Langsung ke konten utama

Beda Rusia dan Indonesia Soal Kependudukan


Beberapa waktu lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menghimbau warga negaranya untuk meningkatkan intensitas hubungan seks. Imbauan tersebut, yang sontak menuai ejekan dari rakyat Rusia ini, dimaksudkan untuk mendongkrak angka kelahiran negara bekas Uni Soviet itu yang kian mengkhawatirkan.

Betapa tidak. Sebagai negara terluas di dunia, dewasa ini, Rusia ternyata mengalami kekurangan penduduk. Berdasar data yang ada, dalam 10 tahun terakhir, penduduk Rusia telah berkurang sebesar 2,5 juta orang. Dan, saat ini, penduduk Rusia hanya mencapai 145 juta orang, terlalu sedikit untuk sebuah negara yang secara geografis terluas di dunia.
Walaupun menuai ejekan dari mana-mana, Putin ternyata tidak main-main dalam imbauannya. Bahkan, dia berjanji untuk memberikan sejumlah insentif kepada keluarga yang mau menambah anak lebih dari dua, seperti taman kanak-kanak (TK) gratis, perumahan murah, dan bonus sebesar £140 setiap bulannya bagi ibu yang memiliki anak ketiga.

Dengan imbauannya itu, Putin berambisi untuk mendongkrak populasi Rusia hingga mencapai 154 juta orang. Namun, menurut sejumlah kalangan, ambisi Putin itu bakal sulit terwujud, kecuali ada migrasi besar-besaran (masif) dari luar Rusia ke  Rusia. Selain itu, nampaknya, Putin harus bekerja keras untuk mewujudkan ambisinya, menyusul gelombang penolakan dan ejekan dari warganya sendiri.

Bagaimana dengan Indonesia?
Bagi Indonesia, tidak terlalu sulitbahkan sangat mudahuntuk menambah 9 juta penduduk dalam waktu yang singkat. Tidak perlu ada insentif segala, tingkat kelahiran di Indonesia sudah sangat tinggi. Betapa tidak. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia yang dilaksanakan BPS tahun 2007 lalu menunjukkan, wanita usia subur di Indonesia secara rata-rata memiliki 2-3 orang anak.

Alhasil, kalau Rusia mengalami penurunan jumlah penduduk sebesar 2,5 juta orang dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia malah sebaliknya, mengalami pertambahan jumlah penduduk yang sangat pesat, bahkan salah satu yang terpesat di dunia.

Berdasar data yang dirilis BPS beberapa waktu lalu, sepanjang periode 2000-2010, laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya secara rata-rata mencapai 1,49 persen per tahun. Itu artinya, ada tambahan sekitar 3-4 juta penduduk setiap tahunnya. Dengan lain perkataan, Indonesia hanya butuh waktu sekitar dua tahun untuk menghasilkan tambahan sebesar 9 juta orang penduduk.

Kalau Putin dipusingkan dengan angka kelahiran yang rendah di negaranya, pemerintah Indonesia sebaliknya, justru dipusingkan dengan angka kelahiran yang terlalu tinggi dan pesatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk. Karenanya, pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BBKBN) sangat gencar mengampanyekan kepada rakyat negeri ini agar memiliki dua anak saja. Tidak seperti pemerintah Rusia yang menghimbau warganya untuk menambah anak─bagi yang telah berkeluarga tentunya.

Seandainya imbauan menambah anak juga diterapkan di Indonesia, apalagi disertai dengan iming-iming berupa insentif, bisa bahaya. Ledakan jumlah penduduk akan menjadikan negeri ini kian melarat. Pasalnya, dengan jumlah penduduk sebesar 240 juta seperti saat ini saja, pemerintah sudah kewalahan mengurusnya. Masih ada sekitar 29,89 juta penduduk yang belum dientaskan dari kemiskinan, dan belum mampu dipenuhi oleh pemerintah hak-hak dasarnya: pendidikan, kesehatan, dan daya beli yang cukup.

Banyak tapi tak berkualitas?
Saat ini, dari segi jumlah penduduk, Indonesia menempati posisi keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia juga diuntungkan dengan struktur penduduk yang lebih didominasi penduduk usia muda. Kondisi ini menjadikan dependency ratio, yakni rasio penduduk yang tidak produktif secara ekonomi terhadap penduduk yang produktif,  cukup kecil. Dengan lain perkataan, beban tanggungan penduduk produktif di Indonesia sangat rendah.

Jika kondisi ini ditunjang oleh performa pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dan peningkatan kapabilitas, utamanya pendidikan, penduduk kelompok usia muda, dapat diapastikan tidak kurang dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia akan menuai yang namanya ‘bonus demografi’, dimana pendapatan per kapita penduduk sangat tinggi, bisa menembus lebih dari US$ 20.000 per tahun.

Sayangnya, dari segi kualitas, penduduk Indonesia belum memuaskan. Terindikasi dari sejumlah indikator, misalnya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga, seperti Singapura, Malyasia, Thailand, Brunai Darussalam, dan Filipina. Berdasar data yang dirilis oleh United Nations Development Programme (UNDP) baru-baru lalu, pada tahun 2011, skor IPM indonesia sebesar 0,617, menempati peringkat 124 dari 187 negara yang dihitung IPM-nya oleh UNDP.

IPM merupakan indeks komposit, yakni gabungan dari indeks harapah hidup, indeks pendidikan, dan indeks pendapatan, yang menggambarkan tingkat kapabilitas dan kaulitas manusia suatu wilayah/negara yang tercermin melalui tingkat kesehatan, pendidikan, dan pendapatan per kapita.  Dengan skor IPM sebesar 0,617, itu artinya kualitas pembangunan manusia Indonesia termasuk kategori medium (medium human development) menurut UNDP, dan pastinya masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negera tetangga yang disebut di atas.

Inilah tantangan berat yang dihapai pemerintah kedepannya, yakni bagaimana membuat penduduk Indonesia semakin berkualitas di masa-masa yang akan datang sehingga harapan untuk menuai bonus demografi dan menjadi salah satu negara maju tidak sekedar utopia.(*)

Sumber tulisan: Daily Mail, data-data dari BPS dan UNDP.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga