Langsung ke konten utama

Justifikasi Surplus 10 Juta Ton Beras

Senin lalu (2/7), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis perkiraan angka produksi padi tahun ini sebesar 68,59 juta ton gabah kering giling (GKG). Perkiraan tersebut disebut Angka Ramalan I (ARAM I). Angka yang tentu sangat menggembirakan bagi para pejabat pemerintah terkait pencapaian target surplus 10 juta ton beras di 2014. Betapa tidak. Angka ini lebih tinggi dari target produksi padi yang  ditetapkan pemerintah tahun ini, yakni sebesar 67,82 juta ton GKG.  

Jika dikonversi ke beras, angka 68,59 juta ton tersebut setara dengan 39,10 juta ton beras, jauh melampaui konsumsi beras nasional sebesar 33,40 juta ton. Artinya, tahun ini, diperkirakan terjadi surplus beras sekitar 6 juta ton, atau di atas target yang telah ditetapkan pemerintah–terkait  upaya mengamkan pencapaian surplus 10 juta ton beras di 2014–yakni sebesar 5,1 juta ton.


Hitung-hitungan di atas didasarkan pada data-data berikut: angka konversi gabah (kualitas GKG) ke beras sebesar 0,57 dan konsumsi beras per kapita 240 juta penduduk Indonesia sebesar 139,15 kilogram per kapita per tahun. Jika menggunakan angka konversi sebesar 0.63–yang digunakan pemerintah selama ini–dan angka konsumsi beras per kapita sebesar 113,72 kilogram per tahun (BPS, 2011), surplus yang terjadi lebih tinggi lagi: mencapai 16 juta ton (43,21 juta ton – 27,29 juta ton). Artinya, tak perlu menunggu lama hingga 2014 untuk mencapai surplus 10 juta ton karena tahun ini target tersebut telah terlampaui.

Hasil hitung-hitungan di atas tentu bakal membuat kita bingung, sekaligus dengan terang menunjukkan bahwa data statistik yang ada saat ini, utamanya data produksi padi, "masih goyang" untuk dijadikan pijakan dan justifikasi pencapaian target surplus 10 juta ton beras di tahun 2014.

Ketinggian
Ada banyak bukti yang bisa kita hadirkan untuk menunjukkan bahwa akurasi data produksi padi, yang telah lama ditengarai oleh banyak pihak menderita overestimate alias ketinggian itu, memang belum memuaskan.

Selama ini, data produksi padi/beras hasil kolaborasi BPS dan Kementerian Pertanian (Kementan) seringkali tidak konsisten dengan perkembangan harga beras di pasaran, begitu pula dengan konsumsi dan keadaan stok beras dalam negeri.  Sebagai contoh, Senin lalu, BPS juga melaporkan bahwa produksi padi nasional sepanjang tahun 2011 mencapai 65,76 juta ton GKG. Angka ini adalah angka final produksi padi tahun 2011 sehingga disebut Angka Tetap (ATAP). Artinya, jika menggunakan angka konversi sebesar 0,57, produksi beras nasional mencapai 37,48 juta ton di 2011 lalu. Sementara itu, jika digunakan angka konversi sebesar 0,63, produksi beras nasional lebih tinggi lagi, mencapai 41,43 juta ton.

Baik menggunakan angka konversi sebesar 0,57 maupun 0,63, kenyataannya produksi beras nasional jauh melampaui kebutuhan beras nasional yang hanya mencapai sekitar 33 juta ton (asumsi angka konsumsi beras per kapita 240 juta penduduk Indonesia sebesar 139,15 kilogram). Dengan lain perkataan, terjadi surplus beras sebesar 4-8 juta ton kala itu. Jika memang betul demikian, gejolak harga beras yang sempat terjadi tahun lalu–yang merupakan indikasi kuat kelangkaan suplai beras di pasaran–tentu tak bakal terjadi. Begitupula dengan impor beras, yang menuai sentimen negatif dari publik, tentu tak perlu dilakukan karena stok beras dalam negeri kenyataannya cukup melimpah.

Mengandalkan ramalan dan pandangan mata
Selama ini, BPS menggunakan hasil perkalian antara luas panen dan produktivitas (produksi per hektar) dalam menghitung produksi padi, yang kemudian dikonversi ke beras dengan menggunakan angka konversi tertentu.

Angka produksi padi tahun tertentu disajikan dalam 4 status angka yang berbeda: Angka Ramalan I (ARAM I), ARAM II, Angka Sementara (ASEM), dan Angka Tetap (ATAP). Sebetulnya, terkait pengambilan kebijakan, ARAM I dan ARAM II lebih memegang peranan penting karena masing-masing dirilis pada bulan Juli dan November tahun berjalan.

Namun sayangnya, unsur forecasting (peramalan) dengan menggunakan berbagai metode statistik dan matematis dalam penghitungan ARAM masih cukup dominan: 66,66 persen pada ARAM I (33,34 persen sisanya adalah hasil realisasi pengukuran produktivitas dan luas panen) dan 33,33 persen pada ARAM II. Selain itu, bila mau jujur, selama ini, validitas dan keterandalan model-model yang digunakan untuk peramalan sebetulnya juga masih belum memuaskan.

Dalam prakteknya, penghitungan produktivitas menjadi tanggung jawab BPS yang dilakukan melalui metode sampling/survei ubinan. Akurasinya sebetulnya cukup baik. Setiap tahun jumlah sampel ubinan terus ditambah sehingga kesalahan akibat penarikan sampel (sampling error)  dapat terus ditekan. Satu-satunya sumber ketidakakuratan dalam pengukuran produktivitas adalah moral hazard petugas: hasil ubinan ditentukan secara subjektif atau ubinan tidak dilakukan di sawah, tetapi “di atas meja.” 

Bila mau jujur, jika diasumsikan angka produksi padi yang ada selama ini memang menderita overestimate, mudah diduga bahwa kontributor utamanya adalah angka luas panen yang jauh dari akurat. Betapa tidak. Perkiraan luas panen–yang selama ini dilakukan oleh petugas Dinas Pertanian–masih mengandalkan metode pandangan mata (eye estimate). Dalam prakteknya, petugas datang ke sawah untuk memperkirakan luasan hamparan padi yang akan dipanen. Masih untung jika petugas datang ke sawah, bagaimana jika luas panen diperkirakan di atas meja? 

Kejanggalan yang selama ini terjadi terkait luas panen adalah trennya yang terus meningkat. Padahal, laju konversi lahan sawah terus terjadi secara masif di depan mata. Menurut sejumlah kalangan mencapai 100.000 hektar per tahun, dan hanya mampu diimbangi oleh pemerintah dengan pencetakan 40.000 hektar sawah baru setiap tahunnya. Artinya, ada sekitar 60.000 hektar lahan sawah yang hilang atau beralih fungsi setiap tahunnya.

Karena itu, perlu didorong penggunaan metodologi yang lebih baik terkait penghitungan luas panen. Pemanfaatan penginderaan jauh (inderaja), misalnya. Lebih dari itu, perbaikan dan penyempurnaan penghitungan angka produksi padi/beras harus terus dilakukan, begitu pula dengan konsumsi beras nasional. Dengan demikian, terkait pencapaian target 10 juta ton beras di 2014 nanti, pemerintah memiliki dasar justifikasi yang kokoh, bukan hanya angka-angka di atas kertas yang menyimpang jauh dari realita. Hal ini penting agar publik tidak merasa dibohongi.(*)

Pendapat pribadi. Tulisan ini tidak mewakili pandangan tempat penulis bekerja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga