Langsung ke konten utama

Mengapa Bangsa Ini Seolah Semakin Biadab?


Kecelakaan mobil ‘Xenia Maut’ yang menewaskan sembilan orang pejalan kaki baru-baru ini kian menambah catatan kelam tewasnya anak bangsa secara sia-sia. Tragisnya, sebagian besar mereka yang tewas itu berusia muda, bahkan sangat muda.

Hal yang membuat kita tak habis pikir, sang pengemudi ternyata hanya dituntut 6 tahun penjara atas kelalainnya yang berujung pada hilangnya sembilan nyawa tak berdosa itu. Ini tentu mengiris-ngiris rasa keadilan. Orang yang awam, bahkan buta tentang hukum pidana pun—dengan nuraninya—tentu bisa merasakan bahwa tuntutan 6 tahun penjara itu betul-betul menginjak-nginjak rasa keadilan. Dan, pastinya, ini semakin menguatkan persepsi yang telah terbangun sebelumnya: nyawa manusia di negari ini kian hari, kian tak berharga.

Hal yang juga membuat miris adalah sikap sang pengemudi yang seolah tak merasa bersalah atas kelalaiannya. Seolah nurani dan rasa sosialnya telah mati. Dan, kita patut khawatir, jangan-jangan ini merupakan potret umum kita sebagai bangsa. Jangan-jangan, masih banyak—mungkin puluhan juta—anak bangsa ini yang juga serupa dengan sang pengemudi Xenia Maut itu, yang tinggal menunggu waktu untuk membunuh—secara langsung maupun tidak langsung—manusia yang lain. Bukan hanya satu, tetapi berbilang.

Berbagai kasus pencurian, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan yang kian marak meramaikan pemberitaan media masa belakangan ini nampaknya merupakan indikasi bahwa kebiadaban (uncivilized  dan kekejaman) kian menjadi-jadi di negeri ini. Celakanya, kita tengah hidup di lingkungan itu. Lingkungan yang penuh kebiadaban. Dan, tidak menutup kemungkinan, suatu saat, kita akan menjadi korbannya.

Bukan hanya fenomena kaum urban
Ternyata, kebiadaban yang terindikasi melalui kasus-kasus pencurian, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan yang kian marak diberitakan di berbagai media bukan hanya merupakan fenomena kaum urban. Ternyata, kebiadaban itu telah merambah hingga ke desa-desa dengan spektrum yang luas dan masif.

Hasil Pendataan Potensi Desa pada tahun 2008 (Podes 2008) mengungkap hal ini. Dari pendataan itu terungkap fakta: dari 75.378 desa/kelurahan di Indonesia, 33.683 desa ternyata mengalami tindak kejahatan pencurian, 2.617 desa mengalami perampokan, 1.844 desa mengalamai kejadian pembunuhan, dan 2.199 desa mengalami kejadian pemerkosaan (BPS, 2009).

Sunggah statistik yang mengerikan. Ini adalah kondisi pada tahun 2008. Bagaimana dengan kondisi sekarang? Belum ada statistik terbaru yang didiseminisi oleh BPS terkait hal ini. Namun, nampaknya begitu mudah bagi kita untuk menengarai: kondisinya sama saja atau bahkan lebih buruk.

Kebiadaban yang lebih berbahaya
Ditengarai, pemicu utama dari kebiadaban yang tergambar melalui angka-angka di atas adalah tekanan hidup—dari sisi ekonomi—yang kian berat. Dengan lain perkataan, kemiskinan adalah sumbu masalahnya. Pelaku berbagai tindakan kriminal, umumnya, adalah mereka yang tergolong dalam transient poverty, yakni mereka dengan kondisi ekonomi keluarga di sekitar garis kemiskinan, bukan mereka yang termasuk miskin kronik (chronic poverty). Mereka adalah kelompok yang paling rentan mengalami tekanan kejiwaan. 

Sayangnya, sejak republik ini berdiri hingga kini, daerah perdesaan tetap saja menjadi kantong kemiskinan. Saat ini, sekitar 64 persen penduduk miskin ada di desa (BPS,2011). Data kemiskinan yang baru saja dirilis BPS menunjukkan, sepanjang periode Maret-September 2011 penduduk miskin di perdesaan hanya berkurang sebesar 30.000 ribu orang atau sekitar 0,13 persen dari total penduduk perdesaan (BPS,2012). Indikasi gagalnya pemerintah dalam melakukan akselerasi pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan. Padahal, puluhan triliun anggaran negara telah digelontorkan untuk itu, untuk segala rupa program pengentasan kemiskinan yang berlapis-lapis dan bertubi-tubi.

Berbeda dengan penduduk yang tergolong transiet poverty, penduduk yang tergolong chronic poverty alih-alih menjadi pelaku tindakan kriminal, mereka justru menjadi korban kebiadaban. Mereka menjadi korban kebiadaban para elite panguasa yang merampok duit negeri ini lewat korupsi. Korupsilah yang membuat mereka memiliki tingkat kapabilitas—tingkat kesehatan, pendidikan, dan daya beli—yang rendah, yang berujung pada ‘terbunuhnya’ mereka karena kualitas kesehatan yang buruk, tak punya uang untuk berobat, serta kelaparan dan kurang gizi. Korupsilah yang membuat mereka telah kehabisan air mata untuk menangisi peliknya hidup. Korupsilah yang menjadikan mereka begitu pesimis dalam melihat hidup sehingga telah kehilangan asa untuk keluar dari jerat kemiskinan yang membelit, yang berujung pada keputusan untuk gantung diri karena tak kuat lagi menghadapi beratnya tekanan hidup.

Itulah sebab korupsi ditetapkan sebagai extra ordinary crime oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia sejatinya adalah genosida yang dilakukan oleh para elite penguasa. Sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) karena telah membunuh—secara tidak langsung—penduduk miskin dan merampok hak-hak mereka (corruption is stealing from the poor). Korupsi adalah sebuah kebiadaban yang lebih berbahaya yang dilakukan oleh kaum beradab karena ekses bahayanya sangat luas dan masif.

Karenanya, para koruptor, begitu pula sang pengemudi  Xenia Maut itu, harus mendapat hukuman yang berat. Hukuman yang setimpal. Karena mereka telah membuat banyak nyawa tak berdosa melayang. Dan, hukuman seorang pencuri sandal sama sekali tidak pantas buat mereka.

Data-data dari BPS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga