Kala memelototi gambar di atas, fokus pikiran saya bukan pada kisruh rebutan kasus simulator SIM antara KPK dan Polri yang ramai diberitakan saat ini. Tapi, pada tumpukan buah jeruk mandarin dan lengkeng yang terbungkus rapi di depan ketua KPK, Abraham Samad, dan Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Sutarman. Bisa dipastikan, buah-buahan yang tersaji di depan kedua pejabat publik itu diimpor dari China (jeruk mandarin) dan Thailand (lengkeng).
Gambar di atas adalah hasil jepretan wartawan Tribunnews,
Deny Permana, dalam acara buka puasa bersama di Mabes Polri, Jakarta, Rabu
(8/8/2012). Acara itu dihadiri oleh para pejabat negara: Presiden SBY dan
Wakilnya Budiono, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan sejumlah Menteri
Kabinet Indonesia Bersatu II.
Dari gambar tersebut tersirat makna, dalam acara-acara yang
dihadiri pejabat negara pun ternyata buah lokal negeri ini tak lagi mendapat
tempat, kian tersisihkan oleh buah-buahan impor yang terus membanjiri negeri
ini.
Keberpihakan
Dalam tulisannya di Koran Kompas bertajuk “Kemelut Pangan
Kita”, Rabu (1/8/2012), Sapuan Gafar, mantan Sekertaris Menteri Pangan
1993-1996, menuliskan bahwa gempuran komoditas pangan impor–termasuk buah–akan
sulit dibendung jika tidak ada keberpihakan pada komoditas pangan lokal.
Menurut dia, keberpihakan harus ada pada pemerintah dan masyarakat, konsumen
kita harus mencintai, membeli dan menggunakan produk komoditas pangan lokal.
Tanpa keberpihakan pada komoditas buah lokal, serbuan buah
impor mustahil untuk dibendung. Faktual, saat ini 85 persen kebutuhan buah
nasional diimpor. Mirisnya, importasi buah (tropis) tersebut dilakukan kala
produksi buah dalam negeri cukup melimpah (silakan baca di sini). Kenapa buah
impor terus membanjiri pasar kita? Jawabannya sederhana, karena kita sebagai
konsumen menginginkannnya.
Seiring jumlah penduduk kelas menengah negeri ini yang terus
tumbuh, permintaan terhadap buah terus meningkat. Celakanya, preferensi
konsumen kita lebih mengarah pada buah impor. Alasannya sederhana, buah impor
lebih bersih, tampilannya lebih menarik, dan harganya pun kompetitif.
Ditambah lagi dengan budaya belanja penduduk kelas menengah
yang lebih doyan berbelanja di
pasar-pasar modern ketimbang pasar tradisional. Kita tahu di pasar-pasar modern,
komoditas buah lokal tak lagi mendapat tempat. Sepertinya, hampir tidak ada lagi
pasar modern di negeri ini yang menjual buah lokal.
Itulah sebab, upaya proteksi yang dilakukan pemerintah melalui
Kementerian Pertanian dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Pertanian No.88/2011,
No.89/2011, dan No.90/2011 berupa pembatasan impor 47 komoditas buah dan sayur
yang hanya boleh masuk melalui empat pintu (Belawan, Bandar Udara
Soekarno-Hatta, Tanjung Perak, dan Makassar) tidak memberi pengaruh berarti
dalam membendung derasnya serbuan buah impor.
Cerdas dan nasionalis
Keberpihakan kita sebagai konsumen terhadap buah lokal sebetulnya
bukan hal yang terlalu sulit untuk diwujudkan jika kita sedikit cerdas sebagai
konsumen dan memiliki sedikit nasionalisme. Cerdas maksudnya, sebagai konsumen
kita harus tahu bahwa dibalik kemolekan penampilannya, buah impor sejatinya
menyimpan “bahaya” jika dikonsumsi secara terus menerus dalam jangka waktu yang
lama.
Semua buah impor adalah hasil pertanian modern yang tidak
lepas dari penggunaan bahan-bahan kimia. Selain itu, sifat alami produk
pertanian adalah mudah busuk, pada buah impor ini diantisipasi dengan
penggunaan fungisida (pembunuh jamur) dan zat lilin untuk menghambat penguapan.
Meskipun masih dalam kadar yang wajar, paparan zat-zat kimia yang sejatinya
tidak baik untuk kesehatan dalam waktu yang lama tentu “berbahaya”.
Terkait nasionalisme, preferensi kita dalam mengkonsumsi
buah seharusnya mengarah pada buah lokal. Ini terkait dengan isu kedaulatan dan
kemandirian pangan yang kerap didengung-dengungkan itu. Lebih dari itu, ini
juga terkait dengan kesejahteraan dan masa depan petani buah kita. Kita
seharusnya bisa menjadi pemain (eksportir) utama komoditas buah-buahan tropis
di pasar global. Terus, bagaimana caranya kita bisa menjadi pemain di pasar
global kalau pasar dalam negeri kita saja dijejali buah-buahan impor.
Tidakkah kita mencontoh Korea Selatan (bukan hanya menggemari
drama dan Kpop-nya), bagaimana mereka begitu mencintai dan lebih memilih produk
dalam negeri sendiri ketimbang produk impor. Konon, mereka (meskipun di luar
negeri) lebih memilih untuk menggunakan mobil-mobil produksi Korea ketimbang
mobil-mobil produksi luar negeri, meskipun sejatinya mereka memiliki kemampuan
materi untuk membeli mobil buatan luar negeri.
Itulah sebab, sebagaimana bisa kita saksikan saat ini,
perekonomian Korea Selatan tumbuh pesat. Produk-produk buatan Korea begitu
ekspansif di pasar internasional, termasuk di Indonesia. Samsung, LG, Nissan,
dan Hyundai adalah sebagian dari begitu banyak brand asal “negara ginseng” yang mendunia.
Rhenald Kasali pernah mengatakan, suatu brand hanya akan eksis di pasar global jika brand tersebut juga eksis dan kuat secara domestik (di dalam
negeri). Inilah yang terjadi pada Korea Selatan. Bandingkan dengan negara ini, yang
penduduknya lebih doyan dan bangga
terhadap produk impor ketimbang produk negaranya sendiri. Di pasar
internasional, nampaknya kita hanya dikenal sebagai pengekspor bahan mentah dan
TKI.
Butuh contoh
Kita adalah bangsa yang patrilinier, demikian kalimat yang
kerap dikhotbahkan oleh para antropolog. Karena itu, keberadaan para pemimpin
yang mampu memberi contoh amat penting bagi negeri ini. Termasuk dalam
keberpihakan terhadap buah lokal.
Di awal tulisan ini, sengaja saya munculkan gambar Abraham
Samad dan Komjen Sutarman dengan tumpukan buah–yang dapat dipastikan diimpor–di
depan keduanya. Kalau di kalangan para pemimpin kita saja buah lokal tidak
mendapat tempat, sulit rasanya mengharapkan konsumen negeri ini memiliki
keberpihakan terhadap buah lokal.
Pastikan buah yang terhidang di meja Anda saat lebaran nanti
tidak semuanya buah impor!(*)
Komentar
Posting Komentar