Langsung ke konten utama

BPS: Tukang Sulap


Saya terpancing untuk menulis postingan ini saat membaca sebuah tulisan bertajuk  "Dua Juta Remaja Hilang di Tahun 2011: 'Sulap-sulapan' Ala BPS" yang di-posting di Kompasiana pada Rabu kemarin (1/2).

Sebagai statistisi Badan Pusat Statistik (BPS), saya merasa perlu menanggapi isi postingan itu. Pasalnya,   menurut saya, terdapat sejumlah kekeliruan yang cukup ‘berbahaya’. Saya katakan berbahaya karena dengan kekeliruan itu penulis dapat menggiring pembaca pada persepsi keliru: data-data (statistik) yang dilaporkan BPS sarat rekayasa dan tak dapat dipercaya. Ini terindikasi melalui sejumlah komentar pembaca postingan itu. Padahal sejatinya, dengan data BPS itulah publik dapat tercerahkan, serta semakin cerdas dan objektif dalam memberikan penilaian terhadap suatu hal, khususnya kinerja pemerintah.

Bias interpretasi
Sebetulnya, bukan kali ini saja data BPS dipersoalkan kesahihannya. Sebelum-sebelumnya, hal semacam ini juga sudah kerapkali terjadi di berbagai forum dan media. Bahkan tidak jarang, mereka yang mempersoalkan data BPS itu adalah para tokoh yang suara dan opininya didengar secara luas oleh publik. Kerapkali, mereka yang mempersoalkan kesahihan data-data BPS itu menyatakan diri pengamat, yang statementnya dikutip secara luas oleh media arus utama (main stream media)—cetak maupun elektronik. Meskipun sejatinya, statement mereka acapkali keliru dan, kalau boleh dibilang, terkesan sok tahu.

Dibutuhkan kehati-hatian ketika membaca dan menganalis data-data BPS. Pemahaman pengguna data terkait metodologi yang digunakan, misalnya, konsep dan defenisi dari variabel yang sedang dipersoalkan datanya, adalah sebuah keharusan. Tanpa pemahaman itu, dapat dipastikan, pengguna data akan terjerembab ke dalam bias interpretasi dan kekeliruan dalam memaknai angka-angka yang disajikan BPS.

Inilah yang kerap terjadi dan menimpa mereka yang disebut tokoh dan pengamat itu. Celakanya, terkadang mereka sudah terlanjur mengumbar statement keliru yang mendiskreditkan BPS dan datanya di berbagai media. Misalnya, batas kemiskinan BPS tidak manusiawi, angka kemiskinan BPS adalah kebohongan dan telah dipolitisasi, BPS alat pencitraan pemerintah, dan segala rupa statement lain bernada sama bahwa data-data BPS tak bisa lagi dipercaya.

Sebagai contoh, tentu masih segar dalam ingatan kita ketika sekelompok tokoh negeri ini yang menyebut diri ‘Tokoh Lintas Agama’ menuduh pemerintah telah berbohong soal data kemiskinan beberapa waktu yang lalu karena data jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 yang mencapai 31,02 juta orang tidak konsisten dengan data jumlah penduduk penerima beras miskin (raskin) yang jumlahnya mencapai 70 juta orang. Tuduhan ini sebenarnya muncul karena ketidakpahaman mereka ketika menggunakan data-data BPS sehingga timbul kesan bahwa seolah-olah terdapat dua angka kemiskinan yang berbeda.

Padahal, sebenarnya tidaklah demikian. Data jumlah penduduk penerima raskin tidak hanya mencakup penduduk miskin, tetapi juga penduduk hampir miskin. Berdasarkan hasil pendataan BPS pada survei Pendataan Program perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008, jumlah rumah tangga sasaran (RTS) yang layak menerima raskin mencapai 17,5 juta rumah tangga. RTS mencakup rumah tangga miskin dan hampir miskin. Sehingga dengan asumsi kasar bahwa setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, maka ada sekitar 70 juta orang yang akan menerima raskin.

Tukang sulap
Kekeliruan seperti inilah sebetulnya yang juga terjadi pada penulis postingan itu. Dia mempersoalkan data BPS yang menyebutkan telah terjadi penurunan jumlah angkatan kerja sebanyak 2 juta orang sepanjang periode Februari-Agustus 2011 lalu di Indonesia. Menurutnya, penurunan ini merupakan sebuah keganjilan yang hanya bisa terjadi jika dalam kurun waktu 6 bulan tersebut ada sekitar 2 juta remaja negeri ini yang lenyap begitu saja. Dengan dasar ini pula, penulis tidak segan-segan menuduh BPS telah malakukan ‘sulap’ terkait data ketenagakerjaan yang dirilisnya. Hebat nian tuduhan semacam ini. Sejak kapan BPS menjadi ‘tukang sulap’? Terus bagaimana pula trik sulap yang digunakan BPS itu?

Bagi mereka yang paham betul tentang data ketenagakerjaan BPS, nampak jelas, penulis tidak mengerti mengenai persoalan yang sedang disorotinya. Bahkan, terkesan sok tahu. Jelas-jelas, dari tulisannya yang kritis namun keliru itu, penulis tidak paham mengenai konsep dan defenisi yang digunakan BPS, yakni soal angkatan kerja dan tingkat pengangguran.

Ambil contoh, dalam postingannya, penulis menuliskan kalimat berikut: “Angkatan kerja itu merupakan jumlah penduduk yang berusia di kisaran 17 sampai 64 tahun.” Kalimat ini jelas sebuah defenisi yang keliru mengenai angkatan kerja, dan dengan terang menunjukkan bahwa penulis sebetulnya tidak paham perihal konsep angkatan kerja. Dengan defenisi, yang entah diambil dari mana ini, penulis sebetulnya teleh mereduksi cakupan angkatan kerja hanya pada batasan variabel usia saja, itupun dengan batasan usia yang sebetulnya juga kurang tepat. Karena berdasarkan rekomendasi International Labor Organazation (ILO), penduduk usia kerja (economically active population) adalah mereka yang berusia 15 tahun ke atas—tanpa batas atas. Dan, inilah konsep yang digunakan oleh BPS selama ini ketika mengumpulkan data ketenagakerjaan di Indonesia, termasuk ketika menghitung jumlah pengangguran di negeri ini.

Defenisi penulis mengenai angkatan kerja yang dangkal, sempit, dan keliru itu telah mengabaikan kaharusan untuk tidak mengikutsertakan mereka yang sejatinya tidak terlibat atau tidak berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif—bekerja—memproduksi barang dan jasa ke dalam kelompok angkatan kerja (labor force), misalnya, mereka yang sedang bersekolah, ibu rumah tangga, dan pensiunan/lansia. Nampak jelas, penulis tidak memahami kalau mereka ini sebetulnya tidak termasuk angkatan kerja—meskipun termasuk penduduk usia kerja. Lebih jauh lagi, penulis juga tidak paham bahwa perubahan jumlah angkatan kerja—naik atau turun—juga merupakan resultan dari dinamika yang terjadi pada kelompok-kelompok ini: jumlah penduduk yang sedang bersekolah, ibu rumah tangga, dan pensiunan/lansia. Bukan semata-mata karena pertambahan jumlah penduduk yang menginjak usia kerja—remaja menurut penulis.

Karenanya, tidak ada yang salah dengan data BPS perihal penurunan jumlah angka angkatan kerja sebesar 2 juta orang sepanjang periode Februari-Agustus 2011 itu. Penurunan itu sangat logis dan masuk akal untuk terjadi, misalnya, karena sebab berikut: banyak wanita yang tadinya bekerja memutuskan untuk berhenti bekerja setelah menikah kemudian menjadi ibu rumah tangga; atau banyak angkatan kerja yang telah memasuki usia pensiun/lansia sepenjang periode Februari-Agustus 2011.

Selain itu, tentu tidak semua penduduk yang memasuki usia kerja sepanjang periode Februari-Agustus 2011 lantas termasuk angkatan kerja. Karena, sebagian besar mereka baru tamat pendidikan dasar dan kemungkinan besar masih bersekolah. Bukankah, usia 15-17 tahun merupakan masa-masa paling indah bagi lazimnya remaja di negeri ini yang sedang mengenyam pendidikan di bangku SMA. Saya yakin, penulis juga pernah merasakan masa-masa indah itu.

Justru sebetulnya yang lebih patut disalahkan adalah argumen keliru penulis, yang didasarkan pada defenisi sempit dan dangkal mengenai angkatan kerja, yang hanya berkutat pada variabel usia. Sebagaimana tersaji pada redaksi berikut:  Jadi jika disebutkan bahwa ada penurunan jumlah angkatan kerja, berarti dalam kurun waktu itu ada 2 juta penduduk yang usianya beranjak ke 65 tahun dan SAMA SEKALI tidak ada remaja yang usianya beranjak ke 18 tahun..!!!…..Wew.!! Apakah dua juta remaja ini ‘hilang mendadak’ dalam 6 bulan di tahun 2011 lalu..? Ada alien-kah yang mengincar para remaja Indonesia? :)

Jujur, saya sedikit tertewa ketika membacanya. Bukan karena kalimat terakhirnya, soal alien yang mengincar para remaja negeri ini. Tetapi, kelucuan dari suatu penarikan kasimpulan yang bias dan keliru, yang didasarkan pada ketidakpahaman terhadap persoalan yang sedang disorot dan semangat sok tahu yang berapi-api.

Hal yang juga menggelitik adalah pada redaksi berikut: ….Ini adalah grafik prosentase pengangguran terhadap jumlah penduduk Indonesia, yang menunjukkan adanya peningkatan setiap tahunnya, mencapai 10% di tahun 2011 lalu. Bahkan jika dihadapkan pada jumlah angkatan kerja, prosentase pengangguran di Indonesia mencapai 69% dari total angkatan kerja..! (lihat pie chart di bawah ini).

Saya tidak mengerti, kok bisa dan darimana? Penulis  memperoleh angka bahwa tingkat pengangguran di Indonesia terus meningkat selama beberapa tahun terakhir, dan pada tahun 2011 lalu mencapai 10 persen dari total penduduk Indonesia, bahkan telah mencapai 69 persen dari total angkatan kerja? Apakah penulis melakukan survei sendiri? Karena terang saja, ini bertentangan dengan data yang dirilis oleh BPS selama ini. Menurut data BPS, tingkat pengangguran terbuka, yakni persentase mereka yang sama sekali tidak bekerja terhadap total angkatan kerja—bukan total penduduk—terus menurun selama beberapa tahun terakhir, dan telah mencapai angka 6,8 persen pada Agustus 2011 lalu.

Sekedar diketahui, data-data ketenagakerjaan BPS didasarkan pada hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dengan jumlah sampel sekitar 50.000 rumah tanggga yang tersebar di seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua. Metodologi surveinya pun juga jelas, sejelas mata hari di siang bolong. Terlebih lagi, data-data ketenagakerjaan BPS, kenyataannya, selama ini juga diterima dan digunakan secara luas oleh berbagai lembaga internasional, semisal, Asian Development Bank (ADB) dan World Bank untuk menilai kinerja pembangunan/ekonomi negeri ini.

Silahkan Anda mengunjungi laman dua lembaga ini! Di sana, pasti Anda akan mendapati angka pengangguran Indonesia sebagaimana yang dirilis oleh BPS. Dan, sampai kapan pun, Anda tidak akan pernah mendapati angka-angka pengangguran sebagaimana yang disebutkan oleh penulis di atas—10 persen, apalagi sampai 69 persen pada tahun 2011. Kalau boleh dibilang, seperti inilah sebetulnya yang disebut ’sulap-sulapan’ dengan statistik itu. Angka-angka yang disodorkan penulis lebih patut untuk diragukan dan tidak dipercayai karena tidak jelas asal-usul dan metodologinya. Dari ketidakjelasan ini, jelas sudah siapa sebetulnya  ‘tukang sulapnya’? Saya kira, pembaca bisa menyimpulkan sendiri.

Sebetulnya, masih ada lagi beberapa kekeliriun penulis yang ingin saya ulas. Namun saya kira, dari uraian ringkas ini sudah nampak jelas bahwa penulis telah terperosok ke dalam bias interpretasi terhadap data-data BPS yang disorotnya.

Saya haturkan terima kasih kepada penulis atas sikap kritis dan kepeduliannya terhadap data-data BPS. Tetapi, alangkah lebih elok kiranya bila sikap kritis itu juga dibarengi dengan kehati-hatian, kecermatan, dan pemahaman tentang metodologi yang digunakan sehingga kesalahan dalam memaknai angka seperti ini tidak terjadi.

Salam Statistik

Silahkan dibaca

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga