Langsung ke konten utama

BPS, Alat Pencitraan Pemerintah?


Sebagai badan yang diamanahi tugas untuk merekam jejak sejarah pembangunan bangsa dengan data, Badan Pusat Statistik (BPS) secara konsiten menyediakan data-data strategis seperti data mengenai inflasi, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, ketenagakerjaan, industri, produksi tanaman pangan, dan kemiskinan. Data-data ini amat penting sebagai pijakan dalam proses pengambilan keputusan terkait arah pembangunan bangsa.

BPS menyadari, data-data strategis yang dihasilkannya merupakan guidance yang menentukan arah pembangunan bangsa. Karenanya, menghasilkan data statistik yang berkualitas adalah suatu kaharusan bagi BPS. Statistik yang tidak berkualitas−akurat−hanya akan memberikan infromasi yang keliru dan meyesatkan bagi para pengguna data, khususnya para pengkaji kebijakan dan pegambil keputusan di negeri ini. Untuk itu, dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, BPS berupaya semaksimal mungkin menyajikan data statistik yang berkualitas sebagai karya terbaik yang dapat dipersembahkan untuk negeri ini.

BPS juga menyadari, keberadaan data-data strategis yang dihasilkannya ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, data-data strategis tersebut dapat digunakan pihak penguasa untuk menjastifikasi berbagai keberhasilannya dalam menjalankan roda pembangunan, dan di sisi lain juga dapat digunakan oleh pihak oposisi untuk mengkritisi bahkan menyerang kinerja pemerintah.

Karenanya, BPS selalu berupaya memosisikan diri secara independen dengan menyajikan data secara objektif dan apa adanya. BPS selalu menjadikan kejujuran sebagai panglima dan prinsip-prinsip ilmu statistik sebagai landasan pijakan dalam menghasilkan data-data statistik. Keduanya merupakan ruh dalam berbagai kegiatan statistik yang diselenggarakan BPS. Dalam hal ini, merekayasa angka untuk kepentingan apa pun pantang buat BPS.

Tuduhan merekayasa angka
Kepercayaan publik terhadap pemerintah yang kian merosot saat ini menjadikan BPS kerapkali menerima tuduhan miring terkait data-data srategis yang dihasilkannya. BPS kerap kali dituduh berbohong, sebagai alat pencitraan politik penguasa, penjilat yang memoles dan merekayasa angka, serta berbagai tuduhan lain yang terus terang begitu menyayat hati kami para insan BPS yang telah bekerja begitu keras untuk mempersembahkan statistik yang berkualitas demi menyokong denyut nadi pembangunan negeri ini.

Data kemiskinan, misalnya, seringkali mendapat sorotan tajam serta mungandang polemik dan kontroversi. Apalagi kalau data BPS menunjukkan angka kemiskinan turun seperti pada Maret 2011 lalu, hujatan pun datang bertubi-tubi. Kondisi ini tidak heran mejandikan BPS merasa berat dan tak enak hati ketika mengumumkan angka kemiskinan. Naik salah, turun pun salah. Padahal, angka tersebut murni dari hasil survei yang begitu menguras tenaga dan pikiran serta tidak mungkin direkayasa.

Belakangan ini, polemik kebijakan impor beras kembali menyeret BPS ke pusaran kritik. Pasalnya, impor dilakukan ketika data-data BPS menunjukkan kalau produksi beras nasional surplus. Dalam logika awam sekalipun, orang pasti akan bertanya, kenapa harus impor padahal surplus? Terkait hal ini, lagi-lagi BPS dituduh sebagai alat pencitraan pemerintah.

Contohnya adalah tudingan yang disampaikan oleh Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, dalam unjuk rasa memperingati Hari Tani pada Sabtu lalu (24/9). Dia menuding kalau data BPS yang menunjukkan Indonesia surplus beras adalah kebohongan dan sekedar pencitraan untuk menutupi kegagalan pemerintah. Secara tegas, dia menyatakan bahwa data-data BPS terkait surplus beras, pertambahan lahan sawah, dan penurunan jumlah penduduk miskin hanya sebatas pencitraan karena kenyataannya tidak seperti itu.

Data produksi beras bukan pencitraan
Berdasarkan data BPS, produksi padi tahun ini diperkirakan dapat mencapai 68,08 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan laju konversi sebesar 0,57, produksi beras nasional tahun ini diperkirakan dapat mencapai 38, 8 juta ton beras. Jika konsumsi beras saat ini diasumsikan sebesar 139,15 kilogram/kapita/tahun, itu artinya konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia mencapai 33 juta ton. Maka, tahun ini, Indonesia seharusnya surplus beras sekitar 6 juta ton.
1317036935255807852
Hasil hitung-hitungan BPS di atas kenyataannya tidak sejalan dengan pergerakan harga beras yang mulai merangkak naik sejak Juli lalu. Mekanisme demand-suplly dalam ilmu ekonomi mengharuskan jika produksi beras nasional melimpah, seharusnya tidak terjadi kenaikan harga beras di pasaran karena sudah pasti suplai beras melimpah. Karenanya, dengan alasan klise untuk mengamankan cadangan beras nasional dan stabilisasi harga, Bulog memutuskan untuk mengimpor beras dari sejumlah negara. Hingga kini, sebanyak 800 ribu ton beras impor asal Vietnam dan Thailand telah masuk ke Indonesia.

Anomali pergerakan harga beras dengan hasil hitungan-hitungan BPS sehingga berujung pada keputusan Bulog untuk mengimpor beras tentu akan mengundang tanda tanya, dan bisa menjurus pada tudingan bahwa data produksi padi hasil hitungan BPS tidak akurat atau sengaja direkayasa untuk pencitraan pemerintah. Tudingan ini bisa saja benar. Tetapi, berbagai kemungkinan lain seperti dugaan adanya penimbunan yang dilakukan para pedagang beras−yang sebagian mereka notabene rekanan Bulog−juga patut dipertimbangkan sebagai penyebab.

Data produksi padi yang selama ini dihasilkan BPS memang telah lama ditengarai oleh para ekonom pertanian menderita overestimate (melebihi perkiraan). Namun sayangnya hingga kini, para ekonom tersebut tidak mampu memberikan solusi terbaik mengenai metode penghitungan produksi padi yang lebih baik.

Tantangan untuk menghasilkan metode terbaik dalam memperkirakan produksi padi bukan hanya soal akurasi. Tetapi juga, bagaimana metode tersebut applicable di lapangan, yakni terjangkau dari sisi waktu dan biaya. Selama ini, penghitungan produksi beras dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan Kementrian Pertanian. Untuk menghitung produksi beras, BPS menggunakan hasil perkalian antara produksi tanaman padi per hektar (produktivitas) dan luas panen sehingga diperoleh angka produksi padi, yang kemudian dikonversi ke-beras.

Pengukurun produktivitas yang dilakukan oleh BPS melalui survei ubinan sebenarnya sudah cukup akurat. Penambahan sampel ubinan pun juga terus dilakukan. Masalahnya adalah pada penghitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian atau Dinas serupa di bawah koordinasi Kementerian Pertanian di daearah, yang masih mengandalkan berbagai metode konvensional, seperti perkiraan luas dengan menggunakan informasi penggunaan air dan pupuk, laporan petani pada pengurus desa, serta metode pandangan mata (eye estimate).

Metode pandangan mata adalah yang paling tidak akurat, namun masih sering digunakan. Dalam prakteknya, mantri tani hanya melihat hamparan padi, lalu memperkirakan luasnya. Akurasi cara seperti ini tentu sangat lemah. Belum lagi kalau data luas panen dikerjakan di atas meja.

Selama ini, sebetulnya telah dicoba berbagai metode pengumpulan data luas panen yang lebih mutakhir dan akurat, misalnya, penggunaan teknologi Global Positioning System (GPS) dan penggunaan citra satelit atau teknologi penginderaan jarak jauh. Tetapi, kembali lagi pada masalah waktu dan biaya. Kedua metode ini seringkali tidak applicable di lapangan. Pengumpulan data laus panen dengan GPS, misalnya, sudah pasti sangat akurat. Namun, dari segi waktu tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat. Padahal, data luas panen harus dilaporkan setiap bulan. Begitu pula dengan menggunakan citra satelit, biaya yang dibutuhkan sudah pasti sangat mahal karena cakupannya adalah selurh Indonesia. Karenanya hingga kini, tak satu pun dari metode-metode tersebut yang bisa diadopsi dengan baik dan berkesinambungan.
*****
Metode penghitungan produksi padi/beras yang ada selama ini memang masih banyak kekurangan dan kelemahannya sehingga data produksi padi/beras yang dihasilkan juga demikian. Tetapi, menuduh BPS melakukan kebohongan dan rekayasa atas data produksi tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa diterima, dan benar-benar melukai hati kami para insan BPS yang telah bekerja mengerahkan segenap tenaga dan pikiran di tengah berbagai keterbatasan yang ada untuk menghasilkan data yang berkualitas.

BPS tidak memungkiri kalau data-data seperti produksi padi dan jumlah penduduk miskin masih memiliki kekerungan dalam metodologi penghitungannnya. Tetapi, percayalah! BPS tidak pernah melakukan rekayasa terhadap data-data tersebut untuk kepentingan pencitraan pemerintah karena membohongi bangsa dan negara dengan data-data yang direkayasa tak ada untungnya sama sekali.

Sumber tulisan Kompas.com, data-data dari BPS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...