Dalam debat calon gubernur Provinsi DKI Jakarta Sabtu lalu
(14/01), calon petahana mampu mengulas sejumlah permasalahan pembangunan di ibu
kota dengan menyajikan data-data statistik sebagai justifikasi keberhasilannya
selama memimpin. Sejumlah data disajikan, mulai dari data Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), inflasi, pengangguran, hingga kemiskinan. Hal ini membuktikan
bahwa calon petahana menguasai betul persoalan pembangunan di Jakarta.
Dua kandidat lain sebetulnya bisa meladeni calon petahana
dengan menyajikan data-data statistik terkait pembangunan di Jakarta. Data
dilawan dengan data. Tentu ada banyak data atau indikator statistik yang bisa
diangkat untuk mengevaluasi dan menyoroti kinerja calon petahana yang belum
maksimal (kelemahan) selama memimpin. Data-data statistik yang disampaikan
calon petahana sebetulnya juga dapat digunakan sebagai senjata untuk menyerang
balik argumen calon petahana. Tentu semua ini membutuhkan telaah secara
mendalam terhadap data-data statistik yang ada sebelum acara debat dilangsungkan.
Dalam memahami data statistik ada istilah 'filosofi gelas
setengah isi'. Fakta bahwa sebuah gelas terisi setengahnya bisa diungkapkan
dengan dua cara yang berbeda. Pertama, gelas tersebut baru terisi setengah.
Kedua, tinggal setengah lagi gelas tersebut bakal penuh. Meski substansinya
tetap sama, kedua ungkapan ini memiliki rasa (makna tersirat) yang berbeda.
Ihwal data IPM Provinsi DKI Jakarta, yang relatif tinggi dan
mengalami peningkatan dari 78,08 menjadi 78,99 sepanjang 2012-2015, yang disampaikan
oleh calon petahana, misalnya, dua kandidat lain dapat menanggapinya secara
kritis dengan mempertanyakan apakah laju kenaikan sebesar 0,91 poin itu cukup
memuaskan bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Atau apakah kenaikan tersebut cukup sepadan dengan besarnya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta, yang konon
terbesar se-Indonesia, jikalau memang isu pembangunan manusia dianggap sebagai
salah satu isu utama dalam visi pembangunan daerah. Tanggapan kritis juga dapat
menyasar komponen-komponen penyusun IPM (pendidikan, kesehatan, dan daya beli)
karena IPM pada dasarnya hanyalah sebuah indeks komposit yang merangkum
sejumlah hal terkait capaian pembangunan manusia.
Terlepas dari itu semua, penggunaan data statistik dalam
debat calon gubernur malam itu merupakan sesuatu yang positif. Penulis pernah
mengulas mengenai hal ini dalam sebuah artikel bertajuk “Bumbu Statistik dalam Debat Capres” yang dimuat di
Koran Tempo edisi 30 Juni 2014. Artikel ini menyoroti salah satu debat capres
pada 2014 lalu yang garing dengan data-data statistik. Padahal para kandidat
sedang mengulas sejumlah persoalan pembangunan sosial-ekonomi di negeri ini.
Penggunaan data-data statistik dalam kontestasi pilpres atau
pilkada merupakan sebuah keharusan. Karena hal ini merupakan jaminan bahwa para
calon mengetahui dan mengenali betul permasalahan yang terjadi di lapangan (evidence-based)
serta mampu memberikan penyelesaian atas permasalahan tersebut. Tidak hanya
mengawang-ngawang dan sekadar retorika. Di negara-negara maju, penguasaan data
statistik merupakan elemen penting yang harus dimiliki oleh setiap calon dalam
meyakinkan dan memikat hati pemilih.
Sebagai contoh, dalam bukunya berjudul “Tangguh dengan
Statistik: Akurat dalam Membaca Realita Dunia”, Jousairi Hasbullah menyatakan
bahwa salah faktor penting yang menjadikan Kennedy sukses mengungguli Nixon
dalam pemilihan presiden Amerika Serikat padahal sebelumnya tidak diunggulkan
adalah keberhasilannya memikat hati pemirsa dalam sebuah debat yang ditonton
oleh 70 juta pemirsa televisi pada 26 September 1960. Dalam debat itu, selain
penampilannya yang muda dan energik, Kennedy mampu menunjukkan kemampuannya
dalam membedah masalah dengan dukungan penguasaan data statistik yang sangat
baik, lalu menawarkan perbaikan masalah sosial-ekonomi yang dihadapi Amerika.
Pertanyaannya kemudian, sejauh mana penguasaan data
statistik yang dipertontonkan para kandidat dalam acara debat berpengaruh
terhadap keputusan pemilih di bilik suara? Itulah letak permasalahannya. Untuk
kasus Indonesia, harus diakui bahwa sebagian besar pemilih kita belum
menjadikannya sebagai kriteria utama dalam menakar kapabilitas para calon
secara obyektif. Sudah jamak kita dapati, pemenang debat—sebaik apapun
penampilannya—pada akhirnya seringkali gagal merengkuh elektabilitas tertinggi.
Hal ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi para pegiat statistik resmi (official
statistics), yakni bagaimana mengedukasi masyarakat agar melek statistik.
Enrico Giovannini, seorang ahli ekonomi dan statistik asal Italia,
menyatakan “Statisticians, especially those in charge of producing
“official” figures, have a special role to play in bringing statistics closer
to citizens, not only through media, but also by fostering statistical
culture.”
Menurut mereka yang ahli tentang perilaku pemilih di negeri
ini, salah satu faktor penting yang memengaruhi pilihan hati masyarakat kita
terhadap seorang calon selama ini adalah tampilan fisik yang telegenic (menarik
dilihat di televisi). Hasil pemilu presiden pada 2004 dan 2009 adalah bukti
kuat yang mendukung argumen ini. Karena itu, terkait pemilihan gubernur
Jakarta, saya menduga bahwa yang bakal keluar sebagai pemenang adalah kandidat
yang penampilannya paling telegenic, tak peduli sebaik apa penguasaannya
tentang data-data statistik dalam membedah persoalan sosial-ekonomi Jakarta.
(*)
Komentar
Posting Komentar