Langsung ke konten utama

Produksi Kedelai: Indonesia “Bangsa Tempe”

Sudah tiga hari lamanya menu gorengan tempe dan tahu tak lagi tersaji di warung makan Tegal (warteg) tempat saya biasa santap sahur. Nampaknya, ini merupakan buntut dari meroketnya harga kedelai belakangan ini sehingga memaksa sejumlah perajin tahu-tempe menyetop produksinya. Alhasil, kedua panganan hasil olahan kedelai tersebut pun menjadi langka, bahkan menghilang di sejumlah tempat.

Kabarnya, suplai komoditas kedelai sedang terganggu. Harga komoditas ini di pasar internasional dikabarkan melambung akibat gangguan produksi (anomali iklim) yang terjadi di sejumlah negara utama pemasok kedelai di pasar dunia. Amerika Serikat (AS), misalnya, saat ini sedang dilanda kekeringan. Kondisi ini tentu sangat tidak menguntungkan buat Indonesia yang sebagian besar pemenuhan kebutuhan kedelainya bergantung pada impor.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sekitar 71 persen pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri di tahun 2011 berasal dari impor. Tahun lalu, Indonesia harus mengimpor sebanyak 2.087.986 ton kedelai karena produksi kedelai dalam negeri hanya mencapai 851.286 ton. Sebagian besar kedelai impor tersebut berasal dari AS, yakni sebesar 1.847.900 ton. Diketahui, sekitar 83,7 persen kedelai impor diserap untuk pembuatan tahu dan tempe (Kompas.com, 27/07), menjadikan industri yang satu itu ini begitu bergantung pada kedelai impor.

Bencana kekeringan yang tengah melanda AS dan Amerika Selatan (pemasok utama komoditas kedelai dunia) mengakibatkan suplai kedelai di pasar internasional terganggu sehingga harganya melambung. Itulah sebab, harga kedelai impor di dalam negeri saat ini meroket karena harga di pasar internasional juga tinggi. Celakanya, ada indikasi kuat telah terjadi praktek kartel dalam importasi komoditas ini: pemasok kedelai impor (importir) jumlahnya hanya segelintir, dan mereka memiliki ruang yang lebih untuk memainkan harga sekehendak hati. Konsekwensinya jelas, harga kedelai impor bisa naik berlipat-lipat melebihi kewajaran hanya untuk memuaskan hasrat meraup untung berlipat segelintir orang tersebut. Dan, nampaknya itulah yang tengah terjadi saat ini.

Terkait hal ini, kabarnya pemerintah telah memutuskan untuk membuka keran impor sederas-derasnya dalam jangka pendek. Mulai 1 Agustus hingga akhir Desember tahun ini, bea masuk kedelai impor, yang tadinya sebesar 5 persen, akan diturunkan menjadi 0 persen (Kompas.com. 27/07). Langkah pemerintah ini membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pegiat usaha pembuatan tahu-tempe (koperasi dan perajin) untuk melakukan impor kedelai secara langsung sehingga kenaikan harga kedelai saat ini bisa ditekan dan produksi tahu-tempe, yang begitu bergantung pada kedelai impor, tidak terhenti.

Swasembada kedelai
Langkah yang ditempuh pemerintah di atas tentu hanyalah solusi sesaat. Masalah serupa akan terus berulang jika pemenuhan kebutuhan kedelai negeri ini terus bergantung pada kedelai impor. Dan, satu-satunya cara agar negeri ini tidak lagi bergantung pada kedelai impor adalah “swasembada kedelai”.

Sebetulnya, sejak tahun 2010 lalu, pemerintah telah menetapkan sejumlah target ambisius terkait produksi komoditas pangan, termasuk kedelai. Swasembada kedelai ditargetkan akan tercapai pada tahun 2014. Kita tentu tidak menafikan berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menggenjot produksi kedelai nasional selama ini. Tapi melihat perkembangan yang terjadi, kita patut pesimis. Target ambisius tersebut nampaknya bakal urung tercapai. Pemerintah sepertinya hanya jago membuat target, tapi lemah dalam merealisasikannya. Betapa tidak. Menurut catatan BPS, sejak tahun 2009 hingga kini, produksi kedelai nasional terus menurun (bisa dilihat pada peraga yang ada).

[ ]

Pemerintah selalu berkilah, terjadi kompetisi antara tanaman kedelai dan jagung di lapangan. Pasalnya, kedua komoditas ini ditanam pada lahan yang sama sehingga terjadi trade off: mana yang lebih menguntungkan itu yang ditanam oleh petani. Dan Saat ini, komoditas jagung lebih menguntungkan dibanding kedelai sehingga petani lebih memilih menanam jagung.

Jika dicermati, perkembangan struktur ongkos usaha tani kedelai memang terus meningkat. Sementara pada saat yang sama, perkembangan harga jual komoditas ini cenderung stagnan. Kombinasi antara tingginya biaya produksi dan harga jual yang tidak kompetitif menjadikan petani tidak begitu tertarik untuk menaman kedelai. Kita tentu patut curiga, jangan-jangan ini merupakan indikasi tidak adanya keseriusan dan lemahnya insentif serta perhatian pemerintah selama ini.

Pertanyaannya kemudian, sampai kapan kondisi ini terus berlanjut? Tentu harus ada upaya-upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Upaya memperluas areal tanam tentu bagus, tapi tentu tidak mudah melakukannya. Peraga di atas dengan terang juga menunjukkan, luas panen kedelai terus menurun. Ini merupakan indikasi kuat bahwa pemerintah telah gagal menambah luas areal tanam kedelai secara berarti selama ini.

Terkait produksi kedelai nasional, jangan sampai kita menjadi “bangsa tempe” seperti yang dikatakann Bung Karno karena tidak mampu mewujudkan yang namanya kemandirian dan kedaulatan pangan atas negeri ini.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga