Langsung ke konten utama

Jokowi dan Data Kemiskinan BPS


Di tengah panasnya suhu politik dalam memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta, kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, mengeluarkan statemen yang seolah “menyerang” salah satu calon yang sedang naik daun dan digadang-gadang berpeluang besar keluar sebagai pemenang: Joko Widodo alias Jokowi.

Sebagaimana diberitakan situs media online Inilah.com, Suryamin membantah dengan tegas pernyataan Jokowi yang menyebutkan bahwa saat ini angka kemiskinan di Jakarta mencapai 20 persen lebih. Secara politis, petahana tentu diuntungkan dan pendukung setia Jokowi bakal tak enak hati terhadap BPS dengan bantahan tersebut. Bahkan, lebih jauh lagi, ada kemungkinan BPS bakal kembali dituduh ”asal bapak senang” atau alat pencitraan pemerintah.

Bantahan yang disampaikan Suryamin tentu tidak bersifat politis. Hanya semata-mata didasarkan pada tanggung jawab untuk mencerahkan bangsa ini dengan statistik. Hal ini merupakan salah satu fungsi utama BPS sebagai lembaga statistik resmi sebagaimana digariskan undang-undang.

Saat ini, ada kecenderungan publik tak lagi percaya dengan data statistik resmi yang dikeluarkan pemerintah. Mereka lebih percaya pada data statistik lain, gossip, bahkan rumor yang belum tentu didasarkan pada metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Ini tentu sangat berbahaya.

Angka kemiskinan sebesar 20 persen lebih yang disebutkan Jokowi tentu terlalu tinggi. Sangat jauh dari angka resmi yang dirilis BPS, yakni sebesar 3,69 persen. Bahkan, dengan menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia sebesar 2 dollar PPP (bukan dollar currency) pun, angka kemiskinan di Jakarta tak bakal menembus 20 persen, apalagi lebih.

Artinya, jika angka tersebut dihasilkan melalui metode perhitungan tertentu, metode tersebut jelas berseberangan dengan metode baku yang selama ini digunakan oleh BPS dan Bank Dunia. Jokowi tentu bisa saja benar dengan metode pengukurannya, tapi hal ini harus didukkan secara ilmiah.

Itulah sebab, kenapa Suryamin merasa sangat berkepentingan untuk membantah statemen Jokowi. Sama sekali tak ada unsur politis terkait hal ini. Hanya semata-mata bagaimana menggunakan data statistik secara tepat dan benar. Jika seandainya petahana mengatakan bahwa angka kemiskinan di Jakarta saat ini kurang dari 1 persen, reaksinya bakal sama: BPS akan membantah dengan tegas.

Data kemiskinan: Jokowi vs Foke
Dalam beberapa hari belakangan ini, predikat Jokowi sebagai “walikota terbaik” nampaknya terus digugat oleh sejumlah kalangan. Fakta-fakta dihadirkan untuk menunjukkan bahwa predikat tersebut hanyalah sekedar kamuflase, buah dari kepiawaian Jokowi dalam mengemas citra. Ditengarai, ada distorsi antara keberhasilan Jokowi dalam membangun Solo yang digembar-gemborkan oleh media selama ini dengan realitas sebenarnya.

Salah satu fakta yang mencuat adalah soal masih tingginya angka kemiskinan di Kota Solo. Fakta ini pertama kali dibunyikan di ruang publik (media) oleh mantan Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), Amien Rais. Karenanya, menurut dia, predikat walikota terbaik untuk Jokowi “menyesatkan”.

Terlepas dari motif politik di balik “gugatan” Amien Rais tersebut. Kinerja Jokowi yang kurang mengesankan terkait pengentasan kemiskinan di Kota Sola kenyataannya terkonfirmasi oleh data kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kota Surakarta (Solo). Tengoklah peraga berikut:

Sumber: BPS Kota Surakarta
 
Peraga di atas dengan terang menunjukkan,kinerja Jokowi dalam mengentaskan masyarakat Solo dari kemiskinan memang kurang mengesankan. Namun berdasarkan peraga di atas, Jokowi juga tidak layak disebut gagal. Meskipun fluktuatif, perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin Kota Solo menunjukkan tren (kecenderungan) menurun sejak tahun 2008.

Bahkan, jika dibandingkan dengan kinerja lawan politiknya dalam suksesi pemilihan gubernur DKI saat ini, Fauzi Bowo, kinerja Jokowi sebetulnya sedikit lebih baik. Tengoklah peraga berikut:

Perkembangan Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi DKI Jakarta, 2009-2012

Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta

Berdasarkan peraga di atas, nampak jelas bahwa selama kepemimpinan Foke, sapaan akrab Fauzi Bowo, perkembangan persentase dan jumlah penduduk miskin cenderung stagnan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi untuk provinsi besar seperti DKI Jakarta yang diberkahi APBD dan Pendapatan Asli Dearah (PAD) yang melimpah.

Sekedar merinci, pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta mencapai 323,17 ribu orang atau sekitar 3,62 persen dari total penduduk Jakarta. Di tahun 2012, kondisinya tidak banyak berubah, jumlah penduduk miskin bahkan bertambah menjadi 363,2 ribu orang atau sekitar 3,69 persen dari total penduduk Jakarta.

Artikel ini ditulis tanpa maksud politis tertentu. Penulis bukan pendukung salah satu calon yang sedang bertarung saat ini. Artikel ini hanya dimaksudkan untuk mengajak kita agar menggunakan data-data statistik secara cerdas dan hati-hati. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga