Langsung ke konten utama

Mitos atau Fakta: Kualitas Orang Malaysia Lebih Baik dari Orang Indonesia

Rabu lalu (2/11), badan PBB untuk urusan pembangunan, United Nations Development Programme (UNDP), merilis laporan indeks pembangunan manusia/human development index (IPM/HDI) dari 187 negera di dunia. Laporan itu menempatkan Indonesia pada posisi 124 dengan skor IPM sebesar 0,617.

IPM merupakan indeks komposit, yakni gabungan dari indeks harapah hidup, indeks pendidikan, dan indeks pendapatan, yang menggambarkan tingkat kapabilitas dan kaulitas manusia suatu wilayah/negara yang tercermin melalui tingkat kesehatan, pendidikan, dan pendapatan per kapita.

Dalam prakteknya, penghitungan IPM yang dilakukan UNDP melibatkan variabel-variabel berikut: angka harapan hidup (life expectancy at birth)−kemungkinan umur yang bakal dicapai saat lahir, rata-rata lama sekolah (mean years of schooling), harapan lama sekolah (expected years of schooling), serta PDB per kapita dalam dollar PPP (gross national income per capita).

Dengan skor IPM sebesar 0,617, itu artinya kualitas pembangunan manusia Indonesia termasuk kategori medium (medium human development) menurut UNDP, seperti halnya China dan India, dua negera yang saat ini kinerja ekonominya dianggap terbaik di Asia, bahkan dunia.

Tetapi jangan senang dulu, karena skor IPM Indonesia sebetulnya masih di bawah rata-rata untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik (East Asia and Pacific). Sekedar diketahui, rata-rata skor IPM untuk kawasan ini adalah 0,671. Bahkan, dikawasan ASEAN pun sebetulnya kita tidak terlalu menggembirakan. Kita kalah dari Singapura (0,866), Brunai Darussalam (0,838), Malaysia (0,761), Thailand (0,682), dan Filipina (0,644).

Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, perkembangan skor IPM Indonesia sebenarnya cukup menggembirakan. Dalam satu dekade terkahir, skor IPM kita terus naik, meskipun kenaikannnya sedikit lambat. Pada tahun 2005 skor IPM Indonesia sebesar 0,572, sedangkan pada tahun 2000 sebesar 0,543.

Titik lemah Indonesia
Jika ditelusur, titik lemah kualitas pembangunan manusia Indonesia sebetulnya ada pada sektor pendidikan. Capaian kita dalam sektor ini boleh dibilang masih sangat rendah. Ini tentu soal yang amat serius, karena kunci kemajuan suatu bangsa ada pada sektor pendidikan yang tangguh.

Menurut UNDP, rata-rata lama sekolah orang Indonesia hanya mencapai 5,8 tahun. Itu artinya, sebagain besar orang Indonesia tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Begitu pula dengan harapan lama sekolah yang hanya sebesar 13,2 tahun, ini menunjukkan secara umum orang Indonesia hanya akan mengenyam pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) saja. Statistik ini sangat realistis jika dikaitkan dengan sulitnya akses mengeyam pendidikan di perguruan tinggi saat ini, karena tingginya biaya kuliah.

Dan saya kira ini merupakan bahan evaluasi yang sangat penting buat pemerintah dalam merumuskan strategi pembangunan ke depan. Tanpa perbaikan kualitas pendidikan yang signifikan, dapat dipastikan mimpi untuk menjadi negara maju di tahun 2025 akan jauh dari kenyataan.

Dipecundangi Malaysia
Soal kualitas pembangunan manusia, Malaysia nampaknya pantas jumawa atas Indonesia. Tetangga serumpun yang sering ‘berulah’ ini memang jauh di atas kita. Dengan skor IPM sebesar 0,761, kualitas pembangunan manusia negeri “Jiran” dikategorikan tinggi (high human development) oleh UNDP, satu tingkat di atas Indonesia.

Jika melihat komponen-komponen penyusun IPM Malaysia, Indonesia memang harus angkat topi. Dari sisi angka harapan hidup, Indonesia memang cukup tinggi, yakni sebesar 69,4 tahun, tapi Malaysia lebih tinggi lagi, 74,2 tahun. Begitupula dengan rata-rata lama sekolah, kita juga kalah. Rata-rata lama sekolah penduduk Malaysia sebesar 9,5 tahun (tamat SMP), lebih baik dari Indonesia yang hanya 5,8 tahun (tidak tamat SD).

Bahkan, meskipun saat ini Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia termasuk salah satu yang terbesar di dunia sehingga menjadikan kita tergabung dalam G-20 (group of twenty), yakni 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia, PDB per kapita kita kenyataannya masih kalah jauh dibanding Malaysia. Saat ini PDB per kapita Malaysia sudah menembus angka USD 13.685, hampir empat kali lipat dari PDB per kapita Indonesia yang hanya USD 3.716. Dan saya kira, ini merupakan faktor utama IPM kita kalah jauh dari Malaysia.

Namun demikian, jumlah populasi yang sangat ‘jomplang’ penting untuk diperhatikan saat membandingkan kualitas pembangunan manusia Malaysia dan Indonesia.  Malaysia memang unggul dalam hal komponen-komponen pembentuk IPM, tetapi ingat, populasi Malaysia saat ini hanya mencapai 28,9 juta jiwa, hanya ‘seuprit’ dari populasi Indonesia yang telah mencapai 241 juta jiwa.

Jumlah penduduk miskin Indonesia saat ini saja mencapai 30,02 juta jiwa. Selain itu, saya kira tidak sulit menemukan 50 juta penduduk Indonesia yang kualitas hidupnya jauh di atas rata-rata penduduk Malaysia.  Semoga suatu saat nanti Indonesia bisa mengalahkan Malaysia sehingga tetangga serumpun yang suka berulah itu tak terus jumawa.
****
Data-data: UNDP (Human Development Report 2011)/BPS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga