Langsung ke konten utama

Dampak Moratorium PNS


Pemerintah Jokowi-JK mewacanakan bakal melakukan moratorium penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) selama lima tahun mendatang. Jika direalisasi, hal tersebut dipastikan bakal berdampak terhadap kondisi ketenagekerjaan di tanah air.
Sedikitnya ada dua dampak yang bakal ditimbulkan jika moratorium penerimaan PNS jadi diterapkan. Pertama, jumlah penganggur akademik, yakni mereka yang menganggur dengan kualifikasi pendidikan tertinggi yang ditamatkan minimal diploma, kemungkinan bakal meningkat. Padahal saat ini saja jumlah penganggur akademik boleh dibilang cukup tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Februari 2014 jumlah penganggur akademik mencapai 8,3 persen dari total penganggur yang mencapai 7,15 juta orang.
Tambahan jumlah penganggur akademik akan lebih besar jika moratorium di sini dimaknai sebagai “tidak ada penerimaan sama sekali”. Pun jika moratorium yang dimaksudkan oleh pemerintah adalah zero growth (jumlah yang pensiun sama dengan jumlah penerimaan baru) dampak peningkatan jumlah penganggur akademik kemungkinan besar akan tetap terjadi.
Tak bisa ditampik, profesi PNS masih menjadi tumpuan bagi banyak angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi. Hal ini tercermin dari membludaknya jumlah peminat ketika ada penerimaan PNS. Putri Presiden Jokowi pun konon ikut test PNS. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah pendaftar calon pegawai negeri sipil pada tahun ini nyaris menyentuh angka 1,5 juta orang.
Bagi mereka yang hidup di daerah yang memiliki banyak pilihan pekerjaan di sektor formal—selain menjadi PNS—seperti di Jakarta, dampak moratorium mungkin bakal tidak terlalu terasa. Tapi di daerah lain, yang tidak banyak memiliki pilihan kesempatan kerja di sektor formal, dampak moratorium bakal sangat terasa. Tak bisa dipungkuri, di banyak tempat di negeri ini, mindset sebagian besar orang adalah kuliah untuk menjadi PNS.
Kedua, jumlah pekerja di sektor informal—yang saat ini mencakup sekitar 60 persen dari total jumlah penduduk bekerja—juga bakal meningkat. Secara alamiah, setiap orang akan melakukan apa saja untuk memperoleh pendapatan agar bisa bertahan hidup. Meskipun ia harus menggeluti pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki. Hal serupa juga bakal terjadi pada angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi. Jika pekerjaan sebagai—orang kantoran –di sektor formal tak bisa direngkuh, mereka terpaksa akan terjun ke sektor informal, seperti menjadi pedagang kaki lima, penjual bakso, dan tukang ojek.
Meski bekerja, mereka sejatinya masih bisa disebut menganggur karena menggeluti pekerjaan yang tidak sesuai atau di bawah tingkat pendidikan/kapabilitas yang mereka miliki. Dalam istilah ketenagakerjaan mereka disebut pengangguran terselubung (disguised unemployment). Selain itu, pekerjaan di sektor informal identik dengan kemiskinan, pendapatan yang rendah dan tak menentu, serta ketiadaan jaminan perlindungan kerja.
Karena itu, dengan mempertimbangkan dua kemungkinan dampak tersebut, pemerintah harus bijak dan berpikir masak-masak ketika hendak memutuskan apakah bakal menerapkan moratorium PNS atau tidak. Dan sebagai solusi jangka panjang, pemerintah harus mengupayakan penciptaan lapangan pekerjaan sebanyak mungkin di sektor formal—tentu saja dengan menggenjot investasi—dan menggalakkan kewirausahaan. Dengan demikian, para lulusan pendidikan tinggi tidak hanya mengandalkan profesi PNS dalam mencari pekerjaan. (*)
Penulis adalah Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS). Pemerhati masalah sosial ekonomi. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...