Langsung ke konten utama

Belajar dari Dua Saudagar: Jusuf Kalla dan Dahlan Iskan


Kita adalah bangsa komunal yang patrilinear. Karenanya, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita selalu butuh figur yang bisa menjadi panutan (role model) untuk ditiru dan diteladani, yang bisa menginspirasi dan memotivasi. Di kancah nasional, figur seperti itu semakin langka dan kian sulit dijumpai.

Kalau dulu kita punya banyak negarawan seperti  Bung Karno dan Bung Hatta, serta tokoh-tokoh perjuangan lainnya yang bisa dijadikan panutan, ditiru, dan diteladani, saat ini kita mengalami krisis tokoh yang bisa dianggap sebagai negarawan. Para elite dan pemimpin kita kebanyakan tidak bisa lagi jadi panutan. Rakyat sudah bosan dengan berbagai kebohongan, korupsi, hukum yang tidak berpihak dan hanya garang untuk rakyat kecil, serta segala hal menyangkut ketidakbecusan mereka dalam mengurus negeri ini. Tidak heran kalau belakangan ini muncul wacana bahwa negara sedang dalam kondisi auto pilot.

Tentu tidak semua elite dan pemimpin di negeri ini tak dapat dijadikan panutan. Di kancah nasional, kita masih punya sejumlah tokoh yang bisa menjadi panutan dan menginspirasi. Jumlahnya mungkin sedikit. Dan di antara yang sedikit itu, saya melihat sosok Jusuf Kalla dan Dahlan Iskan, sebagai tokoh yang bisa dijadikan panutan dan menginspirasi. Menurut saya, ada banyak hal yang bisa ditiru dan diteladani dari kedua tokoh ini. Dan tulisan ini hadir untuk mengulas beberapa diantaranya.

Saudagar yang punya seribu akal dan terobosan
Baik Jusuf Kalla maupun Dahlan Iskan, keduanya memiliki latar belakang yang sama. Yakni, sama-sama saudagar dan pebisnis sukses. Jusuf Kalla sukses dengan bisnis mobilnya, hingga menguasai pangsa penjualan mobil di Indonesia Timur. Sementara Dahlan Iskan sukses dengan bisnis korannya, hingga menjadi Presiden Direktur Jawa Pos Group.

Kata saudagar berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya banyak akal. Karenanya, kesuksesan keduanya sebagai saudagar merupakan bukti kalau keduanya punya seribu akal dan terobosan dalam menjelankan bisnis. Seperti kata Jusuf Kalla, keduanya punya logika dan common sense, modal penting yang menjadikan mereka bisa hadir sebagai problem solver ketika diamanahi sebagai pemimpin.

Ini telah ditunjukkan Jusuf Kalla saat menjadi wakil presiden, khususnya dalam hal penyelesaian konflik Aceh yang fenomenal itu. Menurut Dahlan Iskan, penyelesaiaan konflik Aceh merupakan bukti kecemerlangan seorang Jusuf Kalla, yang punya logika, terobosan, dan banyak akal. Menurut dia, dalam hal penyelesaiaan konflik Aceh, sebagai tokoh yang memiliki latar belakang bisnis, Jusuf Kalla tahu betul efektivitas berunding langsung dengan para tokoh GAM di Helsinki, Finlandia, ketimbang lewat calo.

Hal ini juga sedang ditunjukkan oleh Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN saat ini. Dan telah ditunjukkannya pula ketika menjadi Dirut PLN dengan menyelesaikan krisis listrik di sejumlah daerah. Menurut Jusuf Kalla, walaupun bukan ahli listrik, Dahlan Iskan mampu memimpin PLN dengan sangat baik lewat sejumlah terobosannya, tentunya dengan menggunakan logika dan common sense yang dimilikinya.

Singkat kata, kedua tokoh ini memandang jabatan yang diembannya sebagai ladang untuk bekerja dan membaktikan diri kepada bangsa dan negara, dengan mempersembahkan yang terbaik lewat kerja maksimal. Keduanya hadir sebagai problem solver dan kaya akan terobosan-terobasan, tidak hanya diam menikmati jabatan yang mereka emban. Keduanya tahu betul bagaimana menjadi pimimpin yang patut untuk dikenang karena jasa-jasanya.

Saudagar yang punya ketegasan dan kecepatan
Sebagai saudagar, keduanya juga punya ketegasan dan kecepatan. Soal ketegasan dan kecepatan, Jusuf Kalla tidak usah dipertanyakan lagi, kita semua tahu akan hal itu. Begitupula dengan Dahlan Iskan. Terlalu banyak kisah yang bisa kita sadur untuk menunjukkan ketegasan dan kecepatan keduanya sebagai pemimpin.

Keduanya juga adalah sosok yang teguh dalam memegang pendirian. Ini ditunjukkan oleh Jusuf Kalla ketika bersedia didaulat sebagai duta pemenangan Komodo dalam ajang pemilihan The New 7 Wonders of Nature yang kontroversial itu. Meskipun dicibir oleh banyak kalangan, bahkan sempat menjadikannya berselisih pendapat dengan Duta Besar Indonesia di Swiss. Jusuf Kalla tak mundur, dia malah semakin gencar menyerukan pentingnya dukungan untuk pemenangan Pulau Komodo. Dengan naluri bisnisnya, dia tahu betul keuntungan─efek pengganda ekonomi─ apa yang bakal di terima Indonesia, khususnya masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur jika Pulau Komodo keluar sebagai pemenang. Dan hasilnya bisa kita lihat sendiri, Pulau Komodo akhirnya bisa keluar sebagai pemenang.

Dengan latar belakang pebisnis, keduanya tahu betul melihat momentum. Keduanya cepat, tetapi bukan asal cepat-cepatan. Semuanya didasarkan pada kalkulasi yang cermat serta pertimbangan yang matang. Pengalaman bisnis menjadikan keduanya lebih pragmatis dalam melihat untung dan rugi. Tidak neko-neko. Tidak terjebak pada emosi, tetapi lebih mengedepankan logika dan common sense.

Ini tergambar jelas ketika Dahlan Iskan menyikapi fenomena mobil Esemka yang merepukan representasi kerinduan masyarakat akan hadirnya mobil nasional, seperti halnya di Malaysia sana dengan mobil Proton-nya. Dahlan Iskan tidak mau terjebak pada semangat nasionalisme semata. Bagi dia, kehadiran mobil nasional harus menguntangkan secara eknomi buat negara. Bukan malah membebani keuangan negara dengan segala rupa macam pembiyaan dan subsidi. Apa gunanya memiliki mobil nasional, kalau dalam proses produksinya dibiayai oleh negara dengan dalih nasionalisme.

Selain yang diulas di atas, tentu masih banyak lagi hal bisa kita teladani dari kedua tokoh ini. Pada prinsipnya, semua keteladanan yang mereka tunjukkan mereka bukti kalau keduanya layak dijadikan sebagai panutan (role model) buat negeri ini, yang tengah mengalami krisis kelangkaan elita dan pemimpin yang bisa diajadikan panutan, diteladani, ditiru, dan menginspirasi.
*****
Sumber tulisan: (1) Dua Tangis dan Ribuan Tawa (buku); (2) Berbekal Seribu Akal Pemerintahan Dengan Logika (buku)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga