Langsung ke konten utama

Catatan Akhir Tahun: Ironi Si Miskin dan Kembang Api


Malam nanti, tepat pukul 00.00, seperti biasa, seperti malam-malam pergantian tahun yang lalu-lalu langit kita akan dihiasi nyala kembang api. Saya bukanlah orang yang anti dengan perayaan malam tahun baru dengan meledakan kembang api. Menurut saya, perayaan pergantian tahun dengan cara itu adalah sesuatu yang wajar. Dalam kadar yang pantas tentunya. Dan ukuran kata ‘pantas’ dan ‘wajar’ di sini tentu adalah sesuatu yang relatif.

Memeriahkan perayaan pergantian tahun dengan meledakkan kembang api—yang jika dirupiahkan nilainya bisa menembus angka miliyaran, bahkan triliunan rupiah—mungkin adalah sesuatu yang pantas dan wajar untuk negara maju seperti Amerika Serikat atau Australia, yang hanya butuh angka pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen agar perekonomiannya dianggap berkinerja baik, yang orang miskinnnya—secara absolut—nyaris tak ada lagi. Tetapi tentu tidak/kurang pantas dan wajar untuk negara berkembang semisal Indonesia, yang dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 atau 7 persen saja masih terasa kurang, yang jumlah penduduk miskinnya saja masih mencapai 30,02 juta jiwa. Itupun dengan catatan bahwa mereka yang miskin adalah yang berpengeluran kurang dari Rp233.740,- per kapita per bulan. Ini adalah pendapat saya pribadi. Bagi Anda yang tidak setuju silahkan menyanggahnya.

Saya tidak punya data yang pasti berapa rupiah nilai kembang api yang diledakan pada setiap malam pergantian tahun di negeri ini. Tetapi berita yang pernah diturunkan Kompas.com beberapa bulan yang lalu (4/9) dapat memberikan informasi kepada itu—meskipun masih kasar—tentang hal itu. Menurut berita tersebut, tidak kurang sebanyak 2 triliun rupiah ternyata digelontorkan oleh orang Indonesia dalam setahun untuk membeli kembang api. Saya kira angka ini masih underestimate, jumlah rupiah yang diledakan sebetulnya lebih besar dari itu. Dan mudah untuk diduga, tak mungkin meleset, bahwa sebagian besarnya diledakkan pada malam tahun baru.

Tentu sesuatu yang amat disayangkan jika jumlah uang sebanyak itu hanya dihabiskan untuk membeli kembang api yang bunyi dan keliauan cahayanya hanya bisa dinikmati kurang dari satu menit. Dan dua triliun untuk kenikmatan sesaat−tidak lebih dari satu menit−tentulah suatu kemubaziran. Dan saya kira akan lebih bermanfaat jika  uang yang dihabiskan untuk membeli kembang api itu dapat dinikmati oleh saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Jangankan untuk membeli kembang api, untuk makan sehari-hari saja mereka sudah kepayahan. Mungkin mereka sedang dalam kedaan lapar kita memandangi kilauan cahaya kembang api yang menghiasi langit kita saat malam pergantian tahun nanti.

Dua triliun sudah barang tentu angka yang sangat fantastis. Ini separuh dari anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk berbagai program jaring pengaman sosial (JPS) untuk rakyat miskin yang dikelola oleh Departemen Sosial, seperti Jamkesmas, PKH (program keluarga harapan), PNPM Mandiri, Raskin, beasiswa untuk orang miskin, dan beberapa program kesejahteraan sosial lainnya. Pada tahun 2011, dana yang dialokasikan untuk program-program ini hanya sebesar 4 triliun rupiah. Padahal, jumlah mereka yang merupakan target tidaklah sedikit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010, jumlah mereka mendekati 70 juta orang. Dan dana 4 triliun untuk 70 juta orang tentu masih jauh dari cukup.

Mari kita ambil contoh dari Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu provinsi termiskin di negeri ini, yang menurut data BPS hampir seperempat (21,23 persen) penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Berita yang diturunkan Kompas.com hari ini menyebutkan bahwa malam nanti akan ada 5.000 ribu kembang api yang bakal diledakan di alun-alun rumah jabatan Gubernur NTT. Kalau kita asumsikan harga sebuah kembang api yang diledakan sebesar Rp20.000,-(angka ini tentu sangat kasar dan underestimate), itu artinya jumlah rupiah yang dihabiskan untuk itu tidak kurang dari 100 juta rupiah. Nominal yang tentu tidak sedikit dan begitu berarti bagi penduduk miskin NTT di daerah pedalaman sana, yang sebagian besar mereka masih kesulitan mendapatkan air bersih dan belum dialiri listrik. Yang terjadi di Jakarta tentu lebih meriah lagi, nilai kembang api yang bakal diledakan malam nanti tentu bisa menembus milyaran rupiah. Padahal ada sekitar 363 ribu penduduk miskin di Jakarta.

Hal ini tentu sebuah ironi. Dan merupakan gambaran umum apa yang terjadi di negeri ini pada setiap malam pergantian tahun. Padahal negeri yang masih dirundung berbagai masalah sosial ini, utamanya kemiskinan, amat dituntut untuk pandai-pandai menentukan skala prioritas. Sikap boros dan kemubaziran adalah sesuatu yang tidak layak dan pantas untuk negeri ini, yang katanya sedang on the track menuju negara maju. Semoga. Selamat menikmati malam pergantian tahun.

Sumber: Kompas.com, data-data dari BPS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga