Langsung ke konten utama

Karut-Marut Sektor Pertanian

Di masa lalu, negeri ini memiliki rekam jejak yang sangat mengesankan di sektor pertanian. Tengoklah sejumlah catatan berikut: (a) sebelum merdeka, kita adalah negara pengekspor gula terbesar di dunia; (b) hingga tahun 1970-an kita termasuk salah satu pengekspor sapi; (c) tahun 1984, negara ini swasembada beras dan gula, bahkan kita mampu mengekspor beras ke luar negeri, menjadikan harga beras di pasar internasional jatuh dari US$250 per ton menjadi US$150 per ton; (d) satu tahun kemudian, kita juga swasembada kedelai; (a) sampai dengan tahun 1990, kita menikmati swasembada garam.

Sayangnya, saat ini semuanya telah berbalik. Kini, 40 persen kebutuhan gula nasional harus kita impor. Setiap tahun kita juga harus mengimpor setara dengan 900 ribu ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Hari ini, kita dipusingkan dengan harga kedelai yang melambung karena 70 persen kebutuhan kedelai nasional harus diimpor. Begitupula dengan garam, kita adalah salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, tapi 50 persen kebutuhan garam nasional lagi-lagi harus kita impor. 

Miris. Itulah faktanya. Hari ini, kita telah menjadi salah satu negara importir komoditas pangan (tropis) terbesar di dunia. Pada tahun 2010, defisit perdagangan komoditas pangan negeri ini telah mencapai US$23 miliar. Artinya, selama ini, kita lebih banyak mengimpor pangan dari luar negeri ketimbang mengekspornya. Padahal, negeri yang luas daratannya mencapai 188,2 juta hektar ini telah diberkahi Tuhan dengan kesuburan tanah yang melegenda, tongkat kayu pun bisa jadi tanaman.

Salah urus
Semua ini tentu terjadi karena sektor pertanian yang salah urus. Ambisi untuk menjadi negara industri secara terburu-buru menjadikan kita abai terhadap sektor pertanian dan menelantarkannya. Konsekwensinya jelas, sektor pertanian terus terpuruk. Padahal, sebagian besar penduduk negeri ini (42 juta) bekerja dan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. 

Celakanya, di tengah karut-marutnya kinerja sektor pertanian dewasa ini, gejala deindustrialisasi (pelemahan sektor industri) kian menguat. Ini ditunjukkan oleh pertumbuhannya yang melambat dan pangsanya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Ini tentu mengkhawatirkan, jika kita gagal menjadi negara industri dan pada saat yang sama sektor pertanian kita berdarah-darah, mau jadi apa negeri ini.

Belakangan ini, kesadaran untuk mengembalikan vitalitas sektor pertanian memang menyeruak. Kita tentu ingat dengan Program Revitalisasi Pertanian yang dicanangkan Presiden SBY di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, pada Juni 2005 lalu. Sayangnya, program ini hanya garang pada tataran konsep dan wacana. Hasilnya bisa kita lihat sendiri. Hingga kini, kinerja sektor pertanian belum memuaskan (baca: mengecewakan).


Salah satu sasaran revitalisasi sektor pertanian adalah mendorong pertumbuhan sektor pertanian agar dapat berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan di daerah perdesaan. Kita tahu, kemiskinan di negeri ini merupakan fenomena perdesaan, lebih khusus lagi sektor pertanian. Kenyataannya, hingga hari ini potret buram kemiskinan negeri ini tak kunjung beranjak dari sektor pertanian. Kesejahteraan petani dan buruh tani kita tak banyak berubah. Mereka tetap miskin. Ini ditunjukkan oleh perkembangan upah riil (daya beli) buruh tani yang terus merosot dan Nilai Tukar Petani (NTP) yang cenderung stagnan.

Dan, Kondisi seperti ini sudah seharusnya tidak terus terjadi kala kita dipimpin oleh seorang presiden yang notabene adalah seorang doktor di bidang ekonomi pertanian. Sekedar diketahui, beliau merengkuh gelar doktor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) setelah berhasil merampungkan dan mempertahankan disertasinya yang bertajuk “Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal”

Kurang perhatian
Di negara maju pun, yang perekonomiannya lebih ditopang oleh sektor industri dan jasa, sektor pertanian mendapat posisi terhormat lagi mulai. Tidak ditinggalkan dan ditelantarkan begitu saja. Dalam sejarah peradaban dunia, tak satu pun negara maju di dunia ini yang mengesampingkan sektor pertanian. Mereka menjadi negara maju dengan sektor pertanian yang kuat.

Di negara maju, sektor pertanian diposisikan sebagai benteng ketahanan pangan (food security) yang langsung bertalian dengan pertahanan negara. Tidak heran kalau negara-negara maju begitu melindungi petaninya dan memanjakan mereka dengan subsidi dan insentif yang melimpah serta proteksi. 

Mereka begitu getol memperjuangkan, bahkan memaksa negara lain agar menerima komoditas pertaniannya. Begitupula di forum internasional, seperti dalam pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), kita bisa menyaksikan bagaimana mereka begitu ngotot dan mati-matian membela petaninya.

Bandingkan dengan negeri ini, yang memutuskan untuk meliberalisasi sektor pertaniannya sejak kejatuhan rezim Orde Baru. Politik pangan murah menjadikan petani negeri ini kian terpuruk karena harga komoditas pertanian yang jauh dari kompetitif akibat serbuan komoditas pertanian impor. 

Soal lahan pertanian juga serupa, kita dapati kenyataan bahwa luas lahan pertanian di negara-negara maju terus meningkat dari tahun ke tahun. Mereka begitu serius menjaga lahan pertaniannya. Amerika Serikat dan Australia, misalnya. Saat ini, AS memiliki lahan pertanian seluas 175 juta hektar, dengan luas lahan per kapita (rasio luas lahan terhadap jumlah penduduk) mencapai 0,61 hektar per orang. Sementara Australia, yang jumlah penduduknya hanya 19 juta, kini memiliki lahan pertanian seluas 50 juta hektar. Artinya, setiap orang di Australia menguasai 2,63 hektar lahan pertanian.

Bandingkan dengan negeri ini, yang luas lahan pertaniannya hanya sebesar 17,2 juta hektar (7,5 juta hektar sawah dan 9,7 juta lahan kering). Padahal, jumlah penduduknya mencapai 237,6 juta orang. Tidak mengherankan kalau luas lahan per kapita Indonesia hanya sebesar 0,06. Celakanya, kondisi ini kian diperparah dengan laju konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian yang berlangsung secara masif di depan mata. Ada data yang menyebutkan mencapai 100 ribu hektar per tahun, dan hanya mampu diimbangi oleh pemerintah dengan pencetakan 40 ribu hektar sawah baru setiap tahun. 

Di negeri ini, tidak sedikit sawah beririgasi teknis diurug untuk pembangunan proyek-proyek real estate. Bukankah ini sama seperti yang dikatakan Mohammad Natsir (mantan Perdana Menteri Indonesia itu), “Kita membangun sambil merubuhkan.” Semoga kondisi ini tidak terus berlanjut dan pemerintah mau sadar.(*)

Sumber data: BPS dan Kementan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen ...