Langsung ke konten utama

Hasil Sensus: Pertanian Tak Lagi Menarik


Nampaknya, ada yang salah dengan pembangunan pertanian negeri ini. Pembangunan hanya dimaknai sebagai angka-angka pertumbuhan nilai tambah saktor pertanian yang terus meningkat, tetapi tak pernah “mencatat” peningkatan kesejahteraan petani. Pembangunan pertanian seolah lupa dengan nasib petani yang sebagian besar terus bergumul dengan kemiskinan.

Untuk pertanian tanaman pangan (padi dan palawija), misalnya, fokusnya adalah peningkatan produksi secara aggregate, tak peduli apakah petani bakal sejahtera atau tidak. Padahal, bila ditelisik lebih dalam, produksi pangan negeri ini sebetulnya ditopang oleh para petani kecil—yang umumnya miskin.

Secara faktual, sekitar 75 persen petani miskin adalah petani di subsektor tanaman pangan. Merekalah penghasil padi/beras dan palawija untuk memenuhi kebutuhan pangan 250 juta penduduk negeri ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis hasil lengkap Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013) pada 2 Desember. Hasil sensus menunjukkan, jumlah petani  pada Mei tahun ini sebanyak 26,14 juta rumah tangga. Menariknya, sekitar 68 persennya (17,73 juta rumah tangga) adalah petani tanaman pangan.

Hasil sensus juga menunjukkan, sebagian besar petani tanaman pangan merupakan petani kecil dengan akses terhadap penguasaan lahan yang terbatas. Hal ini tercermin dari rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai atau dikelola oleh setiap petani. BPS mencatat, rata-rata luas lahan sawah yang dikelola oleh setiap petani pengguna lahan hanya sekitar 0,2 hektar. Itu artinya, sebagian besar petani tanaman pangan adalah petani gurem.

Potret yang disajikan hasil sensus juga kian mempertegas bahwa produksi pangan negeri ini sebetulnya merupakan hasil jerih payah dan pengorbanan para petani kecil. Merekalah “pahlawan pangan” negeri ini. Sayang, sebagian besar mereka masih bergelut dengan kemiskinan.

Tak lagi menarik
Salah satu persoalan pelik yang mendera sektor pertanian dewasa ini adalah keengganan generasi muda untuk menjadi petani. Mereka yang bertahan sebagai petani saat ini adalah generasi tua. Itupun karena karena, tak ada pilihan lain selain bertani. Pasalnya, mereka umumnya berpendidikan rendah—bahkan tak pernah bersekolah—dan tak punya keahlian lain, selain bertani untuk bertahan hidup. Hal ini terkonfirmasi dari hasil sensus yang menunjukkan bahwa sekitar 60 persen petani negeri ini berumur di atas 45 tahun. Sekitar sepertiganya bahkan telah berumur di atas 55 tahun.

Secara faktual, dewasa ini para pemuda di pedesaan lebih bangga menjadi tukang ojek atau merantau ke kota dan bergumul di sektor informal perkotaan ketimbang bertani. Mengapa? Tidak bisa dimungkiri, dalam benak mereka, menjadi petani itu gak keren serta identik dengan kekumuhan, ketertinggalan, kebodohan, dan kemiskinan. Setidaknya, itulah realitas yang mereka jumpai pada orang tua mereka yang petani tulen.

Karena itu, pemerintah harus peka terhadap persoalan ini. Sektor pertanian yang tidak didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni sejatinya adalah ancaman bagi ketahanan dan kedaulatan pangan negeri ini.

Barangkali, pekerjaan rumah pemerintah saat ini—termasuk kita semua—adalah bagaimana membuat sektor pertanian sebagai sesuatu yang menarik dan menjanjikan kesejahteraan. Bahwa pilihan menjadi petani adalah sesuatu yang keren dan mulia. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...