Hasil sensus penduduk yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) bulan lalu mengungkap fakta bahwa dari 237,6 juta penduduk Indonesia pada Mei 2010, 236,7 juta (99,6 persen) diantaranya menyatakan diri mereka beragama. Hanya sebanyak 896,7 ribu penduduk (0,4 persen) yang gagal teridentifikasi status keagamaannya, baik karena tidak terjawab maupun tidak ditanyakan saat sensus.
Sebanyak 207,2 juta (87,1 persen) penduduk Indonesia mengaku memeluk agama Islam, Kristen Protestan 16,5 juta (6,96 persen), Katolik 6,9 juta (2,91 persen), Hindu 4 juta (1,69) persen), Budha 1,7 juta (0,72 persen), Khong Hu Chu 117,09 ribu (0,05 persen), lainnya 299,6 ribu (0,13 persen), dan tidak teridentifikasi 896,7 ribu (0,4 persen).
Fakta di atas semakin meneguhkan keberadaaan Indonesia sebagai negara beragama atau negara berketuhanan sebagaimana telah dinyatakan pada sila pertama Pancasila dan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 29 ayat 1.
Paradoks
Dalam kehidupan sehari-hari, agama berperan sebagai suatu sistem sanksi/persetujuan yang meligitimasi/mensahkan dan memperkuat nilai-nilai sosial, serta dapat pula menghentikan perilaku tidak baik. Agama dinggap sebagai benteng moral yang dapat melindungi seseorang dari melakukan segala sesuatu yang dianggap tidak baik secara normatif.
Karenanya, statistik di atas idealnya berkorelasi secara positif dengan tingkat kesalehan (religiosity) penduduk Indonesia yang sebagian besar menyatakan diri beragama.
Dan jika memang nilai-nilai agama benar-benar terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari, tentu saat ini kita tidak akan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Di mana Kementerian Agama (Kemendag) yang menjadi simbol moral negeri ini justeru menjadi salah satu penggiatnya.
Berdasarkan laporan Transparansi Internasional baru-baru lalu, Indonesia menempati posisi ke-100 dari 183 negara yang disurvei dalam hal prestasi pemberantasan korupsi. Indeks korupsi Indonesia dilaporkan sebesar 3,0, dan dengan memperhatikan skala indeks yang digunakan, yakni dari 0 (paling korup) hingga 10 (paling bersih), itu artinya negara ini masih jauh dari bersih alias korup.
Beberapa waktu yang lalu sejumlah media juga mewartkan, berdasarkan survei yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Agama (Kemendag), isntitusi yang boleh bilang paling bertanggungjawab terhadap pembinaan akhlak dan moral bangsa ini, ternyata adalah salah satu institusi yang paling korup di negeri ini. Saat ini, salah satu isu korupsi yang tengah hangat diperbincangkan di pelbagai media yang menerpa institusi itu adalah dugaan adanya korupsi proyek pengadaan fasilitas untuk sekolah-sekolah madrasah se-Indonesia.
Dua hal di atas tentu saja merupakan kenyataan miris dan paradoks dengan kenyataan bahwa kita merupakan negara-bangsa yang mengaku beragama.
Islam KTP
Dengan jumlah penduduk Muslim sebanyak 207,2 juta jiwa, itu artinya Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Sesuatu yang tentu saja amat membanggakan. Itulah sebab, dari sekitar 2 juta lebih jamaah haji yang memenuhi “Tanah Suci” setiap tahunnya, paling banyak─sekitar 10 persennya─berasal dari Indonesia. Namun sayangnya, kita hanya hebat dalam hal kuantitas, dari segi kualitas─kesalehan─ kenyataannya banyak penduduk Muslim negeri ini jauh menyimpang dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agamanya.
Kita tidak butuh data statistik untuk membuktikan kalau sebagian besar pejabat publik dan pelaku korupsi di negeri ini adalah Muslim. Mereka tentu tahu kalau korupsi, tindakan mencuri uang rakyat yang berujung pada kesengsaraan puluhan juta rakyat negeri ini, merupakan dosa besar. Tapi mengapa mereka masih saja menjadi koruptor? Jawabannya sederhana, karena bagi mereka agama hanyalah identitas, kendaraan dan komoditas politik. Bagi mereka, semangat keberagamaan hanyalah praktek ibadah ritual semata tanpa terejawanntahkan dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Singkat kata mereka hanyalah “Islam KTP”.
*****
Sumber: Koran Kompas, data-data dari BPS
Komentar
Posting Komentar