Saat SMA dulu, sekolah saya pernah mendapat kehormatan sebagai tuan
rumah perhelatan sebuah ajang kompetisi yang mempertemukan murid-murid SMA
se-Sultra (Sulawesi Tenggara) berotak encer. Ajang tersebut bertajuk “Lomba Cepat-Tepat Fismat (Fisika,
Matematika, dan Kimia)”. Anda tentu bisa membayangkan betapa hebatnya para
peserta lomba. Beradu cepat mungkin hal yang biasa, tetapi tidak biasa dalam
hal menyelesaikan segala rupa soal-soal Fisika, Matematika, dan Kimia—ilmu
yang menyulitkan dan memusingkan bagi banyak orang. Yang tercepat dan menjadi
pemenang pastilah betul-betul berotak encer.
Lomba tersebut dihelat selama seminggu penuh, mirip sebuah
turnamen sepak bola di kelurahan. Ada babak penyisihan, perdelapan final, semi
final, dan babak final yang hanya menyisakan tiga tim terbaik. Masing-masing tim
terdiri dari tiga orang, mirip acara cerdas-cermat di TVRI . Saya tidak lagi begitu
mengingat persis berapa jumlah tim peserta yang ikut berkompetasi kala itu. Tapi yang pastinya, semua sekolah SMA terbaik seantero Sultra ikut
berpartisipasi mengirimkan tim terbaiknya untuk beradu pintar.
Selama berlangsungnya lomba, ada satu nama peserta yang
begitu ramai dipergunjingkan di kalangan para siswa dan juga para guru. Peserta
ini menjadi buah bibir karena kecepatannya dalam melahap berbagai soal-soal
Fisika, Matematika, dan Kimia. Dan ajaibnya, itu dilakukannya tanpa bantuan sebuah
pena dan secarik kertas untuk keperluan coret-coretan, hanya sebuah jari
telunjuk yang digerak-gerakkan di udara. Teman-teman saya kala itu mengatakan, peserta yang hebat nian itu ‘mencakar di
udara’.
Saya yang pada awalnya tidak begitu tertarik dengan jalannya
lomba, betul-betul dibuat penasaran untuk mengetahui dan melihat langsung
peserta yang hebat nian itu. Apakah memang Dia sehebat itu? Dan karena rasa
penasaran dan keingintahuan itu pulalah saya akhirnya memutuskan untuk
menyaksikan langsung babak final yang mempertemukan tiga tim terbaik dan
tercepat dalam hal hitung menghitung itu.
Seingat saya, babak Final mempertemukan tiga tim yang
berasal dari tiga sekolah yang berbeda, yakni SMA 1 Kendari, SMA 2 Kendari, dan
satunya lagi saya tidak begitu ingat persis, kalau tidak salah sepertinya
sebuah sekolah milik Perusahaan Aneka Tambang (PT Antam) di Kolaka.
Saat lomba akan dimulai, saya yang dihinggapi rasa penasaran
segera mencari tahu peserta lomba yang telah menjadi buah bibir karena
kehebatannya mencakar di udara itu. Dan ketika seorang kawan menunjukkan kepada
saya orangnya, jujur saya sedikit tak percaya. Betapa tidak. Orang yang saya
saksikan adalah seorang anak berkulit gelap, kurus seperti kurang gizi, tampak
lusuh dan sedikit kumal. Jauh dari bayangan saya sebelumnya, yakni seorang anak
berkulit putih bersih, rambut klimis berbelah samping mirip Pak Beye atau Pak
Budiono, berkacamata dengan dasi kupu-kupu seperti para siswa SMA Don Bosco
atau SMA Penabur yang saban hari saya lihat dalam perjalanan menuju BPS. Kondisi
fisiknya yang begitu bersahaja merupakan variabel/indikator kemiskinan kasat
mata, yang dengannya siapa pun dengan mudah bisa menerka, tak mungkin meleset, kalau dia orang susah dan pastinya berasal
dari keluarga tak mampu—sama seperti saya.
Selain anak yang hebat mencakar di udara itu, ada satu lagi
peserta yang juga menjadi buah bibir. Namanya Dirga. Dia adalah icon di sekolahnya, SMA 1 Kendari. Dirga
yang berasal dari Jawa dan anak seorang pejabat Departemen Keuangan di Kota
Kendari berkulit bersih dan sedikit tambun. Indikator kasat mata kalau
dia memiliki quality of live yang
sangat baik. Dan pastinya, Dirga, yang berkacamata dengan sisiran rambut mirip
Budiono itu, jauh di atas garis kemiskinan BPS yang sering diributkan oleh
orang-orang yang sok tahu dan sok pintar itu, yang menurut persepsi keliru
mereka hanya cocok untuk mengukur kesejahteraan “ si bleki”.
Kita sering tertipu dalam menyimpulkan sesuatu ketika hanya
mendasarkan kesimpulan tersebut pada sejumlah variabel kasat mata. Contohnya,
tidak semua mereka yang rupawan dan lemah lembut itu protagonis dalam kehidupan
ini sebagaimana yang disuguhkan sinetron-sinetron negeri ini yang ceritanya
tak berujung itu. Dalam kehidupan nyata, tidak sedikit di antara mereka justru
adalah antagonis dengan nurani yang tipis, bahkan pisikopat.
Saya yang sempat underestimate
dengan penampilan fisik peserta yang digadang-gadang memiliki kecepatan dan
kehebatan mencakar di udara itu ternyata pun tertipu. Selama berlangsungnya
babak final, saya begitu terpana dan terkesima dengan bakat matematik yang
mengagumkan dari seorang anak dengan penampilan fisik yang jauh dari meyakinkan,
udik alias ndeso itu.
Apa yang dipergunjingkan tentang kehebatannya ‘mencakar di udara’ memang kenyataan dan
bukan kabar angin, dan dia ternyata lebih hebat dari apa yang selama ini
diperbincangkan. Soal demi soal yang hampir semuanya hitungan, entah itu
trigonometri, persamaan kuadrat, logaritma, turunan dan integral, mekanika,
konsep molar, dan segala rupa soal-soal berbau Fismat lainnya dibabat habis
olehnya dengan cara yang unik, tanpa sebuah pena dan secarik kertas, hanya
sebuah jari telunjuk dari sebuah lengan kurus berkulit gelap yang
digerak-gerakkan di udara. Dia benar-benar mencakar di udara.
Anak bertampang orang susah itu akhirnya berhasil
mengantarkan sekolahnya yang kurang terkenal dan terletak di pinggiran Kota
Kendari itu menjadi kampium. Dengan cara yang mengagumkan, yang membuatnya
selalu dikenang. Dia pun menjadi bintang dalam lomba cepat-tepat itu, dan kisahnya
yang begitu fenomenal selalu diulang berkali-kali hingga kini di depan kelas oleh para guru Matematika
di sekolahnya, SMA 2 Kendari, sebagai
penyemangat bagi siswa yang malas belajar Matematika..... (Bersambung).
Komentar
Posting Komentar