Langsung ke konten utama

Ketahanan Pangan dan Kebiasan Makan Kita

Saat menyantap makanan dengan begitu lahapnya, pernahkah terbayang dalam benak kita: pada saat yang sama ada sekitar 1 miliar penduduk dunia yang sedang kelaparan (FAO, 2010)? Itulah kondisi dunia saat ini, ancaman krisis pangan kian nyata.

Indonesia, dengan jumlah penduduk mencapai 237,6 juta orang dan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun dalam satu dekade terakhir, juga tengah dihadapkan pada ancaman yang sama. Memang, kondisi kita belum separah negara-negara di Benua Afrika. Ketersedian pangan kita boleh dibilang masih aman. Tapi, kian bergantungnya negeri ini pada produk pangan impor (mentah dan olahan) merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan ketahanan pangan (food security) kita.

Faktual, hari ini neraca perdagangan komoditas pangan kita terus mengalami defisit dengan tren yang kian menganga. Pada tahun 2010 saja, defisit tersebut telah mencapai angka 23 miliar dollar AS. Artinya, selama ini kita lebih banyak mengimpor komoditas pangan dari luar negeri ketimbang mengekspornya. Singkat kata, kita kian bergantung pada produk pangan impor.

Kebergantungan ini tentu persoalan serius. Pasalnya, tidak selamanya komoditas pangan tersedia secara mencukupi di pasar global. Sewaktu-sewaktu pasokan bisa saja terganggu, dan hari ini intensitas gangguan itu kian meningkat karena adanya pemanasan global yang memengaruhi produksi. Belum lagi kita harus bersaing di pasar internasional dengan negera-negara lain yang juga membutuhkan komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.

Apa yang terjadi pada komoditas kedelai baru-baru ini adalah contohnya. Panganan tahu-tempe yang merupakan produk turunan kedelai sempat hilang dari pasaran tiga hari lamanya. Pemicunya adalah harga kedelai yang tiba-tiba meroket, mengakibatkan pengusaha tahu-tempe mogok produksi.

Harga kedelai di pasar internasional mengalami kenaikan karena suplainya terganggu. Pasalnya, Amerika Serikat sebagai negara utama produsen kedelai dunia tengah dihadapkan pada bencana kekeringan yang menggilas 60 persen wilayah pertaniannya. Kondisi ini mengakibatkan harga kedelai dalam negeri melompat karena sekitar 70 persen kebutuhan kedelai nasional harus diimpor, dan 84 persen dari kedelai impor tersebut diserap oleh industri tahu-tempe.

Sementara itu, pada saat yang sama, kita juga harus bersaing dengan negara-negara seperti China, Uni Eropa, Jepang, dan Mexico untuk mendapat kedelai di pasar internasional. China, misalnya, saat ini adalah importir kedelai terbesar di dunia. Negara “Tirai Bambu” itu harus mengimpor lebih dari 50 juta ton kedelai setiap tahunnya.

Merubah kebiasan makan
Persoalan serupa kedelai sewaktu-waktu juga bakal terjadi pada komoditas pangan lain yang sebagian besar pemenuhannya harus diimpor. Satu-satunya solusi untuk keluar dari kebergantungan terhadap pangan impor adalah kemandirian pangan. Negeri ini harus swasembada.

Tentu, kita tidak harus swasembada pada semua komoditas pangan, minimal pada komoditas-komoditas pangan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak: dikonsumsi secara masif dalam jumlah besar oleh penduduk negeri ini. Produksi komoditas-komoditas pangan tersebut harus digenjot oleh pemerintah, baik itu melalui perluasan areal tanam secara besar-besaran maupun peningkatan produktivitas (penggunaan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi).

Upaya dari sisi produksi saja tidak cukup. Dari sisi konsumsi, juga harus ada upaya untuk menekan atau mengerem permintaan terhadap komoditas pangan. Dan, ini bertalian erat dengan pola atau kebiasan makan kita. Terkait hal ini, sedikitnya ada dua hal yang perlu dilakukan: diversifikasi pangan dan menghindari “kemubaziran”.

Dengan diversifikasi (penganekaragaman) pangan, kita seharusnya tidak bertumpu pada satu jenis komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan (intake) protein, karbohidrat, dan lemak. Selain itu, porsi ketiganya harus seimbang, seperti segitiga sama sisi. Saat ini, orang Indonesia lebih dominan ke karbohidrat. Tidak heran kalau menurut catatan WHO, Indonesia termasuk negara dengan penderita diabetes terbesar di dunia.

Celakanya, hari ini sekitar 80 persen pemenuhan kebutuhan karbohidrat tersebut bersumber dari beras. Kini, semua perut orang Indonesia begitu bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi mencapai 100 persen, kecuali untuk Maluku dan Papua (80 persen). Tidak mengherankan kalau setiap tahun, konsumsi beras orang Indonesia secara rata-rata mencapai 139,15 kilogram per kapita, tertinggi di dunia.

Memang, ada kecenderungan kalau saat ini angka konsumsi beras per kapita semakin menurun. Tapi celakanya, penurunan tersebut ternyata lebih disebabkan oleh meningkatnya konsumsi produk olahan gandum seperti mi instan. Padahal, gandumnya harus kita impor. Akibatnya tentu jelas, kita akan semakin bergantung pada komoditas pangan impor.

Galibnya, diversifikasi pangan diarahkan pada pemanfaatan komoditas pangan lokal yang jumlahnya melimpah. Dengan demikian, intake kerbohidrat hendaknya tidak hanya bertumpu pada beras, tetapi juga dikombinasikan dengan komoditas-komoditas pangan lokal, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, talas, sorgum, dan ganyong.

Terkait hal ini, pemerintah sebetulnya telah menggulirkan program “One Day No Rice”. Program ini diperkirakan bakal menghemat konsumsi beras sebesar 1,1 juta ton atau senilai Rp6 triliun. Namun nampaknya, program ini hanya sekedar imbauan di tengah rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya diversifikasi pangan.

Salah satu sebab rendahnya kesadaran tersebut adalah persepsi keliru: mengkonsumsi beras sudah terlanjur dianggap sebagai indikator “kesejahteraan”. Jika tidak mengkonsumsi beras, itu artinya sedang kelaparan atau tidak mampu membeli beras. Karena itu, perlu upaya serius dari pemerintah untuk meluruskan persepsi keliru tersebut.

Salah satu caranya adalah melakukan kampanye masif secara terstruktur dengan melibatkan seluruh aparatur negara guna mengangkat citra komoditas pangan lokal, sembari menjamin ketersediaannya mencukupi, harganya murah dan terjangkau, serta tersedia kapan saja.

Selain diversifikasi pangan, perilaku kemubaziran juga harus dihindari, yakni membiarkan makanan terbuang percuma. Menurut laporan FAO, setiap tahunnya, sepertiga bahan makanan yang dihasilkan secara global terbuang percuma. Di negara maju, jumlahnya bahkan mencapai 40 persen dari total bahan makanan yang diproduksi dalam setahun. Dan, sadar atau tidak, selama ini kita telah berkontribusi dalam perilaku mubazir tersebut. Mari kita rubah pola/kebiasaan makan kita!(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...