Langsung ke konten utama

Hasil Sensus Penduduk: Laki-laki Indonesia Enggan Menikah di Usia Dini


Anda tentu masih ingat dengan sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2010 lalu (SP2010). Dua hari yang lalu (1/11), hasil lengkap cacah jiwa yang telah menghabiskan hampir 4 triliun duit negara, dan melibatkan sekitar 500 ribu petugas itu, telah dirilis. Jika Anda tertarik dan berkenan silahkan kunjungi laman berikut http://sp2010.bps.go.id untuk meilhat-lihat.

Tulisan ini akan mengulas beberapa poin yang baru saja dirilis, yakni rata-rata umur kawin pertama, serta komposisi penduduk Indonesia menurut umur dan jenis kelamin yang tersaji dan diringkas dalam bentuk piramida penduduk.

Rata-rata umur kawin pertama
Umur kawin pertama merupakan variabel yang sangat penting dalam memengaruhi kesempatan hidup dan laju pertumbuhan penduduk. Hasil SP2010 menunjukkan rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki sebesar 25,7 tahun dan perempuan 22,3 tahun (perhitungan Singulate Mean Age at Marriage/SMAM). Kondisi ini semakin mendekati apa yang terjadi di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, saat ini laki-laki cenderung memilih untuk menikah di usia 28 tahun, sedangkan wanita di usia 26 tahun.

Rata-rata umur kawin pertama sebesar 22,3 tahun untuk perempuan merupakan statistik yang cukup baik, meskipun masih perlu ditingkatkan. Dengan umur kawin sebesar ini, jumlah kelahiran tidak akan terlalu tinggi. Hal yang sangat penting dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk.

Sementara itu, umur kawin pertama untuk laki-laki sebesar 25,7 tahun menunjukkan anggapan bahwa selama ini laki-laki lebih memilih menunda untuk menikah tampaknya memang benar adanya. Ini juga pada dasarnya merupakan statistik yang bagus, karena umumnya pria menunda untuk menikah karena alasan-alasan untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik di masa yang akan datang, misalnya kemapanan secara finansial.

Kondisi rata-rata umur kawin pertama di atas juga merupakan indikasi adanya perspektif yang lebih baik mengenai nilai anak ketika membangun sebuah kelurga. Di mana anak tidak lagi dipandang sebagai sumber kesejahteraan (welfare) orangtua, tetapi sebagai cost, serta membutuhkan investasi yang lebih dalam hal pendidikan dan kesehatan.

Piramida penduduk menjanjikan
Hasil SP2010 menunjukkan piramida penduduk Indonesia berbentuk stupa atau kubah masjid. Bentuk yang boleh dibilang sangat indah. Yang indah bukan hanya bentuknya, tetapi juga informasi yang tersaji pada piramida tersebut. Saya katakan indah, karena informasi tersebut menunjukkan prediksi bahwa Indonesia akan menjadi negara kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2025 bukan sekedar mimpi.

Piramida penduduk hasil SP2010 menunjukkan penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh penduduk usia muda. Di mana sebagian besar mereka sedang mengenyam pendidikan formal, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Dan dalam 5-15 tahun ke depan dipastikan mereka akan meramaikan pasar tenaga kerja, berpartisipasi secara riil memajukan bangsa ini. Partisipasi mereka dalam pembangunan tentu merupakan modal berharga untuk mengawal linieritas pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Di tengah prospek perekonomian bangsa ini yang kian menjanjikan─pendapatan per kapita yang terus tumbuh─fakta di atas semakin meyakinkan kita bahwa mimpi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2025 bakal terwujud. Jika kinerja pertumbuhan eknomi saat ini bisa terus dipertahankan, bahkan ditingkatkan hingga menyentuh level 8 persen per tahun, dapat dipastikan kita akan menjadi negera superior di tahun 2025 nanti.

Saat ini, rasio ketergantungan (dependency ratio) penduduk Indonesia adalah 51,31. Angka ini menunjukkan bahwa setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat sekitar 51 orang usia tidak produkif (0-14 dan 65+). Itu artinya, beban tanggungan penduduk usia produktif saat ini relatif kecil, dimana 1 orang usia tidak produktif menjadi beban bagi 2 orang usia produktif. Jika dianalogikan dengan sebuah keluarga, dalam kondisi ideal, dua orang yang bekerja hanya menanggung satu orang yang tidak bekerja (penduduk usia 0-14 dan 65+).

Dan jika laju pertumbuhan penduduk saat ini yang mencapai 1,49 persen per tahun bisa dikendalikan atawa diturunkan, diperkirakan dalam 5-15 tahun ke depan, dalam sebuah keluarga beranggotakan lima orang, empat orang yang bekerja hanya akan menanggung satu orang yang tidak bekerja. Pada kondisi seperti ini, bisa dibayangkan betapa sejahteranya negara kita.
*****
Data-data dari BPS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga