor tiba-tiba mati atau kurang dingin, yang selalu mengeluh kala koneksi internet sedikti lelet. Ya, Tuhan, ampuni hambaMu ini yang terlalu banyak mengeluh dan kurang bersyukur.

Irian
Saya telah menamatkan pendidikan dasar 9 tahun, bahkan telah mengenyam pendidikan di bangku kuliah selama 5 tahun. Saya juga telah mendengar kata “Irian” ribuan kali. Tapi, saat di Merauke lah saya tahu bahwa kata tersebut ternyata adalah akronim dari “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.” Mudah-mudahan ini karena pengetahuan umum atau sejarah saya yang payah.

Saya baru tahu hal tersebut setelah berbincang dengan kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Merauke, Drs. Pardjan. Msi,. Dari beliau, yang ternyata seorang Arek Malang (Arema) itu, saya juga jadi tahu hal ihwal yang melatarbelakangi penggantian nama Irian menjadi Papua. 

Ternyata bukan hanya perkara identitas atau kebanggaan sebagai orang Melanesia yang dicirikan dengan rambut keriting dan kulit gelap yang melatarbelakanginya. Tetapi, juga makna konotatif dari kata Irian yang konan berasal dari kata “iri”. Tentu ini hanyalah guyonan dari beliau yang pernah patah hati karena gagal mempersunting seorang gadis Bugis itu.

Tapi kalau dipikir-pikir, kata “irian” dalam makna negatif yang dimaksudkan Pak Pardjan mungkin ada betulnya. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa orang asli Papua kian tersisihkan oleh saudara-saudaranya yang berambut lurus di tanahnya sendiri. Di Merauke, saya melihatnya dengan mata kepala sendiri. Bagaimana perekonomian di sana digerakkan oleh para perantau dari Jawa dan Sulawesi. 

Dalam kehidupan sosial-ekonomi, penduduk asli Papua gagal  mengimbangi ekspansi saudara-saudaranya yang berambut lurus dari tanah Sulawesi dan Jawa, yang lebih mapan dan sejahtera. Dalam situasi “kalah” secara sosial-eknomi itulah kemudian mereka terjebak sikap “iri hati”. Inilah barangkali yang dimaksudkan Pak Pardjan, mudah-mudahan beliau keliru. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga