Langsung ke konten utama

Mengapa Banyak ‘Ikan’ Bermunculan di Senayan?


Belakangan ini, semakin banyak saja spesies ikan yang muncul di senayan sana. Ada ikan salmon (intelektual kagetan asal ngomong), ikan teri asin (intelektual kagetan teriak sana-sini), dan juga ikan piranha (pikiran dan pembicaraan suka berbeda). Uniknya, ikan-ikan ini saling serang dengan berbagai statement yang saling mendiskreditkan satu-satu sama lain. Maka, terjadilah yang namanya kegaduhan politik. Sesuatu yang sebetulnya sama sekali tidak produktif dan menunjukkan rendahnya kualitas mereka sebagai legislator.

Sejatinya, mereka yang katanya terhormat itu dipilih oleh rakyat bukan untuk menjadi ikan yang saling serang. Terlebih lagi mereka dipilih melalui proses demokrasi─pemilu─yang menelan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, mereka, yang kebanyakan malas itu, juga digaji dengan gaji yang tidak sedikit serta mendapat fasilitas yang super lux. Idealnya, ini semua berkorelasi positif dengan kinerja mereka dalam menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan dari lembaga yang merupakan representasi kekuasaan rakyat dalam negara, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kita, sebagai rakyat yang diwakili oleh mereka, tentu amat berharap banyak atas kinerja para anggota dewan itu. Tapi apa mau dikata, mereka nampaknya lebih senang menjadi ‘ikan’ yang saling serang ketimbang memikirkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Mereka lebih memilih menjadi ikan untuk kepentingan partai dan golongannya masing-masing.

Sebetulnya, kegaduhan politik semacam ini juga sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya. Dan, menariknya, orangnya itu-itu juga. Saya kira, tidak salah kalau kita menyimpulkan, hal ini merupakan bukti bahwa proses demokrasi kita─pemilu─belum mampu menghasilkan legislator atau wakil rakyat yang berkualitas, yang bisa menyenangkan hati rakyat, bukan membuat rakyat terluka dan sesekali tertawa dengan kegaduhan politik yang mereka buat.

Representasi pemilih tak berkualitas
Tentu ada banyak hal yang bisa menjadi sebab kenapa kualitas atau kinerja wakil rakyat yang ada saat ini mengecewakan. Sebagai lembaga politik, partai mungkin patut disalahkan karena gagal mencetak kader-kader yang berkualitas. Ada kecenderungan, mereka yang diusung oleh partai-partai politik sebagai caleg dalam pemilu legislatif adalah politisi karbitan, miskin kualifikasi, hanya karena bermodal─punya banyak uang, serta cuma sebagai pengumpul suara karena dia seorang artis, misalnya. Karenanya, kita sebagai rakyat tidak punya banyak pilihan, yang disodorkan kepada kita adalah orang-orang yang tidak berkualitas.

Faktor pemilih yang asal pilih juga mungkin menjadi sebab. Dengan kondisi pemilih kita yang sebagian besar tidak terdidik, para colon legislator yang tidak berkualitas dan tak punya kredibilitas mendapat angin untuk terpilih. Sederhana saja, mereka yang tidak terididik akan mudah dibodoh-bodohi, ditipu, dan bohongi dengan segala rupa janji politik. Ditambah lagi, preferensi mereka ketika memilih asal saja─siapa yang memberi duit lebih itu yang dipilih─bukan didasarkan pada pertimbangan mengenai kualitas dan kredibilitas calon yang akan dipilih. Selain itu, mereka juga memiliki keterbatasan akses informasi mengenai calon yang akan dipilih. Singkat kata, mereka mimilih kucing dalam karung, tanpa disertai keyakinan apakah yang di dalam karung itu benar-benar kucing atau ikan seperti yang banyak bermunculan di senayan sana sekarang.

Jika kita menengok data, fakta yang ada memang menunjukkan bahwa kualitas pemilih (voter) kita masih rendah. Hasil Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 (SP2010) menunjukkan, sekitar 49,23 persen penduduk berusia 16 tahun ke atas tinggal di perdesaan. Dan, mudah untuk diduga, sebagian besar mereka memiliki keterbatasan akses informasi mengenai sepak terjang calon wakil rakyat yang akan mereka pulih.

Selain itu, data SP2010 juga menunjukkan, sekitar 68,60 persen penduduk kita yang berusia 16 tahun ke atas ternyata hanya menamatkan pendidikan maksimal Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Hanya sebagian kecil yang menamatkan pendidikan tinggi:  Diploma I/II sebesar 0,96 persen, Diploma III sebesar 1,5 persen, Diploma IV/sarjana sebesar 4,04 persen, S2/S3 sebesar 0.31 persen. Dengan tingkat pendidikan yang rendah seperti ini, tentu sulit mengharapkan mereka memiliki kedewasaan dan kecerdasan dalam menentukan pilihan politik. Dan, ini merupakan konsekwensi dari sebuah proses demokrasi  di tengah kondisi rendahnya kualitas sumberdaya manusia negeri ini.

Singkat kata, menurut saya, kombinasi antara rendahnya kualitas calon wakil rakyat dan kualitas para pemilihnya merupakan faktor utama yang menjadi penyebab kenapa makin banyak ‘spesies ikan’ yang bermunculan di senayan sana saat ini. Untuk itu, marilah menjadi pemilih yang cerdas.
*****
Data-data dari BPS (Sensus Penduduk 2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga