Langsung ke konten utama

Memaknai Angka Pengangguran

Salah satu indikator seksi yang secara rutin dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah angka pengangguran. Indikator ini merupakan indikator makro ekonomi yang sangat penting selain inflasi (perkembangan harga-harga), jumlah uang beredar, tingkat suku bunga, dan pertumbuhan ekonomi.

Di Amerika Serikat (AS), angka pengangguran sering dijadikan materi atau isu utama dalam kampanye pemilihan presiden (pilpres). Pada pilpres AS baru-baru lalu, misalnya, Anda bisa melihat bagaimana angka pengangguran AS yang cukup tinggi digunakan oleh Mitt Romney, calon presiden dari Partai Republik, untuk menyerang kinerja petahana, Barack Obama dari Partai Demokrat. Singkat kata, di AS yang praktek demokrasinya sudah sangat baik, statistik pengangguran—dan juga statistik-statistik lainnya—merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan preferensi pemilih dan keputusan mereka di bilik suara.

Mengapa angka pengangguran sedemikian penting? Salah satu jawabannya adalah karena indikator ini merupakan tolak ukur keberhasilan pemerintah terkait penciptaan atau penyediaan lapangan kerja, hak bagi setiap penduduk yang termasuk dalam usia kerja.
Tidak salah kalau dikatakan bahwa pekerjaan merupakan segalanya bagi setiap orang. Buktinya tidak jarang orang mati bunuh dari karena kehilangan atau tak punya pekerjaan. Hanya dengan bekerja orang dapat memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Singkat kata, pekerjaan adalah tiket bagi setiap orang untuk merengkuh kesejahteraan, hal yang paling didamba oleh setiap orang di dalam hidup.

Apa itu pengangguran?
Meskipun angka pengangguran yang dilaporkan BPS telah beredar luas di ruang publik, masih banyak di antara masyarakat yang tidak memahami hakekat atau apa sebetulnya yang dimaksudkan dengan angka ini. Alhasil, kesalahan interpretasi pun jamak terjadi.

Ketika  BPS melaporkan bahwa angka pengangguran pada Februari  2012 mencapai 7,61 juta jiwa atau 6,32 persen tentu banyak orang yang bertanya, siapa yang dimaksudkan penganggur oleh BPS di sini—kok, sedikit sekali jumlahnya? Apakah mereka yang sama sekali tidak bekerja dan diam saja berpangku tangan di rumah? Ataukah termasuk mereka yang bekerja namun jam kerjanya di bawah jam kerja normal dengan penghasilan yang pas-pasan untuk sekedar menyambung hidup? Berapa pula ukuran jam kerja normal itu?

Pertanyaan terus berlanjut. Orang akan bertanya lagi, angka 6,32 persen itu bagaimana perhitungannya dan menunjukkan proporsi atau persentase terhadap apa? Apakah terhadap seluruh penduduk yang jumlahnya ditaksir mencapai 236,7 juta jiwa itu? Ataukah hanya terhadap fraksi tertentu dari keseluruhan  penduduk (kelompok usia tertentu)?

Pertanyaan-pertanyaan yang kerap bergelayut di benak banyak orang ini akan coba diurai jawabannya dalam tulisan kali ini.

Perhitungan angka pengangguran dimulai dengan mendefinisikan siapa yang dimaksud dengan penganggur atau pada saat kapan orang disebut pengangguran. Bagan berikut mungkin akan sedikit membantu untuk menjelaskan definisi pengangguran yang selama ini digunakan oleh BPS:

Pengangguran menurut definisi BPS adalah (1) mereka yang tidak  bekerja dan mencari pekerjaan; (2) mereka yang tidak bekerja dan mempersiapkan usaha; (3) mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan; dan (4) mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja, tetapi belum mulai bekerja.

Berdasarkan bagan di atas, nampak jelas bahwa mereka yang dianggap pengangguran hanyalah kelompok penduduk yang termasuk angkatan kerja, yakni kelompok penduduk usia kerja (15 tahun ke atas tanpa batas atas) yang tidak bekerja dengan berbagai kondisi (4 kondisi) yang disebutkan di atas. Angkatan kerja juga tidak mencakup mereka yang bersekolah, mengurus rumah tangga, dan melaksanakan kegiatan lainnya.

Konsep bekerja dan politisasi angka
Salah satu yang sering dipersoalkan banyak orang terkait perhitungan angka pengangguran adalah mengenai konsep bekerja yang digunakan BPS. Menurut BPS, bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu  memperoleh pendapatan atau keuntungan paling sedikit 1 (satu) jam secara tidak terputus selama seminggu yang lalu. Pembatasan satu jam selama seminggu yang lalu dianggap tidak masuk akal dan mengada-ada. Bahkan, sebagian orang menganggap ini merupakan bentuk politisasi angka yang sengaja dilakukan BPS agar angka pengangguran yang dihasilkan rendah atau sesuai keinginan pemerintah.

Tentu saja tidak demikian, penggunaan batas satu jam selama seminggu yang lalu adalah konsep baku sesuai rekomendasi International Labour Organization (ILO) dan telah digunakan di banyak negara, seperti Filipina, Polandia, Pakistan, dan Rusia.Tidak ada yang salah dengan batasan satu jam selama seminggu yang lalu, justru dengan konsep ini varian data ketenagakerjaan yang diperoleh semakin kaya karena profil mereka yang bekerja bisa disajikan menurut jam kerja.

Dengan pembatasan jam kerja minimal satu jam selama seminggu yang lalu, mereka yang menganggur disebut pengangguran terbuka (open unemployment) atau sama sekali tidak bekerja. Selain pengangguran terbuka, BPS juga memotret angkatan kerja yang setengah menganggur, yakni mereka yang bekerja dengan jam kerja kurang dari jam kerja normal (35 jam per minggu).

Hanya estimasi
Untuk menghitung angka pengangguran, BPS melakukan survei yang disebut Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). SAKERNAS dilakukan empat kali dalam setahun (triwulanan). Survei ini merupakan survei dengan pendekatan rumah tangga yang didesain untuk memotret kondisi ketenagakerjaan 75.000 sampel rumah tangga di seluruh Indonesia.

Dari SAKERNAS diperoleh proporsi atau persentase penganggur, yang jika dikalikan dengan jumlah penduduk akan diperoleh jumlah angkatan kerja yang menganggur secara absolut. Karena didasarkan pada hasil survei, perhitungan angka pengangguran yang dilakukan oleh BPS pada dasarnya hanyalah estimasi atau perkiraan.

Demikian, uraian singkat mengenai perhitungan angka pengangguran yang dilakukan BPS. Semoga bermanfaat. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga