Langsung ke konten utama

BPS Setelah Rusman (1)

 

Saya tidak gampang kagum pada sembarang orang, hanya pada orang yang saya anggap spesial dan pantas dikagumi. Dari sederet orang yang saya kagumi, mantan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan yang kini menjabat Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) adalah salah satunya.

Beliau adalah sosok langka dalam sejarah kepemimpinan BPS. Seorang pemimpin yang tidak hanya punya visi besar untuk memajukan BPS dan meneguhkan eksistensinya, tetapi juga mampu menerjemahkan visi tersebut menjadi realita. Saya kira, semua insan BPS bakal sepakat, Rusman adalah satu-satunya kepala BPS yang mampu membuat perubahan dan sejumlah terobosan besar untuk kemajuan BPS di jamannya. Membuatnya pantas dikenang dan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah BPS.

Jabatan baru yang diembannya sebagai Wamentan adalah bukti kualitas seorang Rusman, terlepas dari anggapan bahwa itu semua dikarenakan kedekatannya dengan SBY. Terkait hal ini, saya hanya bisa berkomentar: tentu hanya orang-orang yang spesial nan hebat yang dapat memiliki kedekatan dengan sosok sekelas SBY, dan Rusman adalah salah satunya. Saya telah mengulas hal ini dalam tulisan saya yang bertajuk "Kenapa Rusman yang Ditunjuk Jadi Wamentan?"

Membangun Prestise dan Kebanggaan


Tahun 2011 lalu, saya berkesempatan mengikuti kuliah umum tentang pelaksanaan Reformasi Birokrasi di tubuh BPS yang dihelat di Auditorium Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS). Jujur, saya sedikit terharu dengan pidato Rusman yang sedikit emosional kala itu. Meskipun, saya baru anak bawang dan pendatang baru di BPS. Saat menyimak pidatonya yang memancing rasa haru itu, saya bisa menangkap adanya semangat yang kuat untuk memajukan dan meneguhkan eksistensi BPS pada diri sosok yang nyaris 40 tahun telah mengabdikan diri untuk BPS itu.

Nyaris 40 tahun tentu bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah pengabdian. Dan dalam pengabdian yang tak singkat itu, Rusman telah merasakan perjalanan panjang BPS hingga menjadi seperti saat ini, sebuah institusi yang punya prestise dan patut dibanggakan. Menariknya, Rusman adalah sosok yang telah memunculkan prestise dan kebanggaan itu, di jamannyalah BPS kian berkibar. Pretise dan kebanggaan itu meyeruak di masa kepemimpinannya.

Dari pidato Rusman kala itu, saya dapat menyimpulkan bahwa tekad Rusman yang menggebu-gebu untuk membangun prestise dan kebanggaan itu merupakan akumulasi pengalaman "suram" di masa lalu. Tak bisa ditampik, BPS yang dulu adalah sebuah institusi yang mohon maaf jauh dari prestise dan membuat bangga. Rusman telah merasakan semua itu, mengalami masa-masa suram itu, menjadikan semangatnya melecut untuk memajukan BPS. Dan, dia telah melakukannya.

Jujur, mata saya sedikit berkaca-kaca (mungkin saya terlalu melankolis saat itu) kala mendengar ceritanya tentang Kordinator Statistik Kecamatan (KSK) yang dihina dalam rapat dengar pendapat dengan DPR dan lembaga-lembaga lain yang lebih bonafide (Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Bappenas), perihal tampang mereka yang lusuh, jaket mereka yang kumal lagi bau, serta motor mereka yang butut. Rusman tentu merasa tersindir kala itu. Karena hinaan itu, dia kemudian betekad untuk "mendandani" para KSK, dan hasilnya bisa kita lihat bersama: motor mereka tak lagi butut dan penampilan mereka kian parlente, kesejahteraan mereka kian terangkat.

Mata saya juga berkaca-kaca saat Rusman mengisahkan soal gedung-gedung BPS daerah yang dulu sulit dideteksi keberadaannya karena lokasinya yang "jauh di pelosok" atau mungkin karena bangunannya yang terlalu bersahaja (lebih mirip rumah, ketimbang kantor). Tetapi itu dulu, saat ini kita bisa lihat betapa megahnya kantor-kantor BPS di daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Tak kalah hebat dengan kantor-kontor instansi pemerintah yang lain. Dan, semua itu karena terobosan Rusman.....(bersambung).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga