Belum lama ini, Badan Pusat Statistik
(BPS) meluncurkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dihitung dengan
menggunakan metode baru.
Metode tersebut mengadopsi teknik
perhitungan IPM yang telah digunakan oleh United Nations Development Programme
(UNDP) dalam penyusunan laporan tahunan pembangunan manusia (Human Development
Report) sejak tahun 2010.
Seperti diketahui, IPM merupakan indeks
komposit hasil agregasi tiga jenis indeks yang masing-masing mewakili dimensi
pembangunan manusia, yakni indeks kesehatan, indeks pendidikan, dan indeks
standar hidup.
Perubahan mendasar dalam perhitungan IPM
dengan metode baru mencakup penggunaan indikator harapan lama sekolah (HLS)
menggantikan indikator angka melek huruf (AMH) dalam perhitungan indeks
pendidikan dan penggunaan indikator pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita
menggantikan produk domestik bruto (PDB) per kapita dalam perhitungan indeks
standar hidup.
Agregasi indeks juga mengalami
perubahan. Semula, agregasi indeks menggunakan rata-rata hitung. Pada IPM
dengan metode baru, perhitungan indeks menggunakan rata-rata geometrik.
Beberapa perubahan tersebut menjadikan
IPM dengan metode baru memiliki sejumlah keunggulan dibanding IPM yang dihitung
dengan metode lama.
Penggunaan HLS dalam perhitungan indeks
pendidikan, misalnya, menjadikan IPM dengan metode baru mampu memotret gambaran
yang lebih relevan dalam pendidikan dan perubahan yang terjadi dibanding IPM
dengan metode lama.
Agregasi indeks dengan menggunakan
rata-rata geometrik juga menjadikan capaian yang rendah pada salah satu
komponen indeks tidak dapat ditutupi oleh komponen indeks lain yang capaiannya
lebih tinggi.
Penggunaan metode baru dalam perhitungan
IPM memberi sejumlah konsekuensi yang patut diperhatikan oleh para pengguna
data. Terutama ketika IPM dengan metode baru dijadikan dasar perencanaan dan
evaluasi capaian pembangunan manusia.
Pertama, perubahan metode perhitungan
berdampak penurunan level IPM. Secara umum, skor IPM dengan metode baru lebih
rendah dibanding skor IPM dengan metode lama untuk tahun yang sama. Pada 2013,
misalnya, skor IPM nasional dengan metode baru mencapai 68,31, sedikit lebih
rendah dibanding IPM nasional dengan motode lama yang mencapai 73,81.
Penurunan level IPM tersebut tentu saja
berdampak perubahan kategorisasi capaian pembangunan manusia. Dengan skor IPM
sebesar 68,31 capaian pembangunan manusia Indonesia pada 2013 termasuk kategori
sedang. Sebelumnya, dengan skor IPM sebesar 73,81, capaian pembangunan manusia
Indonesia termasuk tinggi.
Kedua, peringkat IPM menurut provinsi
juga mengalami perubahan. Karena itu, perbandingan peringkat antar waktu dengan
menggunakan metode IPM yang berbeda tidak bisa dilakukan.
Hasil perhitungan IPM dengan metode baru
untuk seluruh provinsi di Indonesia memperlihatkan bahwa, pada 2014, peringkat
IPM tertinggi ditempati oleh Provinsi DKI Jakarta dengan skor IPM mencapai
78,39. Itu artinya, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan capaian pembangunan
manusia terbaik dibandingkan dengan 33 provinsi lain di tanah air.
Sementara itu, hasil perhitungan IPM
dengan metode baru untuk periode 2010-2014 menunjukkan bahwa lima provinsi di
tanah air dengan laju peningkatan IPM relatif tinggi (top movers) adalah Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan
Jambi.
Itu artinya, meskipun memiliki skor IPM
yang tidak terlalu tinggi bahkah relatif rendah—seperti NTT dan NTB—kelima
provinsi tersebut mampu menggenjot peningkatan capaian pembangunan manusia
daerahnya secara optimal dalam lima tahun terakhir.
Walaupun memberi sejumlah konsekuensi
berbeda, IPM dengan metode baru tetap memberi gambaran yang sama ihwal
tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memacu capaian pembangunan manusia.
Salah satu tantangan tersebut adalah
tingginya disparitas atau kesenjangan capaian pembangunan manusia antar
wilayah, baik antar provinsi maupun antar kabupaten/kota dalam provinsi.
Kesenjangan tidak hanya terjadi secara agregat tapi juga pada masing-masing
komponen pembangunan manusia (kesehatan, pendidikan, dan standar hidup).
Hal itu tercermin dari tingginya variasi
skor IPM antar wilayah. Sebagai gambaran, pada 2014, Provinsi Papua memiliki
capaian pembangunan manusia terendah dengan skor IPM sebesar 56,75. Itu
artinya, selisih skor IPM antara Provinsi Papua dan Provinsi DKI Jakarta lebih
dari 20 poin.
Variasi skor IPM yang jomplang juga
terjadi antara kabupaten/kota di dalam provinsi. Di Provinsi Papua, misalnya,
skor IPM Kabupaten Nduga hanya sebesar 25,38, sementara skor IPM Kota Jayapura
justru mencapai 77,86.
Karena itu, pemerataan pembangunan untuk
mempersempit jurang ketimpangan, baik antar wilayah maupun antar kelompok
masyarakat, merupakan kata kunci bagi Indoenesia. Tanpa pemerataan, capaian
pembangunan manusia bakal sulit digenjot. Selain itu, dampak lanjutan dalam
bentuk konflik sosial sangat rentan terjadi akibat melemahnya kohesi sosial di
tengah masyarakat. (*)
Komentar
Posting Komentar