Langsung ke konten utama

Mencakar di Udara

“Orang yang terlahir dengan bakat matematik yang baik pasti akan menjadi orang—yang berhasil”. Demikian statement seorang kawan yang dikarunia Tuhan bakat matematik—yang menurut saya—mengagumkan. Statement ini mungkin masih perlu diperdebatkan sebagai “general truth”, theorema, atau aksioma kehidupan. Dan pastinya mungkin tidak berlaku pada setiap orang. Tetapi setidaknya, pengalaman hidup saya menunjukkan statement ini terbukti benar.

Saat SMA dulu, sekolah saya pernah mendapat kehormatan sebagai tuan rumah perhelatan sebuah ajang kompetisi yang mempertemukan murid-murid SMA se-Sultra (Sulawesi Tenggara) berotak encer. Ajang tersebut bertajuk “Lomba Cepat-Tepat Fismat (Fisika, Matematika, dan Kimia)”. Anda tentu bisa membayangkan betapa hebatnya para peserta lomba. Beradu cepat mungkin hal yang biasa, tetapi tidak biasa dalam hal menyelesaikan segala rupa soal-soal Fisika, Matematika, dan Kimia—ilmu yang menyulitkan dan memusingkan bagi banyak orang. Yang tercepat dan menjadi pemenang pastilah betul-betul berotak encer.

Lomba tersebut dihelat selama seminggu penuh, mirip sebuah turnamen sepak bola di kelurahan. Ada babak penyisihan, perdelapan final, semi final, dan babak final yang hanya menyisakan tiga tim terbaik. Masing-masing tim terdiri dari tiga orang, mirip acara cerdas-cermat di TVRI . Saya tidak lagi begitu mengingat persis berapa jumlah tim peserta yang ikut berkompetasi kala itu. Tapi yang pastinya, semua sekolah SMA terbaik seantero Sultra ikut berpartisipasi mengirimkan tim terbaiknya untuk beradu pintar.

Selama berlangsungnya lomba, ada satu nama peserta yang begitu ramai dipergunjingkan di kalangan para siswa dan juga para guru. Peserta ini menjadi buah bibir karena kecepatannya dalam melahap berbagai soal-soal Fisika, Matematika, dan Kimia. Dan ajaibnya, itu dilakukannya tanpa bantuan sebuah pena dan secarik kertas untuk keperluan coret-coretan, hanya sebuah jari telunjuk yang digerak-gerakkan di udara. Teman-teman saya kala itu mengatakan, peserta yang hebat nian itu ‘mencakar di udara’.

Saya yang pada awalnya tidak begitu tertarik dengan jalannya lomba, betul-betul dibuat penasaran untuk mengetahui dan melihat langsung peserta yang hebat nian itu. Apakah memang Dia sehebat itu? Dan karena rasa penasaran dan keingintahuan itu pulalah saya akhirnya memutuskan untuk menyaksikan langsung babak final yang mempertemukan tiga tim terbaik dan tercepat dalam hal hitung menghitung itu.

Seingat saya, babak Final mempertemukan tiga tim yang berasal dari tiga sekolah yang berbeda, yakni SMA 1 Kendari, SMA 2 Kendari, dan satunya lagi saya tidak begitu ingat persis, kalau tidak salah sepertinya sebuah sekolah milik Perusahaan Aneka Tambang (PT Antam) di Kolaka.

Saat lomba akan dimulai, saya yang dihinggapi rasa penasaran segera mencari tahu peserta lomba yang telah menjadi buah bibir karena kehebatannya mencakar di udara itu. Dan ketika seorang kawan menunjukkan kepada saya orangnya, jujur saya sedikit tak percaya. Betapa tidak. Orang yang saya saksikan adalah seorang anak berkulit gelap, kurus seperti kurang gizi, tampak lusuh dan sedikit kumal. Jauh dari bayangan saya sebelumnya, yakni seorang anak berkulit putih bersih, rambut klimis berbelah samping mirip Pak Beye atau Pak Budiono, berkacamata dengan dasi kupu-kupu seperti para siswa SMA Don Bosco atau SMA Penabur yang saban hari saya lihat dalam perjalanan menuju BPS. Kondisi fisiknya yang begitu bersahaja merupakan variabel/indikator kemiskinan kasat mata, yang dengannya siapa pun dengan mudah bisa menerka, tak mungkin meleset, kalau dia orang susah dan pastinya berasal dari keluarga tak mampu—sama seperti saya.

Selain anak yang hebat mencakar di udara itu, ada satu lagi peserta yang juga menjadi buah bibir. Namanya Dirga. Dia adalah icon di sekolahnya, SMA 1 Kendari. Dirga yang berasal dari Jawa dan anak seorang pejabat Departemen Keuangan di Kota Kendari berkulit bersih dan sedikit tambun. Indikator kasat mata kalau dia memiliki quality of live yang sangat baik. Dan pastinya, Dirga, yang berkacamata dengan sisiran rambut mirip Budiono itu, jauh di atas garis kemiskinan BPS yang sering diributkan oleh orang-orang yang sok tahu dan sok pintar itu, yang menurut persepsi keliru mereka hanya cocok untuk mengukur kesejahteraan “ si bleki”.

Kita sering tertipu dalam menyimpulkan sesuatu ketika hanya mendasarkan kesimpulan tersebut pada sejumlah variabel kasat mata. Contohnya, tidak semua mereka yang rupawan dan lemah lembut itu protagonis dalam kehidupan ini sebagaimana yang disuguhkan sinetron-sinetron negeri ini yang ceritanya tak berujung itu. Dalam kehidupan nyata, tidak sedikit di antara mereka justru adalah antagonis dengan nurani yang tipis, bahkan pisikopat.

Saya yang sempat underestimate dengan penampilan fisik peserta yang digadang-gadang memiliki kecepatan dan kehebatan mencakar di udara itu ternyata pun tertipu. Selama berlangsungnya babak final, saya begitu terpana dan terkesima dengan bakat matematik yang mengagumkan dari seorang anak dengan penampilan fisik yang jauh dari meyakinkan, udik alias ndeso itu.

Apa yang dipergunjingkan tentang kehebatannya ‘mencakar di udara’ memang kenyataan dan bukan kabar angin, dan dia ternyata lebih hebat dari apa yang selama ini diperbincangkan. Soal demi soal yang hampir semuanya hitungan, entah itu trigonometri, persamaan kuadrat, logaritma, turunan dan integral, mekanika, konsep molar, dan segala rupa soal-soal berbau Fismat lainnya dibabat habis olehnya dengan cara yang unik, tanpa sebuah pena dan secarik kertas, hanya sebuah jari telunjuk dari sebuah lengan kurus berkulit gelap yang digerak-gerakkan di udara. Dia benar-benar mencakar di udara.

Anak bertampang orang susah itu akhirnya berhasil mengantarkan sekolahnya yang kurang terkenal dan terletak di pinggiran Kota Kendari itu menjadi kampium. Dengan cara yang mengagumkan, yang membuatnya selalu dikenang. Dia pun menjadi bintang dalam lomba cepat-tepat itu, dan kisahnya yang begitu fenomenal selalu diulang berkali-kali hingga kini di depan kelas oleh para guru Matematika di sekolahnya, SMA 2 Kendari,  sebagai penyemangat bagi siswa yang malas belajar Matematika..... (Bersambung).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga