Langsung ke konten utama

Angka dari Langit

“Ada banyak cara untuk berbohong, statistik adalah salah satunya”

Hari itu, Sumasti (suka amat statistsik) baru saja merengkuh gelar Sarjana Sains Terapan (SST), gelar sarjana Program Diploma IV Statistika. Dia diwisuda bersama ratusan mahasiswa lainnya di sebuah sekolah tinggi  kedinasan di Otista, Jakarta Timur, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) namanya.  Sekolah ini milik Badan Pusat Statistik (BPS). Instansi pemerintah yang diamanahi tugas untuk merekam jejak sejarah pembangunan negeri ini dengan data.


Rasa bahagia pun menyelimuti hati Sumasti. Perjuangannya selama empat tahun menekuni peliknya statistika terbayar sudah. Kini, dia akan memasuki dunia baru, dunia kerja, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan BPS. Namun, ada satu hal yang mengganjal di hatinya, yang membuat sunyum manisnya tidak betul-betul lepas hari itu, yakni soal di provinsi mana dia yang sejak lahir tak pernah meninggalkan Pulau Jawa itu bakal ditempatkan—sebagai pegawai BPS.

Sumasti sadar akan konsekwensi keputusannya memenuhi seruan yang berbunyi “Sekolah Tinggi Ilmu Statistik memanggil putra dan putri terbaik Indonesia untuk didik menjadi ahli statistik” di sebuah leaflet berwarna biru muda yang mampir ke sekolahnya SMA 3 Klaten, Jl. Solo Km.2, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah empat tahun lalu, yakni dia harus bersedia ditempatkan di mana saja di pelosok negeri ini, di Papua sekalipun. Sesuatu yang sebetulnya berat buat Sumasti yang hanya tahu kalau Indonesia yang maha luas ini hanya Pulau Jawa.

Hal yang membuat Sumasti khawatir adalah soal nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)-nya yang pas-pasan. Maklum, dia sebetulnya tidak terlalu berbakat dalam hal statistika. Empat tahun di STIS adalah masa-masa sulit penuh perjuangan baginya. Bisa lulus dari STIS ibarat lolos dari lubang jarum baginya yang menamatkan pendidikan di STIS dengan catatan lima kali mengikuti ujian Her(perbaikan).  

Jika diasumsikan nilai IPK dirinya dan kawan-kawannya berdistribusi normal, Sumasti berada pada posisi persentil lima ke bawah. Dan itu artinya, peluangnya untuk ditempatkan di provinsi-provinsi  sulit di Sulawesi, Maluku, dan Pupua lebih besar dibandingkan dengan sebagian besar kawannya yang lain, yang IPK-nya lebih tinggi. Sumasti sangat khawatir, kalau apa yang dikisahkan oleh dosen Ekonometrikanya tempo hari juga menimpa dirinya, yakni perihal pegawai BPS alumni STIS yang ditangkap dan diikat di sebuah pohon oleh suku terasing ketika mencacah di pedalaman Papua sana.

Singkat cerita, pengumuman penempatan pun tiba, dan apa yang dikhawatirkan oleh Sumasti pun terjadi. Bersama lima kawannya yang lain, dia ditempatkan di sebuah provinsi di Pulau Sulawesi . Provinsi yang sangat asing bagi Sumasti, yang hanya pernah didengarnya sesekali ketika belajar Geografi saat SMA dulu. Sulawesi Tenggara (Sultra) nama provinsi itu. Sumasti sama sekali tak pernah membayangkan kalau salah satu bagian dari episode hidupnya ternyata akan dilalui di Pulau Sulawesi. Dengan berat hati, Sumasti akhirnya terbang ke Sultra meninggalkan tanah Jawa, dan ini adalah kali pertama dia—yang selama hidupnya hanya mengenal kereta api sebagai alat transportasi tercepat—naik pesawat terbang.  

Di Sultra, Sumasti ditempatkan di Kabupaten Muna yang terletak di sebuah Pulau Kecil di sisi tenggara Pulau Sulawesi. Ibu kotanya Raha, yang dalam bahasa daerah setempat merupakan sebutan untuk anyaman bambu yang digunakan sebagai tempat menjemur ikan, nama yang sesuai untuk cuacanya yang panas menyengat, membakar kulit. Dari Kendari, ibu kota Sultra, dibutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk mencapai Raha dengan menggunakan kapal cepat, semacam speedboat  dengan ukuran yang lebih besar.

Di kantornya, BPS Muna, Sumasti yang satu-satunya lulusan STIS, mendapat posisi terhormat, yakni sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Seksi/Kasie Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis), setara dengan pejabat eselon IV. Dengan posisinya ini, Sumasti memperoleh tunjungan berupa upah kinerja sebesar  dua juta lima ratus ribu rupiah per bulan, lebih dari tiga kali lipat uang saku yang diterimanya saat kuliah di STIS dulu.

Sayangnya, dengan tunjangan sebesar itu, Sumasti yang saat kuliah dulu sedikit hedon, tidak bisa bersenang-senang ke PGC, Ambasador, Atrium Senen, atau tempat-tempat menarik lain di Jakarta sebagaimana yang kerap dilakukannya selepes menerima uang saku ikatan dinas saat kuliah dulu. Dia terpaksa melakoni apa yang dinasehatkan oleh orang-orang bijak agar cepat kaya, yakni menabung.

Salah satu tugas rutin seksi Nerwilis setiap tahunnya adalah menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang akan dipresentasikan di depan para pejabat daerah, yakni Bupati dan jajarannya. Dan, sebagai PLT Kasie Nerwilis, hal itu menjadi tugas Sumasti. Meskipun, saat kuliah dulu, dia mengambil jurusan Statistika Ekonomi, menghitung PDRB yang konon angkanya berasal dari langit itu adalah sesuatu yang baru buat Sumasti.

Dia pun bingung bagaimana caranya menghitung nilai tambah sembilan sektor ekonomi mulai dari pertanian, pertambangan dan penggalian, hingga jasa kemasyarakatan itu. Bagaimana pula dengan konsumsi rumah tangga dan pemerintah, serta pembentukan modal tetap brutonya. Dari mana datanya? Bagaimana membangkitkan angka-angkanya? Itulah sejumlah pertanyaan yang memenuhi kepala Sumasti.

Akhirnya, dengan mengontak sejumlah teman dan senior saat kuliah di STIS, Sumasti pun menemukan solusinya. Dengan formula sederhana, sedikit manipulasi matematik, dan mark-up sana-sani angka PDRB Kabupaten Muna pun jadi. Dan dengan penuh percaya diri Sumasti mempresentasikannya di depan para pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Muna di Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).

Tetapi, ada sedikit keanenahan dengan angka-angka PDRB yang disajikan oleh Sumasti di depan Pak Bupati. Dan, ini baru disadarinya ketika presentase apiknya yang diakhiri tepuk tangan para pejabat Pemda itu usai. Keanehan itu adalah menggelembungnya PDRB sektor pertambangan dan penggalian yang menduduki posisi nomor dua setelah sektor pertanian. Padahal, di Kabupaten Muna tak ada satupun tambang, hanya ada penggalian batu kapur yang jumlahnya pun hanya beberapa, yang nilai produksinya tidak mungkin menembus ratusan juta rupiah seperti  hasil hitung-hitungan Sumasti.

Sumasti beruntung, kebohongan angka PDRB  yang dipresentasikannya di depan Pak Bupati tempo hari tidak terbaca—atau mungkin pura-pura tak terbaca. Karena bagi mereka para pejabat Pemda—yang sebetulnya tidak begitu peduli dengan angka-angka statistik itu—yang penting ada angka PDRB untuk Kabupaten Muna, tak peduli bagaimana angka-angka itu dihitung dan dari mana asalnya, mau dari langit atau perut bumi pun tak menjadi soal buat mereka.
******
Kisah di atas hanya fiktif belaka mohon maaf  kalau ada kesamaan nama dan tempat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga