Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani.
Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh.
Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar.
BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga pertanian (petani) pengguna lahan. Angka ini menunjukkan penurunan jumlah petani gurem sebesar 4,77 juta rumah tangga atau sekitar 25,07 persen bila dibandingkan dengan kondisi pada sepuluh tahun yang lalu.
Selama ini, perkembangan jumlah petani gurem dianggap sebagai representasi perkembangan tingkat kesejahteraan petani. Karena itu, penurunan jumlah petani gurem sebanyak 4,77 rumah tangga ini boleh jadi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi perbaikan kesejahteraan di sektor pertanian. Bahwa ada jutaan petani yang berhasil melepaskan diri dari belenggu kemiskinan selama satu dasawarsa terakhir. Tetapi, apakah benar seperti itu? Ataukah yang terjadi justru sebaliknya: pemiskinan petani.
Hasil sensus menunjukkan, penurunan jumlah petani gurem disebabkan oleh lenyapnya 5,04 juta petani yang menguasai lahan pertanian kurang dari 0,1 hektar, dan pada saat yang sama jumlah petani yang menguasai lahan lebih dari 3 hektar semakin bertambah.
Patut diduga, fenomena ini justru merupakan petunjuk kian timpangnya distribusi penguasaan lahan di tingkat petani. Diketahui, data dari Badan Pertanahan Nasional menyebutkan bahwa gini rasio penguasaan lahan saat ini telah mencapai 0,54. Itu artinya, distribusi penguasaan lahan kian merisaukan.
Boleh jadi, penurunan yang cukup signifikan ini justru tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan petani, tetapi pemiskinan petani. Yang terjadi adalah kian kuatnya dominasi petani kaya dengan akses terhadap penguasaan lahan yang luas, dan pada saat yang sama petani kecil (baca: miskin) kian terpinggirkan.
Kemana perginya 5,04 juta petani itu? Mungkin saja kini mereka telah menjadi buruh tani karena lahan yang dulu dikelola telah dijual ke patani kaya. Atau barangkali, mereka telah merantau ke kota dengan bermodalkan hasil menjual tanah ke petani kaya, dan bergumul di sektor informal perkotaan. Bila seperti ini, yang terjadi sebetulnya adalah pemiskinan petani, dan kemiskinan hanya berpindah dari desa ke kota. Bukan perbaikan kesejahteraan.
Karena itu, pemerintah perlu menyikapi secara serius potret guremisasi yang disajikan oleh hasil ST2013. Distribusi penguasaan lahan pertanian di tingkat petani harus diperbaiki. Dalam soal ini, reforma agraria yang seolah “mati suri” sudah saatnya dilaksanakan oleh pemerintah sebagiamana mestinya. Bila tidak, pemiskinan petani bakal terus terjadi dan kemiskinan terus berpusat di sektor pertanian. (*)
Komentar
Posting Komentar