Langsung ke konten utama

Kemenangan Jokowi dan Angka Kemiskinan BPS


Judul tulisan ini memang sedikit maksa. Tapi saya kira ada betulnya juga...hehehee


Saat memelototi hasil penghitungan suara di sebuah TPS siang kemarin, saya hampir terjebak pada penarikan kesimpulan keliru: Foke-Nara bakal memenangkan Pilkada DKI kali ini dengan hanya satu putaran saja. Soalnya, rekapitulasi hasil penghitungan suara petugas TPS dengan terang menunjukkan bahwa perolehan suara Foke-Nara tak mungkin terkejar, jauh meninggalkan para kandidat lainnya, termasuk Jokowi-Ahok yang ternyata menjadi pemenang menurut versi (hasil survei) hitung cepat sejumlah lembaga survei.

Kala itu, saya lupa bahwa ada puluhan ribu TPS lain di seantero Jakarta, bahwa TPS tempat di mana saya menyaksikan kemanangan Foke-Nara yang gilang gemilang itu hanyalah salah satunya. Sebuah fraksi yang sangat kecil, tidak layak dijadikan sampel untuk men-generalisasi hasil Pilkada DKI. Sebagai statistisi, saya khilaf siang itu, bahwa penarikan kesimpulan harus didasarkan pada sampel yang benar-benar mewakili populasi.

Apa yang saya kisahkan di atas merupakan contoh bahwa fakta yang terjadi di depan mata seringkali bukan gambaran utuh tentang objek yang ingin disimpulkan (dalam konteks ini adalah hasil pilkada DKI). Terkadang fakta tersebut hanyalah potongan dari sekian banyak potongan fakta lain yang juga perlu dikumpulkan agar konklusi yang dihasilkan betul-betul tepat. Dengan demikian, kesimpulan yang didasarkan hanya pada potongan fakta tersebut kemungkinan besar bias. Dengan lain perkataan, sama seperti menyimpulkan jenis ikan hanya dari bentuk siripnya, tentu sangat besar peluang salahnya.

Dan itulah juga yang terjadi pada argumen: statistik kemiskinan BPS yang menyatakan jumlah penduduk miskin tahun ini turun 890.000 tidak realistis (sebagian mengatakan tidak rasional, bahkan hasil manipulasi) karena FAKTANYA jumlah pengemis di daerah saya semakin bertambah. Pertanyaannya kemudian, seberapa representatifkah fakta yang terjadi di daerah kita (soal bertambahnya jumlah pengemis itu) mampu menjelaskan, bahkan menyimpulkan, perkembangan kondisi kemiskinan di Indonesia yang maha luas wilayahnya, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote? Jika tanpa melakukan Sensus atau Survei yang memotret fakta secara menyeluruh, meminjam lirik lagu Ebiet yang legendaris itu: silahkan tanyakan jawabannya pada rumput yang bergoyang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga