Langsung ke konten utama

BPS-Badan Pura-pura Statistik?

Berdasarkan Undang-Undang Statistiik No.16 Tahun 1997, Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi satu-satunya lembaga yang diberi tanggung jawab oleh negara untuk menyelenggarkan kegiatan statistik dasar, yakni statistik yang pemanfaatannya ditujukan untuk keperluan yang bersifat luas, baik bagi pemerintah maupun masyarakat luas, yang memiliki ciri-ciri lintas sektoral, berskala nasional, dan makro. 

Statistik dasar diselenggarakan oleh BPS melalui berbagai sensus dan survei. Sensus dilakukan dengan mencacah semua unit populasi di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk memperoleh karakteristik populasi pada saat tertentu. Contoh kegiatan sensus yang dilakukan oleh BPS adalah Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, dan Sensus Ekonomi. Adapun survei dilakukan dengan mencacah sampel untuk memperkirakan karakteristik populasi . Contoh kegiatan survei yang secara rutin dilakukan oleh BPS adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), Survei Biaya Hidup (SBH), dll.

Data-data yang dihasilkan oleh BPS baik melalui sensus maupun survei sebenarnya cukup banyak, namun yang dikenal luas oleh publik hanya sebagian saja. Misalnya, data strategis seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, nilai ekspor dan impor, tingkat pengangguran, produksi padi, serta jumlah penduduk miskin. Di antara data-data strategis ini, data jumlah penduduk miskin merupakan yang paling berat untuk diumumkan oleh BPS kepada publik, karena seringkali mendapat sorotan tajam serta mungandang polemik dan kontroversi. 

Bukan Badan Pura-pura Statistik

Terkait data jumlah penduduk miskin, BPS kerap kali dituduh berbohong, sebagai alat pencitraan politik penguasa, penjilat yang memoles dan merekayasa angka untuk kepentingan penguasa, serta berbagai tuduhan lain yang terus terang begitu menyayat hati kami para insan BPS yang telah bekerja begitu keras untuk mempersembahkan statistik yang berkualitas demi menyokong denyut nadi pembangunan negeri ini. Apalagi di saat sekarang ini, ketika pemerintah tengah kehilangan kepercayaan di mata publik, BPS pun ikut terseret di dalamnya.

Anda tentu masih ingat, ketika beberapa waktu yang lalu, pemerintah dituduh berbohong soal data kemiskinan oleh sejumlah kalangan−tokoh lintas agama−karena data jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 yang mencapai 31,02 juta orang tidak konsisten dengan data jumlah penerima beras raskin yang mencapai 70 juta orang .

13111185321088157432

Tuduhan di atas sebenarnya muncul karena ketidakpahaman mereka ketika menggunakan data-data BPS, sehingga timbul kesan bahwa seolah-olah terdapat dua angka kemiskinan yang berbeda. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, data jumlah penduduk penerima beras raskin tidak hanya mencakup penduduk miskin, tetapi juga penduduk hampir miskin. Berdasarkan hasil pendataan BPS, jumlah rumah tangga sasaran (RTS) penerima beras raskin mencapai 17,5 juta. RTS mencakup rumah tangga miskin dan hampir miskin, sehingga dengan asumsi kasar bahwa setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, maka ada sekitar 70 juta orang yang akan menerima beras raskin. Anda tentu sepakat dengan saya, kalau pemfitnah tidak jauh berbeda dengan pembohong, keduanya adalah setali tiga uang.

Begitu pula ketika mengumumkan jumlah penduduk miskin (1/07/2011) pada Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang, yakni mengalami penurunan sebesar 1 juta orang jika dibandingkan dengan Maret 2010 (31,02 juta orang), sebagian orang kembali menghujat BPS karena dinggap tidak realistis dengan kondisi di lapangan serta batas kemiskinan yang digunakan tidak manusiawi. Seperti yang Anda bisa baca pada tautan di Kompas.Com berikut 
Jumlah Penduduk Miskin Turun 1 Juta.

Sebagai instansi yang diamanahi untuk merekam jejak pembangunan bangsa lewat data, BPS tentu sadar bahwa data kemiskinan sangatlah strategis. Keberadaannya ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengklaim keberhasilannya dalam menjalankan roda pembangunan, dan di sisi lain dapat digunakan oleh pihak oposisi untuk mengkritisi bahkan menyerang kinerja pemerintah. Karena itu, BPS berupaya memosisikan diri seindependen mungkin. Meskipun sebagai instansi pemerintah, BPS berusaha memotret kondisi kemiskinan apa adanya, objektiv, dan tanpa rekayasa. BPS bekerja berdasarkan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah serta diterima secara internasional, Dalam hal ini, BPS bukanlah Badan Pura-pura Statistik.

BPS juga tidak memungkiri kalau masih terdapat kelemahan pada metodologi yang digunakan ketika menghitung angka kemiskinan. Jika Anda menginginkan angka kemiskinan yang benar-benar sempurna dan terlepas dari berbagai kekurangan, maka mintalah angka tersebut dari langit, karena di dunia ini tak ada satupun metode yang benar-benar sempurna dalam mengukur kemiskinan (Anda bisa membaca tentang hal ini dalam tulisan saya yang lain di
 Angka Kemiskinan Terbaik Punya Kita (BPS).

Merekayasa angka kemiskinan, mana mungkin?

Penghitungan jumlah penduduk miskin yang dilakukan oleh BPS di dasarkan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Bank Dunia pada dasarnya juga menggunakan data ini untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia. Metode yang digunakan oleh Bank Dunia kurang lebih sama dengan yang digunakan oleh BPS, yang membedakan keduanya hanyalah batas atau garis kemiskinan yang digunakan. Karena itu, pergerakan angka kemiskinan hasil hitung-hitungan Bank Dunia selalu sejalan dengan hasil hitungan BPS. Jika hasil hitungan BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin turun, maka hasil hitungan Bank Dunia juga akan menunjukkan hal yang sama.

SUSENAS bertujuan untuk mendapatkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan mencacah sekitar 68 ribu sampel rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua. Survei ini melibatkan puluhan ribu petugas, sementara jumlah pegawai BPS di seluruh Indonesia hanya 16 ribu orang (1.600 orang di pusat). Karena itu, survei ini juga melibatkan rekan kerja di luar BPS yang disebut mitra statistik (ketua RT/RW, mahasiswa, penduduk setempat, dll) yang telah dilatih terlebih dahulu. Singkatnya, SUSENAS adalah sebuah proses yang sangat panjang dan melelahkan mulai dari perencanaan dan persiapan survei, pengumpulan data, pengolahan, sampai kemudian data clean. Karena itu, teramat sia-sia kiranya pengorbanan tenaga dan biaya yang begitu besar untuk SUSENAS, jika ujung-ujungnya data yang dihasilkan kemudian diutak-atik dan direkayasa. Selain itu, untuk merekayasa data sesuai dengan kemauan sangatlah tidak mungkin dilakukan, karena itu artinya BPS harus mengarahkan dan memengaruhi puluhan ribu petugas.

Hal lain yang sering dipersoalkan oleh banyak orang terkait data jumlah penduduk miskin BPS adalah mengenai garis atau batas kemiskinan yang digunakan, yang dianggap terlalu kecil dan tidak realistis. Silahkan saja jika orang berpendapat demikian, tapi yang perlu diperhatikan di sini bahwa BPS tidak pernah mengutak-atik garis kemiskinan (GK) agar angka kemiskinan yang dihasilkan sesuai dengan keinginan pemerintah. Sejak tahun 1998 hingga kini, BPS konsisten menggunakan motode yang sama dalam menghitung garis kemiskinan. Selama periode 1998-2011, dengan menggunakan metode penghitungan GK yang sama tersebut, BPS mencatat secara umum angka kemiskinan terus menurun secara konsisten, kecuali pada tahun 2006 ketika terjadi kenaikan harga BBM yang memacu inflasi. Kala itu, BPS mencatat jumlah penduduk miskin naik sebesar 3,95 juta orang. Jikalau memang BPS benar-benar ABS (asal bapak senang), tentu BPS akan mengotak-atik GK yang digunakan agar penambahan jumlah penduduk miskin tidak sebesar itu. Apa lagi kala itu, pemerintah juga mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT)/cash transfer kepada penduduk miskin dan hampir miskin untuk menjaga daya beli mereka dari gempuran inflasi.

Ketika menghitung angka kemiskinan, BPS sadar ini adalah pekerjaan yang sangat mulia untuk membantu upaya pengentasan kemiskinan di negeri yang kita cintai ini. Sungguh saudara-saudara kita yang sedang terjerat kemiskinan itu tidak begitu perlu dengan angka, tetapi tindakan nyata dari kita semua. Dan kami telah berbuat sesuatu yang nyata untuk membantu upaya pengentasan kemiskinan di negeri ini, meskipun dengan hanya mengahasilkan data mikro dan makro kemiskinan yang kami yakin begitu berharga bagi pembangunan bangsa. Setidaknya, kami lebih baik dari orang-orang yang hanya bisa berbicara dan mengkritisi tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti buat negeri ini.

Sumber : Tulisan di Kompasiana BPS-Badan Pura-pura Statistik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga