Langsung ke konten utama

Berharap JK 'Nyapres' Lagi



Pemilihan presiden (pilpres) memang masih lama, masih dua tahun lagi. Namun, berbagai move sejumlah partai politik terkait calon presiden yang bakal diusungnya di 2014 nanti kian terasa gaungnya. Dan, nampaknya yang paling jelas dan hampir pasti adalah Partai Golkar dengan Abu Rizal Bakrie (Ical) sebagai capresnya.

Selain Ical, sejumlah nama lain juga kian santer terdengar bakal meremaikan bursa pilpres nanti walaupun sebagian dari mereka belum jelas bakal diusung oleh partai apa. Beberapa nama yang santer terdengar di berbagai media belakangan ini adalah, sebut saja, Prabowo Subianto (Gerindra), Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan Dahlan Iskan.

Mengenai bakal majunya JK dalam Pilpres 2014 nanti nampaknya kian kentara. Pasalnya, baru-baru ini, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) telah bulat memutuskan untuk mendukung JK sebagai calon presiden (capres) pada Pilpres 2014 mendatang. DPW PPP Sulsel menilai, JK adalah tokoh nasional terbaik untuk saat ini. Dan, terkait dengan dukungan terhadap JK itu, mereka membantah bahwa dukungan yang diberikan karena semangat primordialisme (kesukuan) berhubung sama-sama berasal dari Sulsel.

Mereka telah bertekad untuk memperjuangkan nama JK dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) partai berlambang Ka’bah itu di Kediri, Jawa Timur, pekan depan. Bahkan, tersiar kabar, 3 DPW lain juga mendukung JK sebagai capres, yakni DPW Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan (VIVAnews, 19/2/2012).

JK sendiri nampaknya masih berminat untuk menjadi capres dalam Pilpres 2014 nanti meskipun usianya tak lagi muda. Hal ini terindikasi lewat statementnya di media beberapa waktu lalu ketika ditanya perihal kesediaannya untuk maju sebagai capres usai menghadiri acara ‘Economic and Capital Market Outlook 2012’ di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Kamis 2 Febuari 2012. Kepada wartawan JK berucap, “Kalau Anda niat untuk pilih (saya), ya saya pikir-pikir juga.”

Lewat statementnya itu, JK seolah ingin menyampaikan, dia pasti akan maju sebagai capres jika ada yang mendukungnya. Jika betul demikian, ini tentu akan mengobati kerinduan dan menerbitkan harapan mereka, para penggemar dan pendukung JK. Namun, pertanyaannya kemudian, bagaimana peluang JK untuk menang jika maju sebagai capres? Apakah masih sama kecilnya seperti Pilpres 2009 lalu? Ataukah kini lebih besar menyusul kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan SBY-Boediono dan Partai Demokrat yang tengah dirundung prahara korupsi?

Pertanyaaan-pertanyaan di atas memang belum bisa dijawab dengan pasti untuk saat ini. Namun, hasil jajak pendapat sejumlah lembaga survei beberapa waktu lalu mengindikasikan bahwa kans atau peluang JK untuk menang cukup terbuka. Meskipun, masih terlalu dini untukmenyimpulkan bahwa apa yang dipotret oleh sejumlah hasil survei tersebut telah mewakili preferensi seluruh rakyat Indonesia pada Pilpres 2014 mendatang.

Hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas tahun lalu, misalnya, menunjukkan, separuh lebih responden (52,6 persen) menilai JK layak dipilih sebagai presiden, bahkan 6 persen diantaranya menilai sangat layak (Kompas, 15/08/2011).

Presiden harus orang Jawa
Tanpa ada maksud menyinggung perasaan mereka yang berasal dari Suku Jawa, ungkapan atau stereotip bahwa presiden negeri ini harus orang Jawa nampaknya masih menjadi batu sandungan bagi JK, yang orang Sulawesi, untuk memenangkan pertarungan jika jadi maju sebagai capres.

Tidak bisa dimungkiri, sebagian besar pemilih kita, yang notabene berasal dari Suku Jawa, masih terjebak pada semangat primordialisme seperti ini. Kecuali, mereka semakin cerdas dan telah belajar—dari Pilpres 2009 lalu— bahwa memilih presiden bukan karena kesamaan suku, tetapi karena kemampuannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah melilit bangsa dan negara ini. Sekali lagi, tak ada sama sekali maksud saya untuk menyudutkan teman-teman dari Suku Jawa yang secara kualitas dan kuantitas amat menentukan nasib bangsa ini.

Semoga majunya JK sebagai capres di 2014 nanti bukan wacana politik belaka. Pasalnya, bangsa ini tengah butuh tokoh nasional sekelas beliau.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga