Langsung ke konten utama

Terlambat Bertaubat



Pemerintah telah menetapkan sebelas target utama yang harus dicapai dalam pembangunan nasional 2009-2014. Di antara kesebelas target itu, reformasi birokrasi berada di urutan pertama.

Birokrasi kita yang inefisien memang harus direformasi. Mesin pelayanan publik (public service) yang digerakkan oleh sekitar 4,7 juta pegawai negeri sipil (PNS) ini memang terlalu gemuk, rakus, lambat, dan juga korup.

Gemuk dan lambat karena angka 4,7 juta PNS sejatinya terlalu overload. Tidak lagi berimbang dengan beban kerja yang ada. Tidak mengherankan kalau sebagian besar mereka kenyataannya tidak produktif dan kompeten dalam menjalankan fungsinya sebagai abdi negara. Bebeberapa waktu lalu (1/3), Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Azwar Abu Bakar menyatakan, sekitar 95 persen dari 4,7 juta PNS saat ini tidak memiliki kompetensi di bidangnya. Statistik yang tentu miris dan membuat kita mengelus dada.

Tidak hanya itu, konon 2/3 di antara para PNS yang ada tidak produktif. Bahkan, ada yang bilang, fungsi birokrasi akan tetap berjalan normal meskipun mesin birokrasi hanya dijalankan oleh 10 persen dari total PNS saat ini. Entah hal ini betul atau tidak, yang jelas, rendahnya produktivitas para birokrat kita sudah menjadi rahasia umum, fakta yang tak terbantahkan lagi, terlalu banyak bukti yang bisa dihadirkan untuk menguatkan hal itu.

Celakanya, 4,7 juta birokrat, yang sebagian besar tidak produktif itu, begitu rakus dalam menyedot anggaran negara. Pasalnya, mereka digaji oleh negara. Jika kita tengok struktur APBN-P 2012, porsi belanja pegawai mencapai 20 persen dari total belanja pemerintah pusat, nomor dua setelah subsidi (83 persen untuk subsidi BBM dan lsitrik). Apa yang terjadi di daerah lebih parah lagi. Konon ada beberapa kabupaten/kota yang sekitar 70-80 persen APBD-nya habis untuk belanja pegawai (gaji pegawai). Kalau sudah seperti itu, bagaimana daerah tersebut bisa membangun?

Lebih celakanya lagi, birokrasi kita yang gemuk, lambat, dan rakus ternyata juga korup. Korupsi yang dilakukan para birokrat kita memang kelas teri alias partai kecil. Namun, karena dilakukan secara masif, uang negara yang berhasil ditilap juga lumayan besar jumlahnya. Judulnya bukan lagi pencurian kecil-kecilan, tapi perampokan uang rakyat secara masif. Logikanya jelas, duit yang ditilap berasal dari dana APBN yang sekitar 70 persennya dibiayaai dari pajak.

Salah satu ladang bagi para birokrat untuk menilap duit negara, yang juga santer diberitakan belakangan ini, adalah perjalanan dinas. Berdasarkan hasil audit BPK di 44 kementerian dan lembaga pada tahun 2010, dari realisasi anggaran perjalanan dinas sebesar Rp18 triliun, ada inidikasi bahwa sekitar Rp89,5 milyar telah ditilap oleh para birokrat melalui segala rupa modus penyelewengan: surat perjalanan dinas palsu, tikat palsu, dan berbagai kepalsuan lain terkait perjalanan dinas.

Di BPS sendiri, belum lama ini santer terdengar bahwa ada 13 orang pegawai yang diduga melakukan kecurangan terkait perjalanan dinas. Mereka telah menjadi contoh buruk PNS yang tidak pantas ditiru, dan diberi sanksi tidak boleh melakukan perjalanan dinas sampai batas waktu yang tidak ditetapkan (mungkin selamanya, selama menjadi pegawai BPS). Bagi saya, mereka hanyalah sekumpulan orang yang terlambat bertaubat hingga menjadi pesakitan. Seharusnya mereka bisa belajar dari banyak kawannya yang sudah jauh-jauh hari bertaubat.

Mari menjadi birokrat (PNS) yang produktif dan bersih. Salam RB. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga