Langsung ke konten utama

Statistik Beras: Apa yang Mesti Dievaluasi?


Pada Rapat Koordinasi Ketahanan Pangan di Kantor Kementerian Pertanian, Rabu (16/09), Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyampaikan bahwa taksiran angka produksi beras yang ada saat ini terlalu tinggi. Diketahui, produksi padi pada tahun ini diperkirakan mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 42,31 juta ton beras. Menurutnya, angka tersebut berbahaya jika dijadikan landasan perhitungan yang akan datang—terkait program-program pemerintah di bidang pangan. Karena itu, angka tersebut harus dievaluasi (Bisnis Indonesia, 17 September).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara mengevaluasi angka produksi yang ketinggian tersebut, apa yang harus dievaluasi? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dipahami terlebih dahulu bagaimana sebetulnya angka produksi padi/beras nasional itu dihitung. Dengan demikian, bagian mana yang harus dievaluasi dan perlu dibenahi bisa ditemukenali.
Angka produksi beras nasional dihitung dari angka produksi padi dalam kualitas GKG yang dikalikan dengan angka konversi tertentu. Hasil survei BPS bekerjasama Kementerian Pertanian pada 2005-2007 menunjukkan bahwa angka konversi tersebut sebesar 62,74 persen. Artinya, 62,74 persen produksi padi dalam GKG akan menjadi beras. Sementara itu, produksi padi nasional dihitung dengan mengalikan angka luas panen padi dengan produktivitas (produksi per hektar).
Kedua komponen utama perhitungan produksi padi ini diperoleh dari sistem pengumpulan data yang berbeda. Mantan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sugito Suwito dalam tulisannya berjudul “Statistik Beras” yang dimuat di Koran Kompas pada 10 Januari 2007 menyebutnya sebagai hasil kompromi dua sistem yang berbeda: laporan administrasi (administrative records) dan pengukuran obyektif (objective measurement) dengan menggunakan pendekatan metode statistik (probability sampling).
Dalam prakteknya, perhitungan luas panen menjadi tanggungjawab Kementerian Pertanian. Penaksiran luas panen dilakukan sepenuhnya oleh aparat dinas pertanian atau biasa disebut mantri tani dengan menggunakan pendekatan melalui sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan berdasarkan pandangan mata (eye estimate) di sawah. Belakangan, pendekatan yang terakhir merupakan cara yang paling sering digunakan oleh mantri tani. Dengan cara seperti itu hasil penaksiran tentu sangat subyektif dan sulit diuji secara statistik akurasinya. Pengalaman dan jam terbang petugas juga sangat menentukan akurasi hasil penaksiran luas panen.
Sementara itu, data produktivitas merupakan tanggungjawab BPS. Penaksiran produktivitas dilakukan melalui survei statistik dengan mengobservasi sampel petak sawah (plot ubinan) yang dipilih menurut kaidah statistik. Pemilihan sampel dilakukan oleh BPS. Namun dalam pelaksanaannya, sampel genap diobservasi oleh mantri tani sementara sampel ganjil diobservasi oleh petugas BPS atau mantri statistik.
Hasil pengukuran luas panen dan produktivitas kemudian diolah oleh BPS untuk menghasilkan angka produksi padi nasional (official statistics) yang kemudian disebut sebagai “angka BPS”. Lucu juga sebetulnya jika angka produksi yang dihasilkan kemudian disebut “angka BPS”. Pasalnya, BPS hanya mengumpulkan seperempat dari keseluruhan data yang diperlukan dalam perhitungan produksi. Sisanya menjadi tanggungjawab Kementerian Pertanian. Penyebutan angka BPS membawa konsekuensi bahwa apapun yang terjadi pada angka tersebut, terutama soal akurasi dan validitasnya, BPS yang harus bertanggung jawab, BPS yang harus “pasang badan”.
Begitulah gambaran singkat bagaimana produksi padi nasional dihitung. Sistem kompromi ini sudah berlangsung cukup lama, sejak tahun 1973, tanpa pernah dievaluasi. Karena itu, seperti yang disampaikan oleh pakar ekonomi pertanian Bustanul Arifin, apa yang disampaikan JK merupakan susuatu yang positif. Itu artinya, ada kesadaran dari pemerintah bahwa data produksi yang ada selama ini memang perlu dievaluasi dan dikalibrasi.
Evaluasi tentu saja harus difokuskan pada dua komponen utama perhitungan produksi, yakni luas panen dan produktivitas. Kalau mau jujur dan obyektif, kontributor utama dalam perhitungan produksi sebetulnya adalah komponen luas panen. Hasil kajian dengan menggunakan model ekonometrik terhadap data series produksi padi sepanjang 1961-2015 memperlihatkan bahwa elastisitas kenaikana luas panen terhadap kenaikan produksi lebih tinggi lima kali lipat dibanding elastisitas kenaikan produktivitas terhadap kenaikan produksi.
Faktanya, meskipun ketidakakuratan juga berpeluang terjadi pada komponen produktivitas, luas panen padi sudah sejak lama ditengarai oleh banyak kalangan menderita overestimate, yang dari waktu ke waktu nampaknya kian kronis. Pangkal masalahnya adalah, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pendekatan penaksiran yang digunakan: subyektif dan sulit diuji secara statistik akurasinya. Selain itu, penaksiran luas panen dilakukan oleh aparat yang kinerja dan capaiannya justru diukur melalui data yang dikumpulkannya sendiri. Pada kondisi seperti ini, konflik kepentingan berpeluang besar bakal terjadi.
Hasil studi yang dilakukan BPS pada 1997 memperlihatkan bahwa penaksiran luas panen padi yang dilakukan oleh mantri tani di Pulau Jawa mengalami overestimate sebesar 17 persen. Itu adalah kondisi hampir 20 tahun yang lalu. Bagaimana dengan kondisi saat ini ketika metode panaksiran yang digunakan tak berubah dan tak pernah dievaluasi. Overestimate  yang terjadi tentu bakal lebih tinggi lagi.
Tidak sulit sebetulnya membuktikan bahwa data luas panen yang dikumpulkan selama ini memang overestimate. Dimafhumi bersama bahwa konversi lahan sawah ke lahan non-pertanian, seperti pabrik, kawasan industri, dan perumahan adalah fenomena yang terjadi secara masif dan kasat mata, khususnya di Pulau Jawa, tanpa dibarengi upaya pencetakan sawah baru. Akibatnya, luas baku lahan sawah terus berkurang.
Logikanya, kalau luas lahan sawah berkurang, luas panen padi tentu juga bakal berkurang. Tapi anehnya yang terjadi tidak demikian. Luas panen padi justru bertambah. Di Jawa Barat, misalnya, pada 2003 luas panen padi mencapai 1,66 juta hektar. Sepuluh tahun kemudian (2013), luas panen naik menjadi 2,03 juta hektar. Kalau demikian, bisa jadi sawah-sawah yang kini telah berubah wujud menjadi perumahan, pabrik, dan jalan tol di kawasan Bekasi dan Cikarang masih tercatat dan dilaporkan sebagai sawah. Sesuatu yang tentu janggal mengingat pada kurun waktu yang sama banyak sawah yang telah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Pencetakan sawah baru juga nyaris tidak ada.  Karena itu, tidak berlebihan kalau orang mengatakan bahwa selama ini kita sebetulnya hanya bertani “di atas kertas”. Beras yang dihasilkan juga semu, hanya ada di atas kertas.
Jadi, kalau data produksi padi/beras hendak dievaluasi, sebetulnya sudah jelas apa yang harus dievaluasi: data luas panen yang ditengarai overestimate. Menyadari hal tersebut, saat ini BPS sedang melakukan ujicoba untuk mengembangkan metode penaksiran luas panen yang berbasis objective measurement, seperti pemanfaatan data citra satelit dan pendekatan wawancara terhadap rumah tangga. Semoga ikhtiar yang baik ini menemui tujuannya, yakni menghasilkan metode perhitungan luas panen yang lebih akurat. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...