Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2012

Jangan Politisasi BLT!

Ibarat orang yang tengah berdiri di tengah samudera, dengan air sampai ke leher. Sedikit saja gelombang tinggi datang menerjang, orang itu pasti tenggelam, megap-megap tak berdaya. Seperti itulah penggambaran orang miskin di Tiongkok, di masa lampau. Bagi penduduk miskin negeri ini, yang jumlahnya mencapai 29,89 juta orang pada September 2011 lalu, gelombang itu dipastikan akan datang menerjang pada 1 April nanti. Disusul gelombang inflasi yang bakal memukul telak daya beli mereka. Gelombang lonjakan biaya hidup akibat naiknya harga-harga bahan kebutuhan pokok yang bakal membuat mereka megap-megap tak berdaya dan tenggelam. Karenanya, mereka harus segera diselamatkan. Dan, program unconditional cash transfer (UCT) seperti Bantuan Langsung Tunia (BLT) adalah salah satu caranya. Karenanya, terlepas benar tidaknya alasan pemerintah di balik kebijakan menaikkan harga BBM dan siapa yang bakal menjadi pahlawan secara politis di mata rakyat jika BLT yang kini berganti nama menj

Harga BBM Naik, Nelayanku Malang

Statistik Nilai Tukar Petani (NTP) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam dua bulan terakhir sedikit mengkhawatirkan. Pasalnya, sepanjang periode Januari 2012-Februari 2012, BPS mencatat: nilai NTP terus merosot. Ini merupakan indikasi, tingkat kesejahteraan petani dan nelayan negeri ini─yang sebagain besar hidup di bawah garis kemiskinan─terus merosot dalam dua bulan terakhir. BPS mencatat, pada Januari 2012, nilai NTP sebesar 105,73, mengalami penurunan sebesar 0,02 persen dibanding Desember 2011. Sementara itu, pada Februari 2012, nilai NTP sebesar 105,10, mengalami penurunan sebesar 0,6 persen dibanding Januari 2012. Jika ditelaah lebih jauh, penyumbang terbesar penurunan NTP selama Januari dan Februari 2012 adalah Subsektor Tanaman Pangan (padi dan palawija), Hortikultura, dan Perikanan (tangkap dan budidaya). Ditengarai, penyebab penurunan tersebut adalah pendapatan petani dan nelayan yang terus merosot, sementara pengeluaran mereka untuk konsumsi

BPS: Badan Pesanan Statistik

Akhir-akhir ini, ada kecenderungan publik tak lagi percaya dengan statistik (baca: data) yang didiseminasi BPS. Statistik, yang kebanyakan mewartakan keberhasilan pemerintah itu, ditengarai syarat rekayasa, hasil mufakat ‘curang’ pihak penguasa dan para statistisi pemerintah untuk melanggengkan pencitraan penguasa yang syarat dusta. Publik selalu membenturkan statistik yang ada dengan fakta-fakta keseharian yang mereka lihat dan alami sehari-hari. Karenanya, mereka tak menaruh simpati meskipun statistik yang ada menunjukkan pemerintah telah berhasil menggenjot pertumbuhan ekonomi, mengendalikan laju inflasi, menurunkan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran, serta sederet keberhasilan lainnya. Pasalnya, itu semua tidak sejalan dengan fakta-fakta keseharian yang mereka rasakan. Bagi mereka, kondisi ekonomi yang dirasakan justru sebaliknya, kian sulit. Karenanya, tidak mengherankan kalau publik─yang tidak puas dengan kinerja pemerintahan saat ini─menganggap statistik y

Setuju Harga BBM Naik, dengan Catatan....

Gelombang penolakan terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada 1 April nanti nampaknya kian kuat dan masif, terjadi di mana-mana, di hampir semua kalangan. Hasil survei yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) baru-baru lalu menunjukkan, 80 persen responden menolak rencana pemerintah itu. Menariknya, penolakan juga berasal dari para pendukung partai penguasa. Sejatinya, kebijakan menaikkan harga BBM sama sekali tidak populis. Sebisa mungkin, kebijakan seperti ini seharusnya dihindari, mengingat eksesnya yang sangat luas secara ekonomi dan sosial. Jika BBM naik, dapat dipastikan akan memacu inflasi. Harga-harga barang dan jasa bakal naik sehingga daya beli penduduk akan jatuh. Masyarakat yang dalam menjalankan aktivitis sehari-hari menggunakan BBM, seperti nelayan, petani, dan transportasi umum diperkirakan akan terpuruk secara ekonomi akibat dampak langsung yang diterima. Pendapatan mereka akan berkurang, dan di sisi lain pengeluaran mereka justru ber

Wow! Nilai Kekayaan 17 Orang Terkaya di Negeri Ini Mencapai 5 Persen dari PDB

Belakangan ini, tren laju penurunan jumlah penduduk miskin menunjukkan gejala perlambatan, kurang dari satu persen per tahun sehingga memunculkan kekhawatiran, bahkan pesimisme: target pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga di bawah sepuluh persen pada tahun 2014 nanti bakal sulit tercapai. Ditengarai, perlambatan tersebut merupakan indikasi bahwa penduduk miskin yang belum berhasil dientaskan dari kemiskinan saat ini adalah penduduk miskin kronik ( chronic poverty ), yang pada September lalu jumlahnya mencapai 29,89 juta orang atau sekitar 12,36 persen dari total penduduk Indonesia, dengan pengeluaran per kapita per bulan kurang dari Rp243.729,- (BPS, 2012). Banyak orang kaya Sebagai indikator keberhasilan pemerintah, statistik (baca: data) kemiskinan memang sedikit mengecewakan, tetapi tidak untuk sejumlah statistik yang lain. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, sangat mengesankan. Data yang dirilis BPS baru-baru ini menunjukkan, pada tahun 2011, Produk D

Kompensasi Kenaikan Harga BBM (BLSM), ‘Ancaman’ Buat BPS

Meskipun sedikit terpaksa dan tak enak hati, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 1 April 2012 nanti. Keputusan yang tentu saja tak populis ini dibarengi optimisme: ekses inflasi yang ditimbulkan dapat dikelola dengan baik ( manageable ) serta daya beli mereka yang terkena dampak ─penduduk kelompok menengah ke bawah (miskin dan hampir miskin) ─ dapat dijaga (Kompas, 28/02/2012). Dampak yang sudah pasti terjadi jika harga BBM jadi dinaikkan adalah inflasi. Harga-harga kebutuhan pokok dipastikan akan mengalami lonjakan sehingga memukul telak daya beli penduduk kelas menengah ke bawah. Kalau sudah seperti itu, nampaknya, apa yang terjadi pada  tahun 2005-2006 lalu akan kemabali terulang: lonjakan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan data BPS, pasca krisis ekonomi tahun 1998, tingkat kemiskinan (jumlah dan persentase penduduk miskin) terus menurun secara konsisten. Tren penurunan angka kemiskinan hanya sekali mengalami koreksi, yakni