Langsung ke konten utama

Jumlah Si Miskin

Kecuk Suhariyanto 
Sejumlah tokoh lintas agama membuat pernyataan terbuka. Mereka menyebut pemerintah telah berbohong. Tidak tanggung-tanggung kebohongan itu. Jumlahnya delapan belas, terdiri dari sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru. Demikian tersua di pelbagai media.

Karena pernyataan terbuka ini merupakan seruan moral tokoh lintas agama yang tak punya kepentingan politik praktis, gaungnya ke mana-mana. Pemerintah berusaha membela diri, tetapi membikin situasi justru lebih buruk. Pemerintah dinilai kurang arif dan tak mau menerima masukan konstruktif.

Salah satu kebohongan lama yang disebutkan adalah perihal penyampaian angka kemiskinan. Pemerintah dituduh berbohong karena menyatakan jumlah penduduk miskin 2010 adalah 31,02 juta jiwa, padahal data penduduk yang layak menerima beras miskin 70 juta jiwa.

Pertanyaannya, mengapa sampai ada dua angka kemiskinan yang jauh berbeda, padahal keduanya sama-sama berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Data kemiskinan makro
Mencoba menghitung jumlah penduduk miskin bukan pekerjaan mudah. Setakat ini belum satu pun metodologi yang sempurna memotret kemiskinan. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Hanya terdiri dari satu kalimat, tetapi maknanya sangat luas sehingga bisa mengundang perdebatan panjang. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan bermartabat. Apa pula yang termasuk hak-hak dasar? Apalagi, tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Dari definisi itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Sulit mengukurnya sehingga perlu kesepakatan pendekatan pengukuran yang dipakai.

Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

Dalam terapannya, dihitunglah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Penghitungan penduduk miskin ini didasarkan pada data sampel, bukan data sensus, sehingga hasilnya sebetulnya hanyalah estimasi.

Data yang dihasilkan biasa disebut data kemiskinan makro. Di Indonesia, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional. Pencacahannya dilakukan setiap Maret dengan jumlah sampel 68.000 rumah tangga. BPS menyajikan data kemiskinan makro ini sejak tahun 1984 sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin bisa diikuti dari waktu ke waktu.

Salah satu data kemiskinan yang mengundang polemik panjang adalah data kemiskinan pada Maret 2006. BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin naik dari 35,1 juta jiwa (15,97 persen) pada Februari 2005 menjadi 39,30 juta jiwa (17,75 persen) pada Maret 2006 karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Data kemiskinan makro yang terakhir dikeluarkan BPS adalah posisi Maret 2010 ketika jumlah penduduk miskin 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen total penduduk Indonesia. Data ini hanya menunjukkan estimasi jumlah dan persentase penduduk miskin yang berguna untuk perencanaan serta evaluasi program kemiskinan dengan target geografis.

Akan tetapi, data itu tidak dapat menunjukkan siapa dan di mana alamat penduduk miskin sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung, seperti bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Data kemiskinan mikro
Masalah muncul saat pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 dan ingin memberi kompensasi kepada penduduk lapisan bawah berupa penyaluran bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Orientasi program penanggulangan kemiskinan di Indonesia mendadak berubah total.

Di zaman Orde Baru, program penanggulangan kemiskinan memakai pendekatan geografis (desa), seperti Inpres Desa Tertinggal. Sejak tahun 2005, yang digunakan pendekatan individu atau rumah tangga, seperti bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Penyaluran bantuan langsung tak bisa memakai data kemiskinan makro sebab memerlukan nama dan alamat si miskin. Pengumpulan data harus dengan sensus, bukan sampel, sehingga data yang dihasilkan disebut sebagai data kemiskinan mikro. Ini berbeda dengan metode penghitungan kemiskinan makro dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada ciri-ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa cepat dan hemat biaya.

Sampai saat ini baru dua kali BPS mengumpulkan data kemiskinan mikro: Oktober 2005 dan September 2008. Data yang diperoleh disebut data rumah tangga sasaran (RTS) dan mencakup bukan hanya rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.
Jumlah RTS hasil pendataan September 2008 adalah 17,5 juta. Dengan asumsi kasar rata-rata jumlah anggota rumah tangga empat orang, diperoleh angka 70 juta jiwa. Jadi, sebetulnya tak ada dua angka kemiskinan. Data 31,02 juta menunjukkan penduduk miskin, sementara data 70 juta menunjukkan penduduk miskin plus hampir miskin.

Selisih di antara keduanya menunjukkan besarnya penduduk hampir miskin di Indonesia. Mereka tidak tergolong miskin, tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan. Sedikit gejolak ekonomi akan menyebabkan mereka mudah berubah status menjadi miskin. Maka, setiap kebijakan yang diambil harus memperhitungkan dampaknya bukan hanya pada rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin. Sehari-hari keduanya sering tak berbeda nyata.
(Kompas, 31 Maret 2011)
Kecuk Suhariyanto Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik, BPS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga