Langsung ke konten utama

Angka Kemiskinan: Seni Manipulasi Data, Tanpa Mengubah Angka


Tulisan ini merupakan pengalaman kawan saya, yang sering mengikuti rapat dengar pendapat tentang kemiksinan dengan para anggota dewan yang katanya ‘terhormat’, yakni Komisi XI DPR-RI.

Sepanjang periode 2004-2011, angka kemiskinan secara umum menunjukkan tren yang terus menurun. Selama periode ini, hanya sekali BPS mencatat terjadi lonjakan penduduk miskin, yakni pada tahun 2006.


Lonjakkan penduduk miskin di tahun 2006 disebabkan oleh keputusan pemerintah yang menaikkan harga BBM kala itu. Keputusan tersebut memacu inflasi dan menjadikan harga beras, komoditas yang perannya paling dominan dalam pembentukan garis kemiskinan (34 persen), melambung tinggi. Hasilnya, jumlah orang miskin naik sebanyak 4,2 juta orang dibanding tahun 2005.

Lonjakkan penduduk miskin saat itu sebenarnya bisa lebih tinggi lagi, jika pemerintah tidak meluncurkan program cash transfer berwujud Bantuan Langsung Tuniai (BLT) untuk menjaga daya beli penduduk hampir miskin (near poor)─mereka yang nilai pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan─dari gempuran inflasi.

BLT yang disularkan sebelum Maret─ saat Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dilakukan─nyatanya ampuh dalam memberi sedikit ‘kontrol’ terhadap pergerakan angka kemiskinan. Dan ini adalah sebuah pengalaman berharga dalam upaya penurunan angka kemiskinan di Indonesia.

Sebagian orang yang skeptis terhadap kinerja pemerintahan saat ini, seringkali terjebak pada sangkaan bahwa tren pergerakan angka kemiskinan yang menurun selama masa kepemimpinan SBY, lebih disebabkan oleh ‘kepiawaian’ BPS dalam merekayasa penghitungan sehingga diperoleh angka kemiskinan yang sesuai dengan ‘pesanan’ penguasa. Dengan lain perkataan, BPS lah yang ‘menurunkan’ angka kemiskinan selama ini.

Mereka manganggap angka kemiskinan BPS tidak sesuai dengan raelitas (populasi). Menurut mereka, jumlah orang miskin seharusnya naik. Anggapan ini boleh jadi benar dan bisa diterima, jika benar-benar didasarkan pada hasil survei yang memotret kondisi pengeluaran penduduk Indonesia secara menyeluruh, bukan persepsi dan penarikan kesimpulan secara parsial terhadap populasi.

Jika ditelaah secara objektif, dengan menggunakan hasil hitung-hitungan lembaga apapun selain BPS (e.g Bank Dunia, ADB, Semeru Research Institute, etc), angka kemiskinan Indonesia selama periode 2004-2011 menunjukkan tren yang sama, yakni terus turun, kecuali pada 2006. Itu artinya, tidak tepat kalau dikatakan, BPS lah yang telah ‘menurunkan’ angka kemiskinan selama ini.

Trik sederhana

Penghitungan angka kemiskinan didasarkan pada data SUSENAS yang memoret kondisi pengeluaran─ konsumsi ─ sebanyak 68.000 sampel rumah tangga di seluruh Indonesia. Sempel ini dinggap bisa mewakili kondisi pengeluaran seluruh rumah tangga Indonesia yang jumlahnya puluhan juta.

SUSENAS dihelat pada bulan Maret. Karenanya, kondisi yang dipotret melalui data SUSENAS adalah kondisi Maret. Dengan kata lain, angka-angka kemiskinan yang dimumkan BPS sebenarnya adalah kondisi Maret. Dan setelah Maret bisa berubah.

Pemerintah nampaknya sangat jeli dan pandai dalam memanfaatkan kondisi ini. Kalau Anda perhatikan secara seksama, program-program seperti beras untuk orang miskin, operasi pasar, kenaikan gaji PNS, dll, selalu dieksekusi pada periode Januari-Maret. Anda juga tidak akan pernah menjumpai kenaikan BBM dilakukan pada periode ini.

Selain itu, bulan Maret merupakan saat panen raya padi, sesuatu yang amat menguntungkan mengingat sebagain besar penduduk miskin Indonesia tinggal di perdesaan dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dan kesemua hal ini secara tidak langsung telah memberikan ‘kontrol’ terhadap angka kemiskinan yang akan dihitung oleh BPS. Hebat kan.

Intinya, tidak ada rekayasa angka. Metode yang digunakan sudah jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, garis kemiskinan pun telah dinaikkan dan disesuaikan dengan inflasi. Yang ada adalah sebuah ‘trik sederhana’ tanpa merekayasa angka.
*****
Data-data dari BPS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga