Langsung ke konten utama

Ambisi JK

Pemilihan presiden (pilpres) memang masih lama. Tapi, geliatnya kian terasa. Move sejumlah tokoh yang kemungkinan bakal bertarung di 2014 nanti mulai tampak riaknya.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, misalnya. Meskipun kerap merendah bahwa dia hanya akan maju dalam pilpres jika didukung dan dikehendaki oleh rakyat, sulit ditampik bahwa Ketua Palang Merah Indonesia ini sejatinya masih berambisi untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Statemen JK yang bersedia jika diduetkan dengan Megawati yang sempat meramaikan pemberitaan di sejumlah media beberapa waktu lalu setidaknya bisa menjadi bukti bahwa dia--yang sudah tak muda lagi itu--masih memiliki hasrat yang meluap-luap untuk menjadi presiden. Dalam hal ini, saya setuju dengan apa yang dikatakan Akbar Tanjung, bahwa saat ini pendukung JK tengah bergerilya menggalang kekuatan, bergerak dalam diam untuk memenangkan pertarungan di 2014 kelak (Tempo.co, 28/11).

Tentu tak ada yang salah dengan ambisi JK itu. Secara kualitas dia memang pantas dan laik memimpin negeri ini. Kepantasan dan kelaikan Itu telah ditunjukkannya selama menjabat sebagai wakil presiden. Selain itu, hasil survei yang dirilis sejumlah lembaga survei belakangan ini menunjukkan bahwa JK memang masih memiliki tingkat keterpilihan yang tinggi dan adanya persepsi positif di benak publik bahwa dia termasuk tokoh yang memiliki kemampuan untuk mengemban amanah, mengurus negeri ini.

Tebing terjal
Singkat kata, boleh dibilang tak ada satupun yang ragu dengan kemampuan JK yang cepat, lincah, dan cekatan itu. Tapi sehebat-hebatnya seorang calon presiden, yang menentukan dia terpilih atau tidak ujung-ujungnya rakyat juga sebagai pemilih (voter). Dan, berkaca pada kualitas pemilih kita saat ini, para pendukung JK nampaknya harus bekerja ekstra keras memenangkan pertarungan.

Statistik menunjukkan, sebagian besar penduduk yang termasuk dalam usia pemilih saat ini berpendidikan maksimal SMP, nyaris mencapai 70 persen (BPS, Sensus Penduduk 2010). Dengan tingkat pendidikan seperti itu, sulit rasanya mengharapkan mereka menjadi pemilih yang cerdas dalam terminologi demokrasi modern, yakni pemilih yang menentukan pilihan di bilik suara berdasarkan rasionalitas dan pertimbangan-pertimbangan cerdas. Bukan berdasarkan faktor-faktor yang belum tentu/sama sekali tidak berkorelasi dengan kualitas seseorang dalam memimpin, seperti asal daerah (suku), agama, dan popularitas.

Kemenangan tipis Jokowi-Ahok atas Foke-Nara dalam pemilihan Guberbur DKI Jakarta beberapa waktu lalu tidak bisa dijadikan acuan bahwa sebagian besar pemilih kita sudah cerdas dalam menentukan pilihannya. Pemilih di Jakarta adalah fraksi kecil dari seluruh pemilih di Indonesia yang notabene sebagian besar belum cerdas dan tersentuh yang namanya pendidikan politik.

Faktual, saat ini semangat primordialisme masih memiliki magnitude yang sangat kuat dalam praktik demokrasi Indonesia. Soal etnis dalam pemilihan presiden, misalnya, suka atau tidak masih menjadi faktor penentu. Dan, inilah tebing terjal yang harus ditaklukan JK--yang bukan orang Jawa itu--jika ingin menjadi presiden. Statistik menunjukkan sekitar 40,22 persen penduduk Indonesia adalah etnis Jawa (BPS, Sensus Penduduk 2010). Tentu tidak semua orang Jawa terjebak dalam semangat primordialisme kesukuan. Tapi sekali lagi, tak bisa ditampik bahwa faktor ini masih menjadi penentu kemenangan dalam pilpres nanti.

Jalan keluarnya, JK sepertinya harus berduat dengan tokoh etnis Jawa yang popularitasnya sedang moncer belakangan ini. Dahlan Iskan dan Mahfud MD mungkin bisa jadi pilihan. Itupun kalau keduanya bersedia. Lepas dari itu semua, buku bertajuk JK Ensiklopedia yang belakangan ini mulai beredar di sejumlah toko buku yang mencoba mendekatkan sosok JK dan prestasi-prestasi yang telah diukirnya selama ini kepada publik adalah salah satu ikhtiar (move) yang baik.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga