“ tidak ada kata terbuang di manapun di bumi Indonesia, jika kau
betul-betul mengerti arti dari sebuah pengabdian kepada bangsa dan negara (My
Best Friends, young statistician in West Papua)”
Ketimpangan kemajuan
pembangunan yang begitu menjurang antara wilayah Indonesia Barat (Jawa,
Sumatera, dan Bali) dan wilayah Indonesia Timur (Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua) adalah fakta yang sejak dulu, sejak puluhan tahun yang lalu telah
dikhotbahkan oleh para pakar ekonomi regional/pembangunan negeri ini. Secara kuantitatif,
fakta ini direpresentasikan oleh indikator-indikator statistik semisal Indeks
Theil dan Williamson, distribusi Produk Domestik Bruto (PDB) secara spasial,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan berbagai indikator ekonomi-statistik
lainnya.
Kendati pemerintah
telah lama menyadari hal ini, dan segenap upaya telah dilakukan untuk mempersempit
jurang ketimpangan antara kedua wilayah, hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Indonesia Timur tetap saja jauh tertinggal dari Indonesia Barat dalam segala hal.
Sesuatu yang sebetulnya amat tidak sejalan dengan konsep pembangunan yang
berkeadilan─tidak hanya dalam konteks
sosial, tetapi juga regional.
Dalam hal ketersediaan
listrik, misalnya, kemajuan yang dicapai oleh wilayah Indonesia Timur saat ini
adalah kondisi Pulau Jawa pada tahun 1978. Anda yang bisa menghitung tentu tahu
betapa jauhnya kesenjangan itu. Tiga dekade tentu bukanlah waktu yang sedikit. Dalam
bukunya yang berjudul “Dua Tangis dan Ribuan Tawa”, Dahlan Iskan, mantan
wartawan, entrepreneur media, dan
juga mantan Dirut PLN yang kini tengah naik daun sebagai menteri BUMN itu,
mengisahkan bahwa satu pembangkit listrik sebesar 100 Mw di Tanjung Perak Surabaya setara dengan
seluruh pembangkit listrik di provinsi NTT, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan
Papua Barat digabung menjadi satu.
Hinggi kini, kecukupan
listrik merupakan persoalan pelik di banyak wilayah di Indonesia Timur yang belum
terselesaikan. Di Sulawesi Tenggara (Sultra), misalnya, kabupaten baru hasil
pemekaran seperti Bombana hanya bisa menikmati listrik menyala selama 12 jam
sehari. Listrik di sana hanya menyala antara pukul 6 sore hingga pukul 6 pagi.
Kondisi yang menyebabkan para ibu rumah tangga tidak dapat menikmati
acara-acara menarik di televisi pada
siang hari.
Seandainya Istana
Negara kena rudal Malaysia pukul 7 pagi, kemungkinan besar berita itu akan
sampai ke telinga orang Bombana di malam hari. Basi dan sangat terlambat
tentunya. Karena dewasa ini yang namanya news harus punya sense of speed
alias unsur kecepatan agar tidak basi.
Namun, orang Bombana
harus bersyukur karena kenyataannya masih banyak kabupaten di wilayah Indonesia
Timur yang lebih parah. Setidaknya
listrik yang hanya menyala selama 12 jam dalam sehari itu, masih jauh lebih
baik dari belasan kabupaten baru hasil pemekaran di Papua sana yang sama sekali
belum dialiri listrik............
Demikian isi potongan sebuah artikel yang dibaca oleh
Subekti (Bekti) siang itu di sebuah situs media sosial, semacam blog keroyokan.
Kompasiana namanya. Bekti sendiri adalah penulis aktif di situs itu. Dia sering
menge-post tulisan yang dengannya dia
disebut Kompasianer.
Artikel sederhana yang ditulis oleh Kompasianer lain pemilik
akun Kadir Ruslan itu ternyata begitu menginspirasi Bekti, dan semakin menguatkan
tekadnya untuk mengabdi sebagai pegawai BPS di wilayah Indonesia Timur. Dia terpanggil untuk memajukan wilayah yang
jauh tertinggal itu, berbekal ilmu statistik yang ditekuninya selama empat tahun
di STIS.
Dia, yang selama kuliah di STIS mengambil jurusan
statistik-ekonomi, tahu betul bahwa salah satu cara jitu mempersempit jurang
ketimpangan yang dipaparkan dalam artikel itu adalah melalui transfer of knowledge, dengan
memobilisasi orang-orang yang tercerahkan, pandai dan cerdas, serta berpikiran
maju seperti dirinya dari Pulau Jawa ke wilayah-wilayah tertinggal di Timur
Indonesia sebagai agen perubahan dan pionir kemajuan. Seperti yang telah
dipraktekkan orang tuanya ketika memutuskan menjadi transmigran di pedalaman
Mamuju Sulawesi Barat─dulu Sulawesi Selatan─ belasan tahun yang lampau.
Bekti adalah gambaran pemuda ideal negeri ini, yang tahu betul
bagaimana cara mengejawantahkan kata nasionalisme dan semagat keindonesiaan
dalam kehidupannya. Walaupun belasan tahun dibesarkan di Desa Kejawar, sebuah
desa kecil di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dalam konteks kebangsaan,dia tidak
berpikiran kolot dan sempit. Dia tidak terjebak dalam semangat etnosentris. Dia
seperti Bung Karno─bukan Mas Karno─ yang sadar bahwa Indonesia, negeri yang
maha luas ini, bukan hanya Pulau Jawa, bahwa berbakti kepada bangsa dan negara
ini harus dilakukan di manapun di bumi Nusantara, tidak melulu di Pulau Jawa.
Konsep “wawasan nusantara” betul-betul telah tertanam dalam jiwanya, jauh,
jauh, dan dalam hingga ke sum-sum tulangnya.
Pilihan Bekti untuk ditempatkan di Indonesia Timur, bukan karena
dia dibuang sebagaimana lazimnya─dirasakan─mahasiswa STIS yang lulus dengan nilai IPK
pas-pasan. Bekti berbeda, dia termasuk mahasiswa cemerlang dan briliant di angkatannya. Saat kuliah, Bekti terkenal
dengan ketangguhannya dalam berbagai hal berbau Matematika. Maklum, saat SMA
dulu Bekti pernah meraih medali perunggu dalam ajang Olimpiade Matematika
tingkat nasional.
Dengan IPK-nya yang nyaris menyentuh 3,5, dia sebetulnya bisa
memilih untuk ditempatkan di Bali atau Lampung yang lebih dekat dengan Pulau
Jawa. Tetapi itu tidak dilakukannya. Dia justru memilih Indonesia Timur. Pilhan
yang mulia, sama seperti Bule Prancis, pengusaha balon udara sukses, yang di
wawancarai di acara Kick Andy tempo hari, yang memilih hidup di pedalaman NTT,
menggali sumur untuk penduduk yang kesulitan air bersih. Yang dengan usaha
gigihnya, penduduk desa-desa di pedalaman Sumba sana dapat tersenyum lepas,
sembari berucap “sekarang sumber air so dekat”.
Pilahan Bekti tentu saja adalah
sesuatu yang sulit dinalar oleh
kawan-kawannya, yang tidak begitu paham arti dari kata nasionalisme, semangat
kebangsaan, dan wawasan nusantara itu. Meskipun saat kuliah dulu mereka
mendapatkan nilai “A” untuk mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, dengan
berbekal kecerdasan dan kemampuan menghafal mereka yang cemerlang, yang miskin
pemaknaan dan penghayatan. Tidak lebih dari itu....... (bersambung)
cerita selanjutnya: Ada Cinta di Sepotong Persamaan Matematika
cerita selanjutnya: Ada Cinta di Sepotong Persamaan Matematika
Komentar
Posting Komentar