Langsung ke konten utama

Dosen Idaman


Saya menulis ini tanpa pretensi apapun, hanya semata-mata karena kepedulian dan kecintaan pada sebuah kampus kecil di Otista itu, tempat saya berkuliah dulu.

Dalam sebuah diskusi hingga larut malam beberapa waktu lalu, seorang kawan, yang sedang mempersiapkan diri menghadapi Ujian Akhir Semester (UAS), menyampaikan keluh kesahnya kepada saya. Keluh kesah yang menurut saya cukup gawat nan berbahaya karena telah membuatnya mati gaya dan kehilangan gairah (passion) dalam belajar. Dan, takutnya, fenomena mati gaya dan kehilangan gairah ini tidak hanya terjadi pada kawan yang sebetulnya cerdas dan memliki semangat belajar berapi-api itu, tetapi juga pada kawan-kawannya yang lain, dalam spektrum yang luas, apalagi masif.

Dalam diskusi yang hanya ditemani segelas teh manis hangat dan beberapa lembar kertas coret-coretan—yang tak bisa dijadikan cemilan—itu, dia mengungkapkan kekecewaannya, mungkin lebih tepatnya kekesalannya, terhadap beberapa orang dosen yang menurutnya terlalu kaku dalam hal mengajar. Sebuah kekakuan yang ujung-ujungnya memunculkan tekanan psikologis bagi dirinya. Dan, bahayanya, ada indikasi bahwa kekakuan itu menjadikannya tidak suka dan tak tertarik lagi dengan ilmu yang diajarkan sang dosen. Lagi-lagi, saya takut, jangan-jangan hal yang sama juga terjadi pada kawan-kawannya yang lain. Kalau sudah seperti itu tentu gawat. Itu artinya, tengah terjadi ‘bencana akademik’ di sekolah sensus yang telah berhasil menelorkan menteri dan wakil menteri itu.

Paradigma jaman bahoela
Saat menjelaskan bentuk kekakuan yang dia maksudkan, kawan saya itu mengambil contoh beberapa peristiwa yang dialaminya di kelas. Dalam tulisan ini, saya hanya akan menuliskan salah satu diantaranya. Berikut adalah contoh kekakuan yang dikisahkannya.

Suatu hari, di sebuah kelas Aljabar Linier (Alin), sang dosen, yang menurutnya kaku itu, bertanya kepada semua mahasiswa, apakah ada yang belum mereka pahami dari materi yang telah disampaikannya, tidak lupa pula sang dosen mempersilahkan mereka untuk bertanya jika tak paham. Gayung pun bersambut. Seorang mahasiswa asal Nias, Sumatera Utara, dengan rasa ingin tahunya yang meluap-meluap pun bertanya. Namun, sial bagi sang mahasiswa, bukannya mendapat jawaban dan penjelasan dari pertanyaan yang diajukannya, dia malah kena semprot dari sang dosen. Dengan nada suara yang sedikit tinggi dan menghujam hati, sang dosen berucap kepada sang mahasiswa asal Nias itu, “Kamu kemana saja? Seperti itu saja gak ngerti.”

Terlepas dari pertanyaan sang mahasiswa yang seharusnya—mungkin—tidak perlu ditanyakan jika dia betul-betul memerhatikan penjelasan sang dosen, bertanya tentang sesuatu hal yang tidak dipahami saat proses belajar mengajar adalah hak setiap mahasiwa, dan menjadi kewajiban sang dosen untuk menjawabnya dengan jawaban yang sejelas-jelasnya. Karena sejatinya, itulah tugas utama seorang dosen, yakni mememahamkan mahasiswa terhadap apa yang diajarkannya.

Saya kira, tanpa perlu merujuk pada teori pengajaran atau pendidikan yang ideal sekalipun, kita semua sepakat bahwa bentakan sang dosen terhadap mahasiswa di atas adalah sebuah kekeliruan. Pola-pola pengajaran semacam ini adalah paradigma pendidikan/pengajaran jaman bahoela, jaman pendudukan Belanda atau Jepang tempo doeloe, yang hanya akan menjadikan sang dosen dan apa yang diajarkannya sebagai teror dan momok yang menakutkan bagi mahasiswa. Pola pengajaran semacam ini, bukannya menjadikan mahasiwa paham, tetapi hanya akan menyisakan tekanan pisikologis bagi mereka. Dan, semakin berbahaya, jika kemudian menjadikan mereka tidak tertarik, bahkan benci terhadap apa yang diajarkan. Bukankah, kunci untuk menjadikan seseorang paham dan ahli pada suatu disiplin ilmu adalah adanya ketertarikan (interest) dan passion. Kalau dua hal ini telah hilang pada diri mahasiswa, yang ada adalah ibarat menyiram air di atas pasir.

Celakanya, tekanan pisikologis itu kian menjadi-jadi karena apa yang diajarkan oleh sang dosen adalah sesuatu yang relatif sulit, misalnya, Alin. Apalagi, jika kesulitan itu juga dibarengi dengan ancaman drop out (DO) yang mengintai setiap mahasiswa tatkala gagal pada mata kuliah yang diajarkan. Saya kira, kita semua setuju, segala sesuatu yang dilakoni dalam kondisi under pressure tidak akan berujung pada hasil yang maksimal, bahkan lebih sering mengecewakan.

Pola pengajaran jaman bahoela menjadikan ruang kelas tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk belajar dan berdiskusi, yang ada hanya aura ketegangan dan harapan agar kuliah cepat berakhir. Pada kondisi seperti ini, dapat dipastikan, mahasiswa lebih sering melirik jam dinding ketimbang papan tulis untuk memastikan kapan kuliah yang sama sekali tidak menarik dan menyenangkan segera usai. Dan, tentu saja, amat girang segirang-girangnya, bahkan disertai untaian kalimat syukur yang dihaturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, jika sang dosen berhalangan untuk hadir (pengalaman pribadi).

Dosen idaman mahasiswa
Saat menyimak keluh kesah kawan saya di atas, ingatan saya tiba-tiba tertuju pada sebuah tulisan Prof. Andi Hakim Nasution, ahli statistik dan mantan Rektor Institut Pertanin Bogor (IPB), pada sebuah buku (lupa judulnya) yang saya baca beberapa tahun yang lalu semasa kuliah dulu. Dalam tulisannya itu, beliau menyadur perkataan seorang guru Matematika di sebuah sekolah Belanda jaman bahoela yang kurang lebih seperti ini redaksinya, “Kalau Anda mengajar Matematika lantas dengan itu siswa Anda menjadi benci terhadap Matematika, berarti Anda sejatinya juga benci terhadap Matematika.”

Menurut saya, dari kutipan Prof. Andi Hakim di atas pesannya adalah seorang dosen hendaknya mengejar dengan penuh kecintaan dan passion terhadap ilmu yang diajarkannya. Kecintaan dan passion itu akan menjadikannya berupaya semaksimal mungkin membuat mahasiswa tertarik dan antusias dengan apa yang diajarkannya. Karena sejatinya, dia ingin menularkan kecintaan dan passion itu. Ada semangat yang begitu meluap-meluap dan tulus untuk memahamkan mahasiswa, dengan cara yang menarik dan menyenangkan, serta tidak kaku tentunya. Dia bisa membuat sesuatu yang sulit menjadi terasa mudah, bukan bertambah sulit. Apalagi sebaliknya, sesuatu yang mudah malah menjadi sulit.

Dosen yang seperti ini, kehadiarannya akan senantiasa ditunggu oleh para mahasiswa. Ada rasa kehilangan jika dia tak hadir. Penjelasannya adalah sesuatu yang menarik dan menyenangkan untuk disimak oleh mahasiswa, membuat mereka lupa waktu dan tak sadar tahu-tahu waktu kuliah telah berakhir. Dan, semua itu menjadikan mahasiswa punya gairah dan ketertarikan pada apa yang diajarkannya.

Sayangnya, di sekolah sensus tempat saya kuliah dulu, dosen idaman (bukan Pak Idaman) yang semacam itu nyaris tidak ada. Bagaimana dengan Anda yang pernah atau sedang berkuliah di sana? Moga-moga memiliki pengalaman yang berbeda. (*)

Pendapat pribadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga