Langsung ke konten utama

Swasembada Beras Jangan Hanya di Atas Kertas


Pagi itu, di sebuah ruangan yang jauh dari kesan rapi, Benito (bukan nama sebenarnya) tampak resah. Lelaki asal Timor Timur, yang memutuskan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menetap di sebuah kabupaten di Jawa Timur sejak lima belas tahun silam,  itu dengan polos meluapkan isi hatinya. Batinnya tengah didera konflik: idealisme versus  tuntutan pekerjaan.

“Bertahun-tahun kami telah berupaya keras memperbaiki akurasi data pertanian di kabupaten ini, sampai-sampai tidak jarang harus “berkelahi” dengan teman-teman dari Badan Pusat Statistik (BPS)Tapi belakangan ini, jerih payah kami itu menjadi sia-sia. Data kembali dirusak”.

Ambisi merengkuh swasembada beras hanya dalam waktu tiga tahun ternyata telah membuat batin Benito tersiksa. Bukan karena terlampau besarnya angka-angka target luas tanam yang dibebankan, tapi tekanan untuk “memoles” angka agar sebisa mungkin mendekati target yang telah ditetapkan, tak peduli apakah itu sesuai realitas di lapangan atau tidak.

Di lain waktu, seorang statistisi yang mengurusi data-data pertanian negeri ini terkesiap ketika memandangi lembaran bahan paparan sebuah kementerian—yang diamanahi tugas untuk mewujudkan swasembada pangan hanya dalam waktu tiga tahun. Betapa tidak, pada lembaran itu, tertulis bahwa luas baku lahan sawah Indonesia mencapai 8,93 juta hektar. Padahal, data terakhir yang ia pegang menunjukkan bahwa luas lahan sawah di negeri ini hanya 8,11 juta hektare.

Jika memang betul luas lahan sawah negeri ini mencapai 8,93 juta hektare, berarti ada potensi produksi beras sebanyak 3-4 juta ton yang selama ini belum tercakup dalam perhitungan. Beras sebanyak itu, tentu lebih dari cukup untuk mengantarkan negeri ini merengkuh target swasembada.

Pertambahan luas lahan sawah sekitar  800 ribu hektar  dalam waktu singkat—kurang dari setahun—tentu terasa janggal dan tak masuk akal. Apalagi, menurut sepengetahuannya, sejauh ini  belum ada realisasi pencetakan sawah baru secara besar-besaran yang dilakukan pemerintah. Yang ada baru rencana (baca: wacana).

Angka tersebut semakin tidak masuk akal di tengah semakin derasnya laju konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian tanpa mampu diimbangi upaya pemerintah mencetak sawah baru. Alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan, pabrik, bahkan lapangan golf adalah fakta yang terjadi secara masif dan kasat mata. Karena itu, logikanya, luas lahan sawah seharusnya  terus berkurang, bukan malah bertambah—apalagi dalam jumlah total luasan yang spektakuler.

Di atas kertas
Fakta bahwa negeri ini merupakan importir beras memang menyedihkan dan mengusik harga diri kita sebagai negara agraris. Karena itu, upaya keras pemerintah dalam menggenjot kapasitas produksi padi/beras nasional untuk mewujudkan swasembada beras harus didukung sepenuhnya.

Kita semua tentu ingin merasakan kembali masa-masa ketika negeri ini mengalami swasembada beras pada dekade 80-an. Siapa yang tak rindu negeri ini mengulang masa-masa itu: ketika keputusan Bulog masuk ke pasar beras Internasional—sebagai eksportir—membikin harga beras di pasar internasional terkoreksi cukup dalam,  jatuh dari US$ 250 per ton menjadi US$ 150 per ton.

Tapi, yang kita inginkan adalah kenyataan, bukan ilusi angka-angka statistik. Apa gunanya produksi beras dilaporkan melimpah, tapi berasnya semu dan hanya angka-angka di atas kertas. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga