Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2011

Catatan Akhir Tahun: Ironi Si Miskin dan Kembang Api

Malam nanti, tepat pukul 00.00, seperti biasa, seperti malam-malam pergantian tahun yang lalu-lalu langit kita akan dihiasi nyala kembang api. Saya bukanlah orang yang anti dengan perayaan malam tahun baru dengan meledakan kembang api. Menurut saya, perayaan pergantian tahun dengan cara itu adalah sesuatu yang wajar. Dalam kadar yang pantas tentunya. Dan ukuran kata ‘pantas’ dan ‘wajar’ di sini tentu adalah sesuatu yang relatif. Memeriahkan perayaan pergantian tahun dengan meledakkan kembang api—yang jika dirupiahkan nilainya bisa menembus angka miliyaran, bahkan triliunan rupiah—mungkin adalah sesuatu yang pantas dan wajar untuk negara maju seperti Amerika Serikat atau Australia, yang hanya butuh angka pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen agar perekonomiannya dianggap berkinerja baik, yang orang miskinnnya—secara absolut—nyaris tak ada lagi. Tetapi tentu tidak/kurang pantas dan wajar untuk negara berkembang semisal Indonesia, yang dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 atau 7 pe

Ada Cinta di Balik Sepotong Persamaan Matematika

cerita sebelumnya: Angka Dari Langit Nasionalisme Sang Statistisi "i'm shining like a candle in the dark when you tell me that you love me" Hari itu, Bekti tersenyum lepas. Aura bahagia tergambar jelas di wajahnya yang medhok , khas orang Jawa itu. Informasi mengenai penempatan pegawai baru BPS alumni STIS yang terpampang di sebuah papan pengumuman di kantor BPS Pusat, Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang baru saja dipelototinya membuatnya begitu girang. Pasalnya, di pengumuman itu tertulis dengan jelas, sejelas mentari di siang bolong, dia akan ditempatkan di sebuah Provinsi yang cukup tertinggal di Sulawesi. Sulawesi Tenggara nama provinsi itu. Yang menurut informasi dari situs www.bps.go.id yang diakses oleh Bekti tempo hari memiliki ranking IPM yang sangat buruk, hanya lebih baik dari provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan NTT.  Selain itu, kepadatan penduduknya hanya 58 jiwa/km 2 . Dengan informasi ini, orang yang paham akan angka statist

Nasionalisme Sang Statistisi

untuk membaca cerita sebelumnya (Angka dari Langit) klik di sini “ tidak ada kata terbuang di manapun di bumi Indonesia, jika kau betul-betul mengerti arti dari sebuah pengabdian kepada bangsa dan negara (My Best Friends, young statistician in West Papua)” Ketimpangan kemajuan pembangunan yang begitu menjurang antara wilayah Indonesia Barat (Jawa, Sumatera, dan Bali) dan wilayah Indonesia Timur (Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) adalah fakta yang sejak dulu, sejak puluhan tahun yang lalu telah dikhotbahkan oleh para pakar ekonomi regional/pembangunan negeri ini. Secara kuantitatif, fakta ini direpresentasikan oleh indikator-indikator statistik semisal Indeks Theil dan Williamson, distribusi Produk Domestik Bruto (PDB) secara spasial, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan berbagai indikator ekonomi-statistik lainnya. Kendati pemerintah telah lama menyadari hal ini, dan segenap upaya telah dilakukan untuk mempersempit jurang ketimpangan antara kedua wilayah, hasil

Cinta Itu Buta (1)

“Kesuksesan bukanlah sesuatu yang diwariskan, dia adalah sesuatu yang diusahakan. Buah dari kerja keras tak kenal lelah” Saya punya seorang kawan yang begitu terobsesi dengan film India. Saking terobsesinya kawan yang satu ini, dia mengubah namanya menjadi Rahul, tokoh yang dilakonkan aktor kawakan Bollywood Sahrukh Khan dalam sebuah film drama percintaan berjudul Kuch Kuch Hota Hai. Sebetulnya, secara gestur wajah, nama ini kurang representatif untuk kawan yang memiliki rambut ikal dan hidung mekar seperti jambu air itu. Satu-satunya kesesuain fisik  antara dirinya dan Sahrukh Khan adalah badannya yang tinggi menjulang sekitar 180 an sentimeter. Selebihnya, dia terlalu hancur untuk menyandang nama Rahul yang tampan itu. Kendati tak pantas, kawan yang satu ini tetap pede menyandang nama Rahul. Diolok-olok sekalipun, dia—yang IQ-nya sedikit jongkok itu—tak ambil pusing. Baginya, antara dia dan Rahul tetap saja bagaikan pinang dibelah dua. Dan karena merasa diri mirip Rahul

Angka dari Langit

“Ada banyak cara untuk berbohong, statistik adalah salah satunya” Hari itu, Sumasti (suka amat statistsik) baru saja merengkuh gelar Sarjana Sains Terapan (SST), gelar sarjana Program Diploma IV Statistika. Dia diwisuda bersama ratusan mahasiswa lainnya di sebuah sekolah tinggi  kedinasan di Otista, Jakarta Timur, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) namanya.  Sekolah ini milik Badan Pusat Statistik (BPS). Instansi pemerintah yang diamanahi tugas untuk merekam jejak sejarah pembangunan negeri ini dengan data. Rasa bahagia pun menyelimuti hati Sumasti. Perjuangannya selama empat tahun menekuni peliknya statistika terbayar sudah. Kini, dia akan memasuki dunia baru, dunia kerja, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan BPS. Namun, ada satu hal yang mengganjal di hatinya, yang membuat sunyum manisnya tidak betul-betul lepas hari itu, yakni soal di provinsi mana dia yang sejak lahir tak pernah meninggalkan Pulau Jawa itu bakal ditempatkan—sebagai pegawai BPS. Sumasti

Nama yang Seksi

“Nama adalah sebuah doa, maka berhati-hatilah dalam memberi nama” Setelah tamat SMA, saya diterima sebagai mahasiswa di Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Itu artinya, saya mempunyai kapabilitas untuk menjadi seorang mahasiswa. Sama seperti Universitas Hasanuddin Makassar (Unhas), Unhalu juga sering masuk TV karena ulah mahasiswanya yang suka berkelahi. Saya lebih suka menggunakan kata berkelahi ketimbang tawuran. Karena bagi saya, kata ini lebih pantas dan pas  untuk menggambarkan betapa dahsyatnya perang antar mahasiswa yang kerap kali terjadi di sana. Menurut saya, kata tawuran terdengar kurang dahsyat dan eskalasi konfliknya biasa saja. Kata ini hanya cocok digunakan untuk perkelahian antar mahasiswa di depan kampus Universitas Persada Indonesia (UPI) Salemba yang tempo hari saya saksikan dalam perjalanan menuju kantor (BPS), di mana para mahasiswa hanya saling lempar batu dan saling memaki dari kejauhan.

Mencakar di Udara

“Orang yang terlahir dengan bakat matematik yang baik pasti akan menjadi orang —yang berhasil”.  Demikian statement seorang kawan yang dikarunia Tuhan bakat matematik—yang menurut saya—mengagumkan. Statement ini mungkin masih perlu diperdebatkan sebagai “ general truth” , theorema, atau aksioma kehidupan. Dan pastinya mungkin tidak berlaku pada setiap orang. Tetapi setidaknya, pengalaman hidup saya menunjukkan statement ini terbukti benar. Saat SMA dulu, sekolah saya pernah mendapat kehormatan sebagai tuan rumah perhelatan sebuah ajang kompetisi yang mempertemukan murid-murid SMA se-Sultra (Sulawesi Tenggara) berotak encer. Ajang tersebut bertajuk “Lomba Cepat-Tepat Fismat (Fisika, Matematika, dan Kimia)” . Anda tentu bisa membayangkan betapa hebatnya para peserta lomba. Beradu cepat mungkin hal yang biasa, tetapi tidak biasa dalam hal menyelesaikan segala rupa soal-soal Fisika, Matematika, dan Kimia—ilmu yang menyulitkan dan memusingkan bagi banyak orang. Yang tercepat dan men