Dalam tulisannya yang bertajuk “Absurditas Ekonomi Nasional” di Koran Kompas beberapa waktu lalu (18/1), Ahmad Erani Yustika (AEY) menyatakan bahwa pasca reformasi 1998 ekonomi Indonesia telah memunculkan kenyataan ganjil, yakni kinerja ekonomi nasional yang selalu dipuji oleh pihak luar negeri dan berbagai lembaga internasional kenyataannya tidak mendapat apresiasi dari publik di dalam negeri.
Kinerja ekonomi negeri ini semakin membaik belakangan ini memang adalah fakta. Terindikasi dan dikuatkan oleh sejumlah indikator makro, misalnya, pertumbuhan ekonomi yang kini telah menembus angka 6 persen, inflasi yang terkendali, pasar modal yang bergairah bahkan salah satu yang terbaik di Asia, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus mengecil, dan iklim investasi yang kian membaik.
Lalu mengapa membaiknya kinerja ekonomi, yang terindikasi melalui indikator-indikator di atas, miskin tepuk tangan atau apresiasi dari publik dalam negeri? Lebih lanjut, AEY menyatakan, ini disebabkan karena membaiknya kinerja ekonomi ternyata tidak selaras dengan fakta-fakta keseharian yang dirasakan oleh masyarakat. Dengan lain perkataan, kinerja ekonomi memang terus membaik, tetapi masyarakat merasakan kehidupan ekonomi justru sebaliknya, yakni kian sulit.
Menurut AEY, dalam mengukur kinerja ekonomi, masyarakat menggunakan indikator-indikator yang lebih sederhana yang mereka alami sehari-hari, misalnya, harga pangan pokok, kesempatan pendidikan, keterjangkauan kesehatan, akses transportasi, partisipasi dalam pekerjaan yang layak, dan jaminan keamanan hidup. Ditengarai, dari indikator-indikator sepele ini, rakyat nampaknya tidak merasakan adanya perbaikan, bahkan mungkin merasakan sesuatu yang lebih buruk.
Statistik tak lagi dipercaya
Seiring dengan keganjilan itu, berbagai statistik yang dikeluarkan pemerintah, yang merupakan jastifikasi membaiknya kinerja ekonomi dan kemakmuran negeri ini, pun tak lagi dipercaya. Bahkan, karena sudah sedemikian parahnya ketidakpercayaan itu, tidak sedikit yang menganggap kalau angka-angka statistik itu, misalnya, pertumbuhan ekonomi, penurunan jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran, hanyalah angka-angka semu hasil kebohongan dan rekayasa para statistisi pemerintah untuk menyokong pencitraan pihak penguasa.
Selama ini, publik merasa, angka-angka statistik yang dikeluarkan pemerintah justru bertentangan dengan realitas keseharian yang mereka alami. Soal angka kemiskinan yang dilaporkan terus turun selama beberapa tahun terakhir, misalnya, banyak masyarakat tak percaya.
Tren penurunan jumlah penduduk miskin yang tergambar melalui angka-angka statistik dianggap bertentangan dengan realitas keseharian yang mereka alami, misalnya, terus bertambahnya jumlah pengemis dan gelandangan di kota-kota besar dan semakin maraknya kasus orang bunuh diri karena tak kuat lagi menahan beratnya tekanan ekonomi.
Karena itu, Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga resmi yang diserahi tugas untuk menghitung jumlah orang miskin di negeri ini, acap kali menuai kritik, bahkan menerima tuduhan miring sebagai ‘tukang bohong’ ketika melaporkan bahwa angka kemiskinan mengalami penurunan.
Celakanya, meskipun melaporkan angka kemiskinan mengalami kenaikan, BPS juga tidak selamat dari kritik dan hujatan. Apa yang terjadi di Sulawesi Selatan (Sulsel) baru-baru ini, misalnya, pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) menolak data BPS yang melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Sulsel mengalami kenaikan sepanjang periode Maret-September 2011.
Bahkan, dengan arogannya, Gubernur Sulsel menyatakan bahwa data BPS tidak bisa dipercaya, dan pihak Pemprov memiliki data kemiskinan sendiri yang lebih bisa dipercaya ketimbang data BPS. Nampaknya, terkait naik turunnya angka kemiskinan, posisi BPS ibarat buah simalakama. Naik salah, turun pun salah, tak pernah selamat dari hujatan dan kritik.
Agar tak terus merasa dibohongi
Sikap sebagian masyarakat yang tak lagi percaya dengan data-data statsitik yang dikeluarkan pemerintah memang patut dimaklumi. Pasalnya, mereka yang tak percaya itu, tidak paham: fakta-fakta keseharian yang mereka alami belum tentu merupakan gambaran umum dari realitas populasi—Indonesia, bahwa persepsi dan kesimpulan yang dibangun berdasarkan fakta-fakta keseharian itu tidak—belum tentu— dapat dibandingkan (comparable ) dan dibenturkan dengan angka-angka BPS yang didasarkan pada metodologi ilmiah (survei), yang didesain sedemikian rupa untuk merepresentasikan populasi.
Selain itu, ditengarai, selama ini sebagian masyarakat menganggap BPS tidak pernah terbuka terkait metodologi yang digunakan dalam setiap survei yang dilakukannya. Ada kesan, seolah-olah masyarakat dipaksa menerima begitu saja bahwa data-data yang disodorkan BPS telah didasarkan pada metodologi ilmiah, tanpa bisa melakukan verifikasi silang (cross verifiy) terkait validitas dan keterandalan metodologi yang digunakan.
Ini tentu tidak betul karena kenyataan selama ini BPS sudah amat terbuka dan jelas dalam mensosialisasikan metode yang digunakan dalam setiap survei. Kalaupun ada kesan bahwa selama ini BPS tidak terbuka soal metodologi yang digunakan, itu karena orang tidak mau tahu atau malas mencari tahu.
Celakanya, hal ini seringkali diperparah dengan adanya bias interpretasi ketika membaca dan menganalisis data-data BPS. Lebih celakanya lagi, kesalahan dalam memaknai angka-angka BPS itu juga acapkali terjadi di kalangan mereka yang opini dan suaranya didengar secara luas oleh publik, misalnya, para tokoh agama dan tokoh politik.
Tentu masih segar dalam ingatan kita, ketika sekelompok tokoh negeri ini yang menyebut diri mereka sebagai Tokoh Lintas Agama menuduh pemerintah telah berbohong soal data kemiskinan beberapa waktu yang lalu. Oleh mereka, pemerintah dianggap berbohong karena data jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 yang mencapai 31,02 juta orang tidak konsisten dengan data jumlah penduduk penerima beras miskin (raskin) yang jumlahnya mencapai 70 juta orang. Tuduhan ini sebenarnya muncul karena ketidakpahaman mereka ketika menggunakan data-data BPS sehingga timbul kesan bahwa seolah-olah terdapat dua angka kemiskinan yang berbeda.
Padahal, sebenarnya tidaklah demikian. Data jumlah penduduk penerima raskin tidak hanya mencakup penduduk miskin, tetapi juga penduduk hampir miskin. Berdasarkan hasil pendataan BPS pada survei Pendataan Program perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008, jumlah rumah tangga sasaran (RTS) yang layak menerima raskin mencapai 17,5 juta rumah tangga. RTS mencakup rumah tangga miskin dan hampir miskin sehingga dengan asumsi kasar bahwa setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, maka ada sekitar 70 juta orang yang akan menerima raskin.
Hal ini menunjukkan pentingnya kehati-hatian dalam membaca dan menganalisis data-data BPS sehingga tidak terjadi bias interpretasi dan kesalahan dalam memaknai angka. Dengan kehati-hatian itu pula, akan menjadi jelas bagi para pengguna data apakah angka-angka yang dilaporkan BPS itu sebuah kebohongan atau kebenaran. (*)
Komentar
Posting Komentar