Belakangan ini, pidato pak JK di penutupan Tanwir
Muhammadiyah pada Februari lalu ramai diperbincangkan di media sosial.
Ada yang menganggap bahwa pidato pak JK, yang mengaitkan
ketimpangan ekonomi dengan perbedaan agama dan ras, tidak sejalan dengan nilai
dan semangat kebhinekaan yang harus kita jaga sebagai perekat dalam
keberagaman.
Karena itu, beliau, aktor utama di balik penyelesaian
sejumlah konflik berdarah di negeri ini, dianggap anti kebhinekaan.
Berikut adalah salah satu bagian pidato beliau yang dianggap
anti kebhinekaan.
"Kalau kita agak berbeda, sebagian besar yang kaya itu
keturunan dan tentu agamanya ada yang Konghucu, ada yang Budha, ada yang
Kristen. Sebagian besar yang miskin itu Islam ada juga yang Kristen. Jadi
terjadi perbedaan yang berbahaya. Karena itulah maka kita harus berfikir jernih
untuk mengatasi semua ini. Karena itu marilah kita bersama-sama bekerja, untuk
keadilan dan Indonesia yang berkemajuan"(Jakartanews.co).
Dalam pidatonya, pak JK menyampaikan bahwa ketimpangan
(distribusi) pendapatan yang terjadi saat ini cukup mengkhawatirkan.
Hal tersebut terkonfirmasi oleh nilai gini rasio yang
dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Indikator ini jamak digunakan untuk
mengukur seberapa parah tingkat ketimpangan yang terjadi di masyarakat.
Nilai gini rasio berada pada rentang 0 dan 1. Dalam rentang
ini, semakin besar nilai gini rasio, semakin lebar pula ketimpangan yang
terjadi. Saat ini, nilai gini rasio Indonesia sekitar 0.4.
Meski angka 0.4 sebetulnya masih dalam skala moderat, ia sejatinya merupakan alarm pertanda bahaya. Mengapa?
Gini rasio idealnya dihitung dengan menggunakan data pendatapan.
Sayangnya, data ini tidak tersedia. Karena itu, BPS menggunakan data
pengeluaran dalam menghitung gini rasio sebagai pendekatan untuk pendapatan.
Jika diasumsikan pendapatan sama dengan pengeluaran, itu artinya semua
pendapatan rumah tangga habis dialokasikan untuk pengeluaran konsumsi. Dengan
kata lain, tidak ada bagian dari pendaatan yang ditabung. Kenyataannya tentu
tidak demikian. Kondisi seperti ini hanya terjadi pada sebagian rumah tangga.
Juga patut diperhatikan bahwa data pengeluaran yang digunakan
BPS diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Survei ini telah
lama diyakini oleh banyak pihak relatif lemah dalam merepresentasikan
pengeluaran rumah tangga yang termasuk dalam kelompok kaya dan super kaya.
Seperti penjelasan pak JK dalam pidatonya, saat pelaksanaan
survei, jika rumah tangga dari kelompok ini terpilih sebagai sampel biasanya
sulit untuk diwawancarai. Dengan demikian, potensi non-respon sangat besar.
Kalaupun berhasil diwawancarai, informasi pengeluaran yang diperoleh hanya
sekadarnya, karena informasi tersebut biasanya diperoleh dari pembantu rumah
tangga, bukan anggota rumah tangga yang tahu persis rincian pengeluaran rumah
tangga (sang majikan).
Karena itu, dengan segala keterbatasan data pengeluaran yang
dipakai dalam perhitungannya (kemungkinan under-estimated), patut diduga bahwa
angka 0.4 tidak menggambarkan spektrum ketimpangan yang sebenarnya terjadi di
tengah masyarakat. Boleh jadi ketimpangan pendapatan yang terjadi lebih parah.
Dengan kata lain, nilai gini rasio lebih besar dari 0.4.
Apa sebetulnya bahaya dari ketimpangan pendapatan sehingga
perlu dirisaukan?
Katimpangan yang terus melebar akan memperlemah kohesi
sosial di tengah masyarakat. Akibatnya, konflik sosial dengan mudah bakal
tersulut karena dipicu isu ketidakadilan ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, potensi konflik bakal semakin besar
jika isu ketidakadilan ekonomi ini dikombinasikan dengan isu perbedaan agama
dan ras: pribumi dan non-pribumi, misalnya. Karena faktanya, polarisasi
kaya-miskin sejalan dengan struktur sosial tersebut.
Karena itu, menurut hemat saya, apa yang disampaikan pak JK
dalam pidatonya sejatinya bukanlah pesan anti kebhinekaan. Sebaliknya, beliau
menegaskan pentingnya upaya mewujudkan pemerataan ekonomi untuk merawat
kebhinekaan. Karena dengan pemerataan, potensi konflik yang dipicu oleh isu
ketidakadilan ekonomi, yang dibumbui dengan sentimen perbedaan agama dan ras,
bisa dihindari. (*)
Komentar
Posting Komentar