Saya mengenal sosok Dahlan Iskan (DIS) untuk pertama kalinya sekitar empat tahun yang lalu, dari sebuah tulisan di halaman pertama koran lokal di kampung saya yang terafiliasi dengan Group Jawa Pos. Tulisan itu mengisahkan pengalaman dan perjuangan Pak DIS jatuh bangun sebagai seorang wartawan, membesarkan Jawa Pos hingga menjadi Group Jawa Pos seperti sekarang ini, serta usaha kerasnya berjuang melawan kanker hati yang dideritanya selama puluhan tahun hingga menjalani operasi transplantasi hati di “Negara Tirai Bambu”.
Tulisan berseri itu menurut saya sangat menarik,penuh inspirasi ,dan tentu saja memotivasi. Dan saat itu juga saya langsung jatuh hati pada mantan Dirut PLN yang kini tengah naik daun sebagai Menteri BUMN itu. Lewat seri tulisannya itu Pak DIS memberi sebuah palajaran berharga buat saya bahwa yang namanya kesuksesan bukanlah sesuatu yang diwariskan, dia diusahakan. Buah dari kerja keras tak kenal lelah.
Dari seri tulisan itu juga saya jadi tahu bahwa pria asal Jawa Timur, entrepreneur media sukses yang dijuluki ‘raja koran’ itu terlahir dari keluarga dengan riwayat penyakit Hepatitis B yang berujung pada kanker hati. Ibunya dan sebagian besar saudaranya mengidap dan meninggal karena penyakit ini. Bahkan, Pak DIS sendiri diramalkan tidak akan berumur lebih dari 35 tahun.
Tetapi takdir Tuhan kenyataannya berkata lain. Hingga kini, Pak DIS masih sehat wal afiat. Ini tentu merupakan rahmat buat negeri ini. Karena tokoh seperti beliau tentu amat berharga buat negara ini yang tengah dikepung berbagai masalah hampir di segala lini. Saya berdoa semoga Pak DIS panjang umur sehingga bisa terus membaktikan dirinya kepada bangsa dan negeri ini dengan kerja dan terobosan-terobosannya.
Satu lagi yang saya tahu dari sosok Pak DIS lewat tulisan itu adalah kebiasaan eksentriknya, yakni selalu mengenakan sepatu kets. Konon katanya kebiasaan itu tetap dijalaninya hingga kini, meskipun telah menjadi seorang menteri alias pejabat negara, saat forum-forum resmi dengan presiden pun sepatu kets tetap dikenakannya. Menurut saya, kebiasaan eksentrik ini merupakan simbol kalau beliau adalah pribadi yang supel, dan tentu saja lincah. Berpadu padan dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos itu.
*****
Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai kemiripin sosok Pak DIS dan Mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, yang kerap disapa JK itu. Tulisan ini tidak bermaksud membanding-bandingkan keduanya. Apalagi sampai terlalu jauh menentukan mana yang terbaik satu sama lain di antara keduanya. Mana yang terbaik di antara keduanya, atau keduanya sama saja biarlah Anda yang menilai dengan standar masing-masing. Menurut saya, keduanya spesial dengan keistimewaannya masing-masing.
Kemeja putih
Kalau dilihat-lihat, salah satu kemiripan sosok Pak DIS dan JK yang kasat mata adalah cara berpakaian keduanya yang sering mengenakan kemeja putih dengan lengan yang sedikit digulung saat dinas. Anda tentu sepakat dengan saya kalau gaya dan preferensi berpakaian seseorang merepresentasikan banyak hal tentang orang itu. Setidaknya mencerminkan kepribadian dan gaya kepemimpinannya—jika dia seorang pemimpin tentunya.
Menurut saya, kemeja putih dengan lengan yang sedikit digulung ke atas adalah pertanda kalau keduanya memiliki tipe yang kurang lebih sama, yakni pekerja. Keduanya adalah problem solver yang senantiasa fokus pada penyelesaiaan masalah. Tak peduli pada yang namanya pencitraan. Bagi keduanya, kinerja seseorang tidak hanya dinilai pada kecakapannya berpidato, membuat rencana dan memberi instruksi, tetapi juga dengan turun langsung ke lapangan, menyambangi anak buah untuk berdiskusi langsung dengan mereka tentang progress dan kendala yang dihadapi. Ini telah ditunjukkan JK saat menjadi wapres, begitupula Pak DIS saat menjadi Dirut PLN—silahkan baca kumpulan CEO notes Pak DIS selama menjadi Dirut PLN yang terangkum dalam sebuah buka berjudul “Dua Tangis dan Ribuan Tawa”.
Singkat kata, sebagai pemimpin keduanya tidak hanya visioner yang pandai merumuskan visi, tetapi juga memiliki kemampuan dalam menerjemahkan visi tersebut menjadi realita. Dan ini adalah tipikal seorang pemimpin sejati sebagaimana yang pernah dinyatakan Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina itu.
Kemeja putih itu juga menunjukkan kalau keduanya adalah pribadi yang bersahaja. Dan lebih dari itu, juga menunjukkan kalau keduanya yang sama-sama memiliki background sebagai seorangentrepreneur itu, tak begitu peduli, tak kaku dan terikat pada segala rupa formalitas birokrasi, serimonial yang terkadang malah membatasi.
Keduanya berorientasi pada hasil maksimal melalui proses yang efisien, yang tak mau dipusingkan dengan segala hal yang sebetulnya tidak begitu perlu, bahkan tidak perlu. Ini telah ditunjukkan oleh Pak DIS saat menjadi Dirut PLN yang tak suka kalau disambut secara berlebihan saat berkunjung ke suatu daerah dalam rangka tugas, bahkan tidak jarang beliau malah datang secara sembunyi-sembunyi untuk memberi kejutan kepada para awak PLN di daerah.
Dan yang teranyar telah ditunjukkan oleh Pak DIS saat datang dengan naik ojek ke Istana Bogor untuk mengikuti Rapat Kabinet dengan presiden. Ini sebuah keganjilan dari umumnya pejabat negara di negeri yang dikepung sejuta masalah ini, yang begitu terobsesi dengan segala bentuk penghormatan yang terkadang berlebihan. Yang terpenting buat Pak DIS adalah sampai ke Istana Bogor tepat waktu, tak penting apa kendaraannya. Naik ojek pun tak menjadi soal baginya.
Soal seni, keduanya juga setali tiga uang. Keduanya tak begitu pandai bernyanyi, apalagi mencipta lagu dan membuat album. Yang saya tahu, Pak DIS hanya jago menyanyikan lagu gundul-gundul pacul. JK apalagi, sepertinya beliau hanya hafal satu lagu—selain Indonesia Raya tentunya—yakni Senja di Kaimana. Begitupula dalam hal selera—makan—keduanya sangat Indonesia. Pak DIS doyan pada masakan khas Jawa Timur semisal rawon dan lainnya. Pak JK juga begitu, doyan pada masakan khas Sulawesi Selatan semisal ikan bakar dan lainnya.
Inilih beberapa hal yang menurut penulis merupakan kemiripan antara sosok Pak DIS dan JK. Jika ditelusur tentu masih banyak lagi. Dan tentu saja tulisan ini merupakan pendapat pribadi. Jika Anda tidak setuju silahkan menyanggahnya.
Sumber tulisan: Dua Tangis dan Ribuan Tawa (Dahlan Iskan, Buku)
Komentar
Posting Komentar