Langsung ke konten utama

Regenerasi Petani Mandek


Pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk mewujudkan swasembada pangan dalam waktu tiga tahun. Sejumlah langkah teknis—yang difokuskan pada peningkatan kapasitas produksi pangan nasional—pun telah disiapkan untuk merengkuh target tersebut, salah satunya, pengalihan subsidi BBM ke sektor pertanian sebesar Rp 16 triliun untuk revitalisasi dan pembangunan jaringan irigasi baru.
Secara faktual, dari sekitar 8,1 juta hektare lahan sawah di negeri ini, baru seluas 4,8 juta hektare yang berkategori sawah irigasi. Itupun, sebagian besar jaringan irigasi teknis yang ada dilaporkan dalam kondisi rusak. Jadi, tidak membikin heran bila optimalisasi lahan sawah masih jauh dari harapan. Hal itu tercermin dari indeks pertanaman padi sawah yang hanya sebesar 1,6. Artinya, masih banyak sawah di negeri ini hanya bisa ditanami padi sekali dalam setahun, karena dukungan irigasi yang kurang memadai.
Karena itu, pengalihan Rp 16 triliun dana subsisidi BBM untuk irigasi adalah langkah yang tepat. Jika terlaksana, hal itu dapat mendorong peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, khususnya beras, melalui peningkatan produktivitas dan luas panen.
Namun demikian, ihwal mewujudkan swasembada pangan, ada satu persoalan krusial yang juga harus menjadi fokus perhatian pemerintah selain peningkatan kapasitas produksi, yakni  soal regenerasi petani. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan. Pasalnya, keberhasilan negeri ini dalam merengkuh swasembada pangan sangat ditentukan oleh kinerja dan produktivitas para petani.
Faktanya, hasil Sensus Pertanian 2013 (ST-2013) memperlihatkan, jumlah rumah tangga usaha tani (petani) telah berkurang sebanyak 5,1 juta rumah tangga selama dasawarsa terakhir. Memang, penurunan tersebut berdampak positif berupa peningkatan rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasi petani dan penurunan jumlah petani gurem. Tapi, pada saat yang sama, hal tersebut sebetulnya merupakan ancaman terhadap keberlanjutan produksi pangan nasional.
Betapa tidak, mutasi tenaga kerja di sektor pertanian ternyata juga dibarengi dengan “penuaan petani”. Hasil ST-2013 menunjukkan, jumlah petani usia tua (55+ tahun) meningkat cukup signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, sementara jumlah petani usia muda (15-24 tahun) justru terus berkurang. Itu artinya, kultur bertani kian tergerus dan minat generasi muda untuk menjadi petani semakin rendah.
Hal tersebut kian diperparah dengan rendahnya tingkat pendidikan petani. Kenyataannya, sekitar 70 persen petani negeri ini hanya menamatkan pendidikan maksimal sekolah dasar. Konsekuensinya, mereka bakal sulit mengikuti perkembangan teknologi pertanian dan produktivitas lahan pertanian bakal berkurang. Jadi, target swasembada pangan boleh jadi hanya akan menjadi sekadar mimpi yang sulit diwujudkan, karena terkendala produktivitas dan kompetensi petani yang kurang memadai.
Karena itu, minat generasi muda negeri ini terhadap profesi petani harus digalakkan. Dan, hal itu hanya bisa terwujud bila sektor pertanian menjadi lapangan pekerjaan yang menarik dan menjanjikan secara ekonomi. Dengan kata lain, pendapatan petani harus digenjot, misalnya, melalui subsidi input, perlindungan petani dari produk impor, dan jaminan harga yang menguntungkan bagi hasil produksi petani.
Kadir, bekerja di BPS, Instruktur Nasional Sensus Pertanian 2013


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...