Langsung ke konten utama

Selamat Jalan Sahabat dari Medan, Terima Kasih Atas Gelar Profesornya

Ketika membaca sebuah tulisan di sebuah brosur fotokopian yang sedikit lusuh sekitar empat tahun yang lalu, kalau tidak salah tulisan itu berbunyi “Sekolah Tinggi Ilmu Statistik kembali memanggil putra dan putri Indonesia yang memiliki motivasi tinggi untuk didik menjadi ahli statistik....”(sejujurnya, saya masih ragu dengan bagian terakhir dari kalimat ini kawan, “menjadi ahli statistik”?), saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bakal menjadi bagian dari sebuah kampus yang luar biasa, beradu pintar dengan teman-teman yang pandai nan cerdas dari seluruh Nusantara. Takdir Tuhan atas diri kita terkadang memang misterius dan unpredictable seperti halnya residual dalam pelajaran regresi.

Kalau bukan karena STIS, sulit dibayangkan, seorang anak kampung dari sebuah pulau kecil nun juah di ujung tenggara Sulawesi seperti saya bisa berjumpa dan bersahabat karib dengan seorang Iskandar dari Medan. Teman-teman yang pernah belajar Geografi tentu tahu, kalau jarak antara Sultra dan Sumut tidaklah dekat. Setelah kuhitung-hitung dengan menggunakan peta berskala 1:250.000, jarak keduanya kurang lebih sekitar 2 ribuan kilometer.

Iskandar, saya yakin kalian tentu semua mengenalnya kawan, adalah salah satu sahabat saya yang paling berkesan. Lewat tulisan ini, izinkanlah saya untuk sedikit berbagi dengan kalian tentang kawan yang satu ini.

Pala Gua Peang Nggak?
Kalian semua tentu ingat, ketika kita mendaftar ulang di kampus yang begitu berkesan itu, semua maba (sebutan bagi mahasiswa baru cowok) harus meralakan salah satu pesonanya hilang untuk sementara waktu. Kala itu, rambut yang bagi sebagian orang merupakan mahkota, dipangkas habis  dalam satu model, 321 katanya. Menurut saya, model cukuran seperti ini jauh dari kesan menarik, karena membuat bentuk batok kepala setiap orang pasti terlihat jelas. Teman-teman yang kurang beruntung dalam hal bentuk batok kepalaterutama yang sedikit peang dan kurang proporsionalpastinya akan sedikit malu. 

Ketika sedang menunggu gilirian untuk dibotakin di Ruang 2103, kelak ruangan ini menjadi ruang kelas saya di tahun pertama (IC), tiba-tiba saja, ada seseorang yang menepuk pundak saya dari belakang. Ketika saya menoleh, seorang anak yang wajahnya sama sekali tidak kukenal, berkulit putih bersih dengan kepalanya yang sudah dibotakin bertanya kepada saya, kata dia” pala gua peang nggak?”. Sebagai anak kampung dari Sulawesi yang baru saja menginjakkan kaki di Jakarta, tentu saja kata peang merupakan sesuatu yang  asing di telinga. Dan jujur belum pernah saya dengar sebelumnya. Karena tidak paham akan maksud pertanyaan tersebut, sambil menggelengkan kepala, saya menjawab ”tidak”. Belakangan, akhirnya saya tahu ternyata makna dari kata peang adalah lonjong. Jujur kukatakan padamu kawan, jawaban saya di atas ternyata keliru, kepala botak yang kulihat saat itu memang benar-benar peang alias sedikit lonjong.

Terlepas dari kepalanya yang sedikit peang itu, menurut saya kawan yang satu ini memang benar-benar tampan. Setidaknya, jauh lebih tampan dari saya yang dari segi gestur wajah menyimpang jauh dari distribusi normal baku. Ketampanannya semakin jelas beberapa bulan kemudian setelah kepalanya yang sedikit peang itu mulai ditumbuhi rambut. Saya kira, teman-teman yang pernah sekelas dengan saya ketika IC dula juga sepakat akan hal ini─dengan catatan sebelum badannya menjadi gendut dengan kepala yang sedikit botak seperti sekarang ini, tentunya.

Anak dengan kopala botak yang sedikit peang itu tak kusangka bakal menjadi teman sekelas pada tahun pertama di STIS, dan selama empat tahun kemudian akan menjadi sahabat saya yang begitu berkesan. Ya, dia adalah Iskandar dari Medan. Dan seperti itulah kurang lebih kisah ketika pertama kali saya berjumpa dengannya.

Einstain Community
Bagi mahasiswa dengan otak yang sedikit pas-pasan seperti kami, tahun pertama di STIS merupakan masa-masa sulit nan berat dengan ancaman drop out (DO) yang senantiasa mengintai di setiap semester. Under presser mungkin seperti itu tepatnya.

Hasil Ujian Tengah Semester (UTS) ketika tingkat satu, tak ubahnya seperti alaram peringatan dini akan bahaya tsunami ─sudah pasti membuat panik─bagi mereka yang sepertinya bisa masuk STIS karena suatu proses kebutulan. Saya dan Iskandar, yang karena nilai beberapa mata kuliah inti kami di bawah standard minimum untuk selamat, termasuk orang-orang yang mendapatkan peringatan dini itu. Kami berdua mulai sedikit khawatir jangan-jangan bakal tamat alias DO di tingkat satu. Suatu aib yang sudah barang tentu bakal menggerus habis harga diri kami yang telah jauh-jauh merantau ke Jakarta. Kalau sampe DO, mau dibawa ke mana muka kami saat pulang kampung nanti.

Untuk berjuang menyelamatkan diri dari ancaman DO, kami berdua akhirnya membentuk sebuah kelompok belajar. Naja yang waktu itu nasibnya kurang lebih setali tiga uang dengan kami berdua, juga kami ajak bergabung, dan dia pun setuju.

Kami berinama kelompok belajar kami dengan nama yang menurut saya cukup hebat, ”Enstain Community”, komunitas Einstain, kurang lebih seperti itu barangkali artinya. Sejujurnya, nama ini terlalu berat dan kurang representatif buat kami bertiga kawan, karena tentu saja tak seorangpun di antara kami yang secerdas Einstain─ilmuwan kondang dengan kecerdasannya yang meluap-luap itu─ secuilpun tidak. Kami bertiga tidak lebih dari sekedar kumpulan veteran yang mecoba selamat dari ancaman DO. Itupun dengan sedikit susah payah.

Saya sebut kumpulan veteran karena kami bertiga sebelumnya telah kuliah selama setahun di kampung masing-masing. Sebelum masuk STIS, Iskandar telah kuliah di Universitas Sumetera Utara (USU) yang kata dia merupakan universitas terbaik di Pulau Sumatera. Dia selalu bertutur kepada saya dan Naja kalau dia sebenarnya adalah “mahasiswa yang cerdas dan pandai”, dan dia adalah salah satu mahasiswa terbaik di fakultasnya, akuntansi. Untuk keabsahan perihal yang satu ini, dia memberikan garansi kepada kami berdua dengan IP-nya yang sangat tinggi. Tidak tanggung-tanggung, 3.9, nyaris sempurna. Kala itu, nampaknya kawan yang satu ini tengah hilang kepercayaan diri karena nilai-nilai UTS yang jauh dari membanggakan. 

Meskipun pada akhirnya hanya bisa selamat dengan IP 2.9 di semester I dan 3.0 di semester II, menurut saya, Iskandar adalah mahasiswa yang pandai dan cerdas. Statistik memang bukan ranah dia. Keunggulan kawan yang satu ini sebenarnya pada ilmu-ilmu sosial. Selain itu, dia juga memiliki kemampuan komunikasi dan memengaruhi orang lain yang cukup andal. Menurut Howard Gardner sang pencetus teori Multiple Intellegences dari Harvard itu, kawan yang satu ini memiliki kecerdasan verbal-linguistic dan interpersonality yang sangat baik, dan lemah dalam hal kecerdasan logic-mathematics.

Kalau Iskandar telah kuliah di USU sebelum masuk STIS, saya dan Naja sebelumnya telah kuliah di Universitas Haluole Kendari (UNHALU), mungkin agak sedikit asing di telinga kalian kawan. Di kampus yang mahasiswanya lebih senang turun ke jalan untuk berorasi dan baku pukul ketimbang belajar itu, saya mengambil jurusan Matematika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA),  sementara Naja mengambil jurusan Matematika di Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Bayangan akan masa depan yang suram di kampus dimana pedang lebih tajam dari pena itu, membuat kami berdua banting stir masuk ke STIS, kampus dimana mahasiswanya dijamin bakal menjadi pegawai negeri sipil (PNS) ketika lulus kuliah nanti....(bersambung).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga