Langsung ke konten utama

BPS: Badan Pertahanan SBY

Mohan maaf jika isi tulisan tidak sesuai dengan judulnya. Hanya sekedar memancing Anda untuk membaca....hehehe.

Saya merasa “ngeri” juga kala menyaksikan acara Bedah Editorial Media Indonesia di sebuah stasiun TV tempo hari. Tema yang diangkat dalam acara hari itu adalah Peta Kemiskinan, yang lagi-lagi menyoroti akurasi data kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) 1 Juli sebelumnya. BPS lagi-lagi melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin mengalami penurunan: pada Maret 2012 jumlah penduduk miskin dilaporkan turun sebesar 890 ribu orang dibanding kondisi Maret 2011.
 Seperti biasanya, ini merupakan kabar gembira yang segara disikapi skeptis oleh sebagian kalangan, terutama mereka yang tidak puas dengan kinerja pemerintahan saat ini. Ada anggapan bahwa statistik kemiskinan yang dirilis BPS tersebut telah mengesampingkan realitas kehidupan yang dirasakan rakyat kecil alias tidak sesuai dengan fakta keseharian yang mereka rasakan. Dan lagi-lagi, BPS kembali dituduh melakukan manipulasi terhadap data kemiskinan untuk mendukung justifikasi “palsu” keberhasilan pemerintah dalam mengentaskan penduduk miskin negeri ini. Tidak heran, ada seorang penanya dalam acara yang bersifat interaktif itu memelestkan kepanjangan BPS menjadi Badan Pertahanan SBY.
 Susah juga sebetulnya menyimpulkan mana yang benar kala membenturkan data hasil survei–yang didesain sedemikian rupa untuk menjelaskan karaktersitik populasi (jumlah penduduk miskin Indonesia)–dengan sebuah persepsi yang dibangun secara parsial berdasarkan fakta keseharian yang belum tentu menggambarkan kondisi populasi yang sesungguhnya: perkembangan penduduk miskin Indonesia. Orang boleh skeptis atau mungkin tidak percaya dengan statistik kemiskinan yang dirilis BPS. Tetapi, bukan berarti dengan itu, orang boleh seenak hati mengatakan bahwa statistik kemiskinan BPS tidak akurat, tidak sejalan dengan realitas di lapangan, atau apalah namanya tanpa didasarkan pada hasil sebuah survei yang secara metodologis hasilnya dapat diperbandingkan (comparable) dengan statistik kemiskinan BPS.

Singkat kata, jika Anda tidak percaya statistik kemiskinan yang dirilis BPS, silahkan lakukan survei sendri. Tentu saja survei serupa SUSENAS dengan 68.800 sampel rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia itu. Baru kemudian simpulkan apakah statistik kemiskinan BPS benar-benar akurat atau tidak.

Bisa Jadi Tidak Akurat

Namun demikian, bisa saja statistik kemiskinan yang dirilis BSP memang tidak akurat. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pada dasarnya angka kemiskinan BPS hanyalah hasil estimasi, yang boleh jadi menyimpang jauh dari kondisi yang sebenarnya. Inilah yang saya maksudkan dengan “kengerian” di awal tulisan ini. Bukan soal ancaman bahwa BPS bakal dibubarkan jika benar terbutki melakukan manipulasi data kemiskinan, sekali lagi bukan. Karena BPS memang tidak pernah melakukan hal itu. Tetapi, menyesatkan bangsa dan negara dengan infromasi statistik yang keliru tentu sebuah kesalahan besar. Apalagi, jika itu dilakukan secara sengaja. Inilah kengerian yang saya maksudkan.

Saat menyaksikan acara yang seru itu, ingatan saya kembali tertuju pada apa yang terjadi di acara sosialisasi updating (pemutahiran) Direktori Perusahaan Pertanian yang dihelat di Swissbel Hotel beberapa waktu lalu. Pada sesi tanya jawab, Ketua Dewan Hortikultura Nasional, Tony Kristianto, mempersoalkan data produksi jagung BPS. Dia melontarkan kritik, yang menurut saya, cukup pedas kala itu.

Tahun 2011, BPS melaporkan bahwa produksi jagung nasional mencapai 17,5 juta ton pipilan kering. Tetapi anehnya, para pelaku industri pakan ternak harus mengimpor 3,5 juta ton jagung dari luar negeri karena kesulitan memperoleh suplai jagung yang mencukupi dengan mengandalkan produksi dalam negeri. Padahal menurutnya, kebutuhan industri pakan ternak hanya 6 juta ton. Pertanyaan dia sederhana, kenapa begitu sulit mendapatkan 6 juta ton jagung padahal pada saat yang sama produksi jagung dalam negeri dilaporkan mencapai 17,5 juta ton? Kemana perginya jagung-jagung itu?

Ini tentu bukti sahih untuk meragukan akurasi data produksi BPS. Tidak heran kalau dia juga menyatakan bahwa yang namanya kesalahan adalah sesuatu yang wajar dalam statistik, tapi kalau kesalahannya lebih dari 60 persen tentu sudah keterlaluan, itu bukan lagi statistik namanya. Saya kira, kita patut khawatir keselahan–termasuk pada data kemiskinan–sebesar 60 persen itu memang betul adanya atau bahkan mungkin lebih besar lagi.

Celakanya, kritikan yang disampaikan secara berapi-api itu ternyata dimuat di harian Kompas sehari setelahnya dengan judul yang cukup bombastis, “Pengusaha Tak Lagi Percaya pada Data Pangan BPS.”Terkait hal ini, saya mendapat tugas khsusus, yang menurut saya sedikit lucu: mencari tahu siapa nama wartawan yang menulis berita tersebut.

Apa yang terjadi pada data produksi jagung dan kemiskinan seharusnya menjadi bahan renungan kita bersama, para insan BPS. Apakah visi “pelopor statistik terpercaya (trustworthy statistics) untuk semua” yang telah kita nyatakan dengan begitu hebat itu telah terwujud?.....(bersambung). (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga