Langsung ke konten utama

Tantangan Indonesia: Miskin, Rentan, dan Timpang

Tak bisa ditampik, gemuruh pembangunan yang dilakukan pemerintah telah menuai hasil: perbaikan ekonomi terus terjadi. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, rata-rata di atas 6 persen per tahun sejak tahun 2006. Di tahun 2009, pertumbuhan ekonomi memang sempat terkoreksi pada angka 4,6 persen. Tapi, itu adalah hal yang bisa dimaklumi. Kala itu, badai krisis ekonomi global tengah menerpa.

Dengan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 4,6 persen pun sebetulnya kita patut diacungi jempol. Pasalnya, kita bisa tumbuh positif dan moderat sementara pada saat yang sama banyak negara-negara di dunia mengalami resesi dan tumbuh negatif. Bahkan, angka pertumbuhan sebesar itu telah menempatkan kita sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah China dan India.

Seiring pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, pendapatan per kapita terus meningkat. Di tahun 2011, misalnya, telah mencapai 3.543 dollar AS. Dengan angka pendapatan per kapita sebesar ini, kita telah tercatat sebagai negara dengan penduduk berpendapatan menengah (middle income country).

Sejumlah tantangan dan Solusi
Sayangnya, perbaikan ekonomi masih menyisakan tiga tantangan berikut: kemiskinan (poverty), kerentanan (vulnerability), dan ketimpangan (inequality).

Selama ini, gemuruh pertumbuhan ekonomi memang telah mendongkrak proporsi kelas menengah. Namun, juga masih menyisakan kelompok miskin dan rentan. Sepanjang tahun 2003-2010, jumlah penduduk kelas menengah, yakni mereka yang memiliki pengeluaran sebesar 360 ribu – 3,6 juta rupiah per bulan, memang telah bertambah dari 80,8 juta orang (37,6 persen) pada tahun 2003 menjadi 133,4 juta orang pada tahun 2010. Namun, pada Maret 2012, jumlah penduduk miskin mencapai 29,13 juta orang (11,96 persen), sementara penduduk rentan miskin (hampir miskin) mencapai 26,39 juta orang (10,83 persen).

Dalam satu dekade terakhir, penurunan tingkat kemiskinan berjalan lambat. Bahkan, ada kecenderungan semakin jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2014. Celakanya, ini juga dibarengi dengan ketimpangan pendapatan yang kian melebar. Indek Gini, yang merupakan indikator untuk mengukur ketimpangan pendatan, bahkan telah menembus rekor tertinggi, yakni mencapai 0,41 di tahun 2011. Artinya, ketimpangan pendatan telah memasuki skala medium.

Di antara penyebab penurunan kemiskinan berjalan lambat adalah dua hal berikut: kebijakan penanggulangan kemiskinan yang kurang tepat karena kurang memperhatikan karakteristik kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi kurang berkualitas.

Ada empat karakteristik utama kemiskinan di Indonesia. Pertama, tingkat kesenjangan kemiskinan antar provinsi sangat tinggi. Pada Maret 2012, misalnya, tingkat kemiskinan di Jakarta sebesar 3,69 persen, sementara di Papua mencapai 31,11 persen. Hal ini tentu tidak terlepas dari disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah yang masih tajam. Faktual, sampai saat ini aktivitas ekonomi masih terkonsentrasi di Jawa.

Kedua, kesenjangan kemiskinan antara kota dan desa juga tinggi. Pada Maret 2012, misalnya, tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 8,2 persen, sementara di pedesaan mencapai 15,12 persen. Selain itu, sebagian besar rumah tangga miskin tinggal di pedesaan (63 persen penduduk miskin tinggal di pedesaan) dan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian (71,26 persen).

Ketiga, jumlah penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan (hampir miskin) cukup banyak. Mereka tidak tergolong miskin, tetapi rentan terhadap kemiskinan. Mereka bakal jatuh miskin jika sewaktu-waktu terjadi gejolak ekonomi yang memukul telak daya beli mereka.

Keempat, kontribusi makanan (terutama beras) terhadap garis kemiskinan sangat tinggi. Pada Maret 2012, misalnya, kontribusi komoditas pangan terhadap garis kemiskinan sebesar 73,50 persen: beras memberi kontribusi paling dominan, yakni mencapai 29,23 persen di perkotaan dan 35,61 persen di pedesaan.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas ditunjukkan oleh sensifitasnya yang lemah terhadap penurunan kemiskinan. Hasil exercises Suhariyanto (2012) menunjukkan, sepanjang tahun 2000-2011, elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan tingkat kemiskinan hanya sebebar -0.3990. Artinya, penurunan jumlah penduduk miskin untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 143.050 orang.

Temuan ini tentu tidak mengherankan, melihat struktur pertumbuhan ekonomi selama ini yang lebih digerakkan oleh sektor non-tradable (jasa) ketimbang sektor tradable (riil). Padahal, sebagian besar angkatan kerja kita, termasuk penduduk miskin, menggantungkan hidupnya di sektor tradable (utamanya sektor pertanian).

Jadi, tidak mengherankan kalau pendapatan per kapita terus meningkat, sementara pada saat yang sama ketimpangan pendapatan juga terus melebar karena rata-rata pengeluaran/pendapatan penduduk golongan bawah tumbuh lebih lambat dibanding kelompok kelas menengah dan kaya.

Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan sebelumnya, maka: (1) perlu dirancang program penanggulangan kemiskinan (dalam skala besar) yang fokus di daerah pedesaan, baik di sektor pertanian (untuk petani gurem dan nelayan) maupun sektor non-pertanian (untuk buruh tani); (2) pertumbuhan ekonomi harus inklusif, pertumbuhan yang dibarengi dengan pemerataan hanya akan terwujud jika pembangunan sektor pertanian-pedesaan menjadi prioritas, kebijakan perpajakan dan subsidi yang benar (subsidi orang), dan relokasi akonomi di luar Jawa; (3) program penanggulangan kemiskinan harus dibuat berbeda untuk wilayah perkotaan dan pedesaan (juga antar provinsi), karakteristik daerah harus diperhatikan, dan terkait hal ini peran pemerintah daerah mutlak diperlukan; (4) program penanggulangan kemiskinan juga harus memperhatikan penduduk yang rentan miskin, bukan hanya yang miskin; dan (5) harga komoditas pangan, terutama beras, harus stabil. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga