Langsung ke konten utama

BPS: Badan Pembohongan Statistik


Rakyat nampaknya kian tak percaya dengan pemerintahan saat ini. Segala bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah telah terakumalasi sedemikian rupa hingga memunculkan anggapan bahwa pemerintah saat ini ‘tukang bohong’. Makanya, sejumlah kalangan, yang nampaknya tak puas dengan kinerja pemerintahan saat ini, telah menetapkan tahun 2011 lalu sebagai tahun penuh dusta.

Karena rakyat tak lagi percaya, alhasil, semua yang datangnya dari pemerintah dianggap sebagai kebohongan. Berbagai klaim pemerintah terkait keberhasilan dalam menjalankan roda pemerintahan negeri ini dianggap hanya politik citra yang miskin realita. Meski klaim tersebut dikuatkan dengan data-data statistik, misalnya: turunnya angka kemiskinan dan pengangguran, serta pertumbuhan ekonomi yang mengesankan; publik tetap saja tak percaya. Bagi mereka, data-data statatistik tersebut sarat rekayasa, hasil tipu-tipu para statistisi pemerintah, hanya ilusi, dan pemoles kebohongan semata.

Karenanya, Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai instansi pemerintah yang selama ini diamanahi tugas untuk menyajikan data-data statistik tersebut juga kena getahnya. Berbagai tuduhan miring pun mengarah kepada BPS sebagai penyedia data-data statistik yang dinggap sebagai pemoles kebohongan itu. Seperti yang terjadi belum lama ini, misalnya. Ketika mengomentari salah satu tulisan saya, seorang kompasianer dengan seenak hatinya memelesetkan singkatan BPS menjadi  ‘Badan Pembohongan Statistik’. Saya sebagai seorang pegawai BPS tentu tersinggung dengan komentar yang sama sekali tidak cerdas itu. Kenapa saya tersinggung? Karena selama ini saya tidak pernah sekalipun merekayasa angka untuk menyokong kebohongan pemerintah sebagaimana yang senantiasa dituduhkan selama ini.

Di BPS, saya bekerja di Subdirektorat Statistik Tanaman Pangan. Bagian yang tugas utamanya menghitung angka produksi padi dan palawija. Angka ini adalah salah satu data strategis BPS. Ada banyak pihak yang berkepentingan dengannya. Kebijakan impor beras yang akan dilakukan Bulog bergantung pada angka ini. Kinerja pemerintah, khususnya Kementrian Pertanian, dalam menggenjot produksi pangan nasional juga diukur dari angka ini. Begitu pula dengan kinerja para kepala daerah mulai dari gubernur hingga bupati dalam menjamin ketersedian pangan di daerahnya juga diukur dari angka ini. Semua pihak yang berkepentingan ini tentu amat berharap kalau angka produksi selalu naik. Kalaupun turun jangan sampai terlalu tajam. Singkat kata, angkanya harus bagus.

Pada November 2011 lalu, BPS telah merilis angka ramalan produksi yang sama sekali tidak sejalan dengan apa yang diharapkan oleh mereka yang berkepentingan di atas. BPS melaporkan, dibandingkan dengan tahun 2010, produksi komoditas-komoditas pangan utama mengalami penurunan yang cukup tajam pada tahun 2011. Rinciannya: produksi padi turun sebesar 1,08 juta ton, jagung sebesar 1,10 juta ton, dan kedelai sebesar 36,96 ribu ton. Angka-angka ini tentu tak mengenakkan bagi mereka yang berkepentingan agar angka produksi pangan naik. Jujur, dalam perjalanan menyajikan angka ini, kami sebagai statistisi, sempat ‘berkonfrontasi’ dengan sejumlah pihak yang tak enak hati dengan angka ini.

Saya kira, ini merupakan bukti kalau kami bekerja tidak berdasarkan ‘pesanan’ dalam menyajikan data-data statistik. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, kami berusaha memotret apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Dan, semua data-data strategis BPS yang lain─angka kemiskinan dan pengangguran, pertumbuhan ekonomi,dll─ juga seperti itu. Tidak ada kebohongan dan rekayasa dalam penyajian data-data itu! Kalaupun datanya kurang akurat dan lemah dalam menggambarkan realitas sebenarnya di lapangan─harus ada pembanding yang valid dan betul-betul comparable terkait hal ini─itu bukanlah sesuatu yang disengaja untuk mendukung pencitraan pemerintah. Tapi semata-mata merupakan keniscayaan dari sebuah poroses statistik yang memang tidak bisa terlepas dari error ­atau kesalahan.

Kami insan BPS juga cinta bangsa dan negeri ini. Kecintaan itu membuat kami rela mengabdikan segenap jiwa dan raga untuk menyajikan statistik berkualiats demi menyokong denyut nadi pembangunan negeri ini. Dengan kecintaan itu pula, kami tak mungkin tega membahongi bangsa dan negera ini dengan data-data statistik. Andai Anda semua tahu betapa lelah dan peliknya rangkain proses yang harus dilalui ketika menyajikan data statistik itu, saya yakin Anda tidak akan seenak hati dan begitu mudahnya mencibir dan menuduh kami tukang bohong. Percayalah! Kami terus berupaya dan berbenah diri untuk menjadi pelopor statistik yang terpercaya untuk Anda semua, untuk bangsa dan negara ini.

Salam Statistik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga