Langsung ke konten utama

Jangan Politisasi BLT!



Ibarat orang yang tengah berdiri di tengah samudera, dengan air sampai ke leher. Sedikit saja gelombang tinggi datang menerjang, orang itu pasti tenggelam, megap-megap tak berdaya. Seperti itulah penggambaran orang miskin di Tiongkok, di masa lampau.

Bagi penduduk miskin negeri ini, yang jumlahnya mencapai 29,89 juta orang pada September 2011 lalu, gelombang itu dipastikan akan datang menerjang pada 1 April nanti. Disusul gelombang inflasi yang bakal memukul telak daya beli mereka. Gelombang lonjakan biaya hidup akibat naiknya harga-harga bahan kebutuhan pokok yang bakal membuat mereka megap-megap tak berdaya dan tenggelam. Karenanya, mereka harus segera diselamatkan. Dan, program unconditional cash transfer (UCT) seperti Bantuan Langsung Tunia (BLT) adalah salah satu caranya.

Karenanya, terlepas benar tidaknya alasan pemerintah di balik kebijakan menaikkan harga BBM dan siapa yang bakal menjadi pahlawan secara politis di mata rakyat jika BLT yang kini berganti nama menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) itu digulirkan, program UCT semisal BLT, BLSM, atau apapun namanya sejatinya sebuah jalan mulia untuk membantu penduduk miskin yang tengah terpuruk akibat kesulitan hidup yang dengan tiba-tiba datang menerpa. Sebuah jalan emergensi untuk menyelamatkan mereka agar tidak megap-megap oleh sapuan gelombang ekses kenaikan harga BBM.

Saat ini, lupakan dulu bicara soal memberi pancing atau kail, soal memberi modal usaha, atau soal-soal pemberdayaan (empowerement) lainnya. Untuk saat ini, yang dibutuhkan penduduk miskin negeri ini adalah cash transfer agar bisa bertahan hidup dalam beberapa bulan ke depan.

Karenanya, program BLT harus didukung. Kita tentu kecewa dengan sikap sejumlah elite politik belakangan ini yang mencoba menggiring BLT menjadi komoditas politik. Dengan mempersoalkan siapa yang bakal diuntungkan secara politis─terkait pemilihan umum di 2014 nanti─jika BLT digulirkan.

Soal siapa yang bakal menjadi pahlawan di mata ”wong cilik”, saya kira bukan sesuatu yang harus dipersoalkan jika memang yang dikedepankan adalah nasib dan kepentingan rakyat, bukan nasib dan kepentingan partai politik tertentu di 2014 nanti. Saya yakin, rakyat kita tidak bodoh-bodoh amat untuk mengidentifikasi siapa sejatinya yang betul-betul layak disebut pahlawan. Karenanya, jangan politisasi BLT! Gunakanlah nurani ketika berbicara kepentingan orang miskin, jangan semata-semata logika politik yang sayarat kepentingan!

Uji publik data RTS
Salah satu yang harus dihindari dalam penyaluran BLT nantinya adalah kebocoran. Pengalaman lalu-lalu menunjukkan, banyak dana BLT yang salah sasaran. Ditengaria, salah satu penyebabnya adalah data rumah tangga sasaran (RTS) yang kurang akurat. Sebetulnya, terkait hal ini, bisa diatasi jika ada kerjasama yang padu antara aparat desa dan pihak Badan Pusat Statistik (BPS).

Kabarnya, sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Armida S Alisjahbana, jumlah rumah tangga penerima BLT pada tahun ini mencapai 18,5 juta rumah tangga, yang merupakan 30 persen rumah tangga kelompok ekonomi terbawah hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan BPS pada 2011 lalu. Rumah tangga penerima BLT nantinya mencakup rumah tangga sangat miskin, miskin, dan hampir miskin (Kompas.com, 13/03/2012).

Kabarnya pula, besaran BLT yang akan diterima setiap rumah tangga sebesar Rp.150.000,- per bulan selama sembilan bulan. Penyalurannya melalui kantor pos dan akan dirapel setiap tiga bulan. Dengan demikian, dana BLT yang diterima setiap rumah tangga sebesar Rp450.000,- untuk setiap tiga bulan (Kompas.com, 13/03/2012).

Terkait data RTS, saya kira perlu dilakukan semacam uji publik oleh BPS bersama aparat desa/kecamatan terhadap keakuratan data tersebut. BPS harus terbuka perihal data daftar RTS. Data tersebut sudah harus segera dirilis dan dikoordinasikan dengan aparat desa/kecamatan sebelum BLT disalurkan.

Hal ini dimaksudkan agar rumah tangga yang sebetulnya tidak layak menerima BLT dapat dikeluarkan dari daftar RTS, dan membuka kesempatan bagi rumah tangga yang sebetulnya layak  menerima bantuan tapi gagal terjaring saat pendataan sehingga dapat dimasukkan ke dalam daftar RTS. Dengan demikian, terjadinya kebocoran atau salah sasaran seperti yang lalu-lalu dapat diminimalisir. (*)

Data-data dari BPS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...